Social Media

In Memoriam: Religio-Politic Gus Dur

Hanya selang tiga minggu sejak pertemuan empat tokoh nasional (Gus Dur, Amien Rais, Megawati, dan Akbar Tandjung) 1 Agustus 2000 waktu itu, Yogyakarta kembali dikunjungi Presiden Abdurrahman Wahid, Jum’at 18 Agustus 2000. Jika pertemuan pertama dilaksanakan di Keraton Yogyakarta dan dihadiri lima tokoh nasional, pertemuan kedua diadakan di Kampus Gadjah Mada. Dan jika pertemuan pertama dimaksudkan untuk mendinginkan panasnya suhu politik menjelang Sidang Tahunan MPR 2000 saat itu, yang kemudian melahirkan Dokumen Yogyakarta, maka pertemuan kedua dimaksudkan sebagai upaya penyelamatan bangsa dari mara bahaya dan gangguan ‘roh jahat’ melalui upacara Ruwatan Bangsa.

Ruwatan bangsa akhirnya menjadi idiom baru dalam wacana sosial-politik Indonesia kontemporer menyusul idiom-idiom sebelumnya, seperti ziarah politik, mantu politik, pelesetan politik, istighatsah politik, dan sebagainya yang mewarnai wacana perpolitikan nasional. Idiom-idiom tersebut tidak lepas dari ucapan dan perilaku politik Gus Dur yang sering mengundang kontroversi dan kejutan di masyarakat. Tak pelak Gus Dur merupakan tokoh politik yang paling produktif mengintrodusir idiom-idiom baru baik yang bersifat kultural, spiritual, maupun sosial.

Apa pun yang diucapkan dan dilakukan Gus Dur dengan mudah menjadi wacana publik. Ketika Gus Dur mengucapkan “Gitu aja kok repot”, dengan cepat ungkapan itu menyebar dan ditirukan oleh anggota masyarakat termasuk para politisi dan birokrat pemerintahan. Tradisi ruwatan pun juga mendapatkan space gerak masyarakat luas karena keterlibatan Gus Dur dalam acara tersebut. Sebagaimana teori Ibnu Khaldun menjelaskan, bahwa faktor perkembangan masyarakat disebabkan karena adanya perbedaan tata pemerintahan. Penguasa, menurut Khaldun, memiliki peran besar dalam membentuk perkembangan masyarakat. Sampai kepada persoalan agama pun masyarakat punya kecenderungan untuk mengikuti penguasanya (lihat Muqaddimah Ibn Khaldun, 29). Teori ini mirip dengan yang dipakai oleh psikolog dan sosiolog modern seperti Magdogal (Inggris) dan Tard (erancis) yang mengatakan, bahwa faktor yang menyebabkan timbulnya perkembangan masyarakat berasal dari hasil kerja dan rekayasa para pemimpin, para pembaru dan para ahli pikir.

Istilah ruwatan merupakan idiom lokal-kultural Jawa yang artinya upacara membersihkan kehidupan dari gangguan ‘roh jahat’ melalui pagelaran wayang kulit. Karenanya, istilah ruwat tidak dijumpai dalam teori dan tradisi politik modern. Mengingat dimensinya yang lokal-kultural, istilah ruwat sulit dipahami oleh masyarakat luas.

Setidaknya ada dua hal penting yang perlu dicatat dalam peristiwa ruwat tersebut: Pertama, dari dimensi mistik. Diharapkan dengan peringatan tersebut semua persoalan yang menimpa warga desa/masyarakat akan segera teratasi berkat pertolongan Tuhan, Sang Hyang Widi. Pada peringatan ini para warga masyarakat melakukan upacara-upacara ritual dan membaca doa-doa untuk keselamatan dan terhindar dari mara bahaya; kedua, dimensi politik Gus Dur. Seperti kita tahu dia adalah figur pemimpin yang lahir dari lingkungan tradisi NU-santri, sekaligus budayawan yang akomodatif terhadap budaya lokal. Orientasi gerakannya adalah kultural. Sebagai seorang santri tentu dia sangat senang dengan tradisi silaturrahim, mengadakan kunjungan ke beberapa tempat dan kawan bahkan “lawan” sekalipun, di dalam maupun di luar negeri. Dan ini juga merupakan bagian dari strategi politik Gus Dur yang selama ini banyak memperoleh dukungan dari kalangan luas.

Kebiasaan berkunjung atau silaturahim ke berbagai tokoh yang dilakukan Gus Dur tersebut terutama setelah beberapa hari diangkat menjadi presiden. Bahkan menjelang wafatnya pun dia masih menyempatkan diri berziarah ke makam-makam kerabatnya merupakan kiat tersendiri bagi kekuatan politik Gus Dur. Kita tahu betapa jaringan politik Gus Dur begitu luas, mulai dari tokoh-tokoh sipil, ormas, LSM, para tokoh berbagai agama, bahkan dengan para pendukung Orde Baru sekalipun. Relasi Gus Dur yang begitu luas melampaui batas lintas agama dan golongan inilah yang membuat Gus Dur semakin populer. Kepiawaian Gus Dur ini ternyata juga diakui oleh banyak “lawan” politiknya.

Orang mungkin menilai bahwa tradisi silaturahim yang dilakukan Gus Dur merupakan bagian dari manuver dan lobi politiknya. Tetapi lepas dari semua itu, bahwa silaturahim merupakan tradisi santri yang sudah mengakar dan menjadi doktrin agama yang dianutnya.

Jika tradisi ruwatan Keraton tiba-tiba berubah menjadi ruwatan nasional, maka hal ini tidak lepas dari kepentingan ganda bagi kedua belah pihak. Di satu sisi, tradisi ruwatan adalah aktivitas rutin tahunan yang dilakukan oleh orang Jawa dan khususnya keluarga Keraton, untuk memperoleh pertolongan Tuhan dari segala macam malapetaka, di sisi lain di samping para tokoh elite nasional kita memiliki kepentingan yang serupa, juga ada kepentingan rekonsiliasi bagi memperoleh konsensus-konsensus politik bersama. Tentu saja, momentum ini tidak akan disia-siakan begitu saja oleh Gus Dur sebagai sosok pemimpin kultural Jawa yang santri. Inilah aset yang dimiliki Gus Dur, yaitu terpadunya tradisi Islam santri dengan kultur Jawa. Dengan begitu apakah Gus Dur sinkretis? Pada sisi tertentu (baca: budaya) memang Gus Dur sinkretis, tetapi tidak pada sisi teologis. Barangkali inilah aset kekuatan yang dimiliki Gus Dur sebagai politisi besar.

Selamat Jalan Gus, semoga rahmat dan inayah Allah selalu menyertaimu.

Rektor UIN Maliki Malang. Guru Besar Sosiologi Agama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *