SEMARANG – Komunitas GUSDURian UIN Walisongo Semarang bersama dengan Pondok Pesantren Al Munawwar Ngaliyan, Himpunan Mahasiswa Santri Tebuireng di Semarang (HIMATIS), dan Saroengan Cafe memperingati Haul Gus Dur ke-14 yang bertempat di Saroengan Cafe, Semarang, Jawa Tengah, pada hari Minggu (18/02) lalu.
Mengambil tema “Menggerakkan Tradisi, Meneguhkan Demokrasi”, acara ini berlangsung ramai dan seru. Lebih dari 100 orang hadir, di antaranya peserta dari berbagai komunitas dan organisasi seperti Pelita, PMII Gus Dur, GUSDURian Semarang, GUSDURian Unwahas, GUSDURian UNDIP, GUSDURian UNNES, YPK eLSA, Digdaya Book, Kopi Perubahan, SKM Amanat, LPM Justisia, HMJ SAA, PMII Komisariat UIN, HMI UIN, IMM UIN, Ponpes Rizet Al Khawarizmi, lembaga keagamaan, hingga mahasiswa dan masyarakat umum.
Acara Haul Gus Dur ke-14 ini menghadirkan talkshow dari Budayawan KH. Amin Maulana Budi Harjono (Kiai Budi) dan Hj. Syuniyya Ruhama selaku murid Gus Dur, serta keynote speech dari Prof. Dr. H. M. Muhsin Jamil selaku Wakil Rektor I UIN Walisongo Semarang, KH. Hasyim Ashari, dan KH. Ghufron Bisri. Hadir pula untuk memberikan testimoni sahabat Gus Dur Nyai Hj. Alfiyatunurrohmaniyyah dan Gus Ahmad Ainur Yaqin.
Acara dimulai dengan pembukaan, sambutan, talkshow Kongkow Kebangsaan, penampilan Tari Sufi, stand up comedy, pemberian kenang-kenangan kepada narasumber, theatrical, pembacaan Syi’ir Tanpo Waton, penampilan paduan suara Al-Munawar, penutup, dan ramah tamah.
Dalam key speech-nya, Prof. Dr. H. M. Muhsin Jamil menyampaikan esensi agama dari Gus Dur adalah humanisme dan nilai religius harus diamalkan dalam kehidupan berbangsa.
“Maka tidak mengherankan bahwa dalam setiap langkah gerakannya, Gus Dur tidak mempersoalkan latar belakang orang dari mana dan seperti apa, karena esensi agama adalah kemanusiaan. Agama dalam nilai kebangsaan adalah kepantasan hidup sebagai sebuah suku bangsa, yaitu kita bersumbangsih dalam nilai-nilai agama yang kita anut terhadap kehidupan bangsa,” ungkapnya.
Sambutan lainnya berasal dari ketua panitia yaitu M. DzulFakhor yang menyampaikan bahwa sosok Gus Dur selalu dirindukan dalam masa ke masa. Maka dengan momen ini pula kebersamaan dengan para kerabat, sahabat, murid Gus Dur mengobati kerinduan para pengagumnya.
“Kami sangat bahagia akan kehadiran para tokoh lintas agama, budayawan, kiai-nyai yang telah menyempatkan hadir pada momen Haul Gus Dur. Merasa diobati rindu kami terhadap kehadiran kerabat, sahabat, murid Gus Dur,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan maaf terhadap kekurangan yang terjadi dari acara haul yang berlangsung, karena dalam kurun waktu lama baru mengadakan acara publik skala besar.
“Kami sebagai panitia juga menyadari kekurangan dari acara besar yang kami adakan ini sejak penggerak Komunitas GUSDURian saat ini cukup berani karena mengundang publik skala besar,” tambahnya.
Sambutan lainnya disampaikan oleh pemuka dari setiap agama dan kepercayaan yang hadir. Hj. Alfiyatunurrohmaniyyah dalam testimoni sahabat Gus Dur mengungkapkan, bahwa sebagai sahabat dan murid Gus Dur, dirinya amat terharu karena mengingatkannya ketika menemani keluarga Ciganjur menjelang wafatnya Gus Dur dan mendapatkan kedekatan dari membantu keluarga Ciganjur tersebut.
“Rasanya saya terharu, karena ingat ketika menjelang beliau meninggal, kebetulan saya ikut bersilaturahmi ke Gus Dur. Subhanallah tradisi bersilaturahmi bukan hanya di bulan Syawal, tidak hanya untuk muslim, namun terbuka untuk non-muslim. Tidak mempermasalahkan agamanya, yang penting adalah manfaat sebagai seorang manusia,” kenangnya
“Mari kita lanjutkan bersama nilai-nilai Gus Dur, terlebih saat ini selepas pesta demokrasi,” tandasnya memberikan pesan.
Acara selanjutnya adalah Kongkow Kebangsaan yang dipandu oleh Shinta Azizah dengan narasumber pertama oleh Budayawan KH. Amin Maulana Budi Harjono.
Orang-orang biasa memanggilnya dengan Kiai Budi, seorang budayawan yang terkenal akan tari Sufi yang sudah melalang buana bahkan menggema di tempat ibadah umat lain. Kiai Budi menjabarkan kenangannya yang sudah bercengkrama dalam nilai kedamaian antarumat agama dan budaya sepanjang hidupnya, terutama perkenalannya dengan sosok Gus Dur lewat tulisannya di media cetak sewaktu berkuliah.
“Sejak saya kuliah di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, dari sana saya berangkat dari pesantren dan terbiasa membeli majalah, dan menemukan tulisan Gus Dur mengenai kecintaan dalam agama yang dipandang paradoks dianggap kesatuan.”
Ia bercerita mengenai wafatnya Gus Dur yang dihadiri oleh berbagai orang hingga mencapai ribuan di Jombang.
“Saya posisi di Jombang ketika Gus Dur mangkat, saya langsung melayat, saya menyaksikan betapa banyak orang melayat, mungkin sampai seratus ribu orang. Saya melihat dari penganut Konghucu yang menangisi kepergian Gus Dur,” kenangnya dengan suasana ramai penuh canda.
“Gus Dur itu berbicara lewat tindakan, bertindak ketika berbicara, seperti dalam tulisan saya,” tandasnya.
Acara dilanjutkan dengan hiburan berupa penampilan paduan suara Al-Munawar diiringi tari Sufi.
Pembicara selanjutnya adalah Suniyya Ruhama selaku murid dan saksi hidup dan salah seorang yang menganggap sosok Gus Dur adalah bagian berjasa dalam hidupnya. Ia adalah murid yang mengabdi di akhir masa hidup Gus Dur. Ia mengenang dan memberikan pandangan terhadap sosok Gus Dur menurut pribadinya yang sederhana.
“Nilai sederhana yang dilakukan Gus Dur adalah hal yang sulit diaplikasikan kita zaman sekarang,” mulainya.
“Beliau itu orangnya sumeleh, berserah, tawakal lahir dan batin. Melakukan yang bisa dilakukan, kemudian hasilnya diserahkan kepada Allah Yang Maha Segalanya. Dan gak semua orang mampu melakukan itu, bahkan saya sendiri,” lanjutnya.
“Beliau itu duitnya banyak, tapi gak punya uang. Maksudnya untuk kebutuhan sendiri suka kekurangan tapi kalau untuk kebutuhan umat atau orang lain selalu diada-adakan,” ungkapnya.
Di tengah acara talkshow, penampilan stand up comedy pun turut memeriahkan acara yang disuguhkan oleh Syafni Nurrohman, salah satu penggerak GUSDURian UIN Walisongo.
Acara talkshow dilanjutkan sesi tanya-jawab yang berlangsung seru karena antusiasme audiens yang membludak untuk aktif bertanya kepada para speaker.
Yazid Nur Iman Yahya selaku Koordinator GUSDURian UIN Walisongo mengatakan bahwa tema yang diambil berkaitan dengan keadaan sekarang dengan merosotnya demokrasi di tahun politik ini dan warna budaya dalam haul ini menggambarkan sosok Gus Dur yang menjunjung tinggi nilai budaya yang kita miliki sebagai entitas sebagai bangsa.
“Temanya untuk ‘Demokrasi’ karena kita sedang tahun pemilu, dan adanya ‘Budaya’ untuk mengingatkan betapa Gus Dur mencintai kebudayaan kita sebagai entitas dan identitas yang harus dijaga,” jelas pria yang biasa disapa Yazid tersebut.
Salah seorang mahasiswa yang hadir bernama Ahmad Pakuamudin mengatakan sangat senang dapat hadir dalam Haul Gus Dur ke-14 ini.
“Saya senang dan terkesan sebab acaranya meriah dan bermacam-macam, dari ada seninya sampai membicarakan demokrasi dan menghibur sekali penampilannya. Kita juga jadi mengenang sosok Gus Dur, menjadi pengingat untuk melestarikan nilai-nilai utama Gus Dur,” ungkapnya.
Acara ditutup dengan penampilan teatrikal oleh pemuda lintas agama, yang dimotori oleh Erasmus, Afwan Yazyd, dan Dzulfakhor.