“Kebudayaan sebuah bangsa pada hakekatnya adalah kenyataan yang majemuk dan pluralistik”
Gus Dur, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan
“Dalam setiap derita kelak // Menjelma rimpang yang menyebar // Penuh ketabahan dan tak tertahankan // Meluap bagai lahar // Yang lama terbungkam // Amarah // Muntah ruah”
Efek Rumah Kaca, Rimpang
Gus, saat ini kami hidup dijejali beton, antivirus, dan keranjang belanja. Kami belum sampai mengerti segala perkara namun ruang telah membatasi kami menjadi manusia yang hanya didefinisikan oleh angka-angka dan hal-hal materil lainnya. Mendisiplinkan tubuh kami dalam kotak-kotak abstrak di balik sebuah kuasa. Tanpa sirkulasi, melainkan pengawasan tak henti-henti.
Hidup memang begini dan kau pasti sepakat dengan apa yang kami ucapkan, Gus. Kami yakin soal itu. Kau pasti tahu bahwa dalam sejarahnya yang melingkar, ruang selalu berkaitan dengan kekuasaan. Maksud kami, ruang yang semestinya liar dan hidup, kini tercacah menjadi ruang-ruang yang kaku-beku. Semisal, kami dihadapkan dengan berbagai dikotomi ruang; ruang suci dan ruang profan; ruang yang dijaga dan ruang yang sengaja dibuka; ruang urban dan ruang rural; ruang langit dan ruang bumi; atau ruang pusat dan ruang pinggir.
Terdengar sederhana, namun bagi kami, bagi generasi kami—generasi pinggir yang berada di pinggir, yang jauh dari sirkulasi pengetahuan dan infrastruktur kesenian- kebudayaan, hal tersebut sangat menyakitkan. Pinggir selalu diasosiasikan dengan kebanalan, kemalasan, keterbelakangan, dan hal-hal miring lainnya.
Barangkali kau pasti mengerti perkara tersebut, namun orang lain? Sama sekali tidak. Mereka bakal membuka mulut dan memberaki wajah kami: “Zaman sudah berubah. Gunakan internet dan kalian bisa mendapat-sebarkan pengetahuan!”. Barangkali kau juga tahu, Gus—bahwa internet, sebagai medan budaya terbaru, juga penuh kekuasaan yang tumpang tindih. Kami hidup di zaman pasca-orwellian di mana kekuasan tersebar menempati ruang-ruang lama maupun baru. Kekuasaan bukan lagi terpusat layaknya Harto dan Big Brother yang memegang senjata. Namun kini, Gus, setiap orang menenteng senjata dan bisa dengan mudah menodongkannya ke kepala kami.
Imbasnya, dengan timpangnya sirkulasi pengetahuan dan infrastruktur kesenian- kebudayaan dan himpit kuasa, kami gagap meraba tubuh kami sendiri. Kami gagal membaca diri kami sendiri. Kami gagal mendengar suara asal-muasal identitas kami sendiri. Terlebih, suara kami hanya dijadikan perebutan kuasa yang cuma peduli soal angka dan bagi Afrizal—semua angka sama bau busuknya. Karena itu, pada akhirnya kami justru sibuk melayat diri kami sendiri.
Dalam bukumu, Gus, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, yang terbit tahun 2001, kau menjelaskan banyak tentang pentingnya desentralisasi kebudayaan—sebagai turunan demokrasi prinsipil dan pelacakan atas pluralitas kesenian-kebudayaan yang tumbuh merambat dalam kehidupan masyarakat. “Kebudayaan sebuah bangsa pada hakekatnya adalah kenyataan yang majemuk dan pluralistik,” katamu. Kami sepakat. Lebih jauh kau berkata bahwa pluralitas atau kemajemukan tidak melulu mengenai hal-hal yang berada dalam kerangkeng geografis. Melainkan meluas pada sesuatu yang lebih esensial terkait etnis, agama, dan bahasa dari masing-masing kemajemukan geografis. Dalam artian, pengertian macam itu dapat memunculkan kesenian-kebudayaan dalam bentuknya yang paling beragam. Juga dapat memantik percikan kesenian-kebudayaan pinggir yang selama ini selalu berada di pinggir, bahkan di pinggir masyarakatnya sendiri.
Namun, menurutmu, desentralisasi kebudayaan bukanlah hal gampang. Ada beberapa hal yang menghambatnya: yakni komputerisasi hidup umat manusia—yang justru mendorong berkembangnya pola kehidupan yang diseragamkan, dan uniformasi sebagai sesuatu yang dianggap wajar dan merupakan bagian dari pembakuan kehidupan.
Maaf jika kami salah memahamimu, Gus. Dalam kepala kami, komputerisasi hidup manusia adalah tentang segala yang berkelindan antara kapital dan pembangunan. Seolah tujuan hidup selalu sehubung dengan kapital dan pembangunan yang sebetulnya tak jelas juntrungannya, alih-alih berpihak pada ide tentang keberlangsungan. Sebab itu, jika komputerisasi hidup manusia terus berjalan ke arah yang demikian maskulin, desentralisasi kebudayaan hanya menjadi indah di dalam pikiran. Apa yang kemudian tersisa adalah terkuburnya budaya pinggir, manusia dalam pinggir, masyarakat adat, perempuan, bahkan ruang hidup di pinggir itu sendiri.
Selanjutnya, uniformasi bagi kami saat ini bukanlah kondisi ketiadaan informasi. Melainkan ketiadaan informasi yang jelas, terpercaya, dan tak dicelupkan dalam kaleng cat bahasa secara berlebih. Kau berteman dekat dengan Pak Yasraf, Gus? Kami membaca beliau untuk memahami bagaimana dunia bekerja hari ini dalam lintasan informasi di internet. Sederhananya, Pak Yasraf mengajari kami bahwa dunia telah dilipat (dan terlipat) sedemikian rupa. Sebab itu, informasi yang beredar begitu cepat dan masif, berhasil membelokkan realitas menjadi bukan lagi apa-adanya. Menghimpit sebaran informasi terkait budaya pinggir yang pada akhirnya juga menyumbat desentralisasi kebudayaan yang kau dan kami impikan.
Dan untuk menghadapi persoalan di atas, kau memformulasikan beberapa metode. Pertama, hak dasar setiap warga untuk menampilkan kreasi budaya dalam arti seluas-luasnya mesti sepenuhnya dijamin. Kedua, penyediaan peluang menampilkan ekspresi budaya itu haruslah dikaitkan dengan kebutuhan akan pencarian jati diri bangsa itu sendiri. Kami mungkin sudah mengupayakan keduanya, Gus. Tapi kami selalu khawatir jika pada akhirnya kesenian-kebudayaan hanya menjadi kesunyian masing-masing.
Soal pertama, semisal. Kami sangsi bahwasannya hak dasar setiap warga untuk menampilkan kreasi budaya yang lebih luas sudah dijamin negara. Sebab, sejauh perjalanan kami di pinggir, yang kami temui hanyalah sirkulasi pengetahuan dan infrastruktur kesenian-kebudayaan yang rumpang. Konkretnya, di Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon—sebuah desa yang memiliki sejarah panjang sebagai sentra gerabah di Cirebon bahkan Indonesia, persoalan macam ketersediaan galeri, pengarsipan, kelangkaan bahan pembakaran, pemutaran nilai domestik menjadi estetik, dan keberlangsungan praktis yang sehubung dengan ekonomi pengrajin masih terus diperjuangkan tanpa hadirnya negara. Seperti itulah kenyataannya, Gus.
Kedua, terkait penyediaan peluang menampilkan ekspresi budaya yang mengaras pada kebutuhan pencarian jati diri sebuah bangsa, mungkin telah mencapai titik paling ledak. Dalam artian, pelacakan kami akan kesenian-kebudayaan gerabah di Desa Sitiwinangun, sejalan dengan garis sejarah yang juga berkata demikian. Hal itu bisa dilihat sesederhana dari penamaan Desa Sitiwinangun itu sendiri. Siti yang berarti tanah dan Winangun yang berarti dibangun. Sayangnya, hal tersebut sudah memelintir akibat intervensi industrialisasi yang terjadi di Desa Sitiwinangun sejak tahun 60-an. Gerabah kini berubah menjadi perabot karet dan plastik. Tanah terkubur oleh ban-ban bekas di sepanjang bilangan Sitiwinangun. Banyak masyarakat Desa Sitiwinangun meninggalkan kerajinan gerabah dan memilih mata pencaharian lain untuk memenuhi segala kebutuhan hidup yang mengurung. Seolah tak ada pilihan lain selain itu, Gus.
Padahal, gerabah telah menopang bagaimana masyarakat Desa Sitiwinangun berinteraksi dengan ruang otoritasnya sendiri. Membentuk semacam abstraksi yang berusaha mereka jaga sejauh ini. Pendek kata, Gus, segala tentang gerabah bagi kami dan masyarakat Desa Sitiwinangun juga berkaitan dengan identitas kolektif yang dibangun secara organik oleh masyarakatnya sendiri melalui kanal-kanal budaya non-resmi yang memiliki takaran keterbatasannya masing-masing.
Pada akhirnya, inilah yang bisa kami upayakan, Gus. Dengan berserikat, berjejaring, dan percaya bahwa setidaknya ada hal-hal yang patut kita jaga selamanya di dunia yang brengsek begini. Dengan segala keterbatasan, kami mencoba membangun pengetahuan pinggir, infrastruktur kesenian-kebudayaan pinggir, serta distribusi pewacanaan kebudayaan pinggir dengan mandiri. Tanpa negara, tanpa suatu apa.
Maaf jika kami lancang, Gus. Kami memang belum pernah bertemu denganmu. Kita belum sempat membicarakan segala persoalan yang kami hadapi. Dan kau keburu pergi entah kemana. Salah satu yang tersisa darimu buat kami adalah memori. Melalui memori lah kami mencoba menghidupkanmu kembali. Atau kau justru menghidupkan dirimu sendiri. Meniupkan spiritmu yang berpendar dalam daging-daging kami yang semula lapuk kini hidup.
Terima kasih, Gus. Terima kasih. Kami yakin setelah surat ini selesai ditulis. Kau lantas segara membacanya di surga. Grammar doesn’t believe in reincarnation, but literature does.