Nasihat Pendeta Zakaria Sude untuk GUSDURian

Wajahnya selalu ceria, tutur katanya lembut dan sesekali diselingi lelucon. Kesan itulah yang melekat dalam ingatan saya saat pertama kali berjumpa dengan Pendeta Zakaria Sude pada tahun 2004 silam.

Perjumpaan saya dengannya terjadi secara tidak sengaja di sebuah forum yang membahas strategi suksesi kepemimpinan di Sulawesi Barat (Sulbar). Di forum itu, Pendeta Zakaria turut serta menyampaikan pandangannya soal masa depan pembangunan provinsi Sulbar yang baru saja dimekarkan.

Seperti biasa, saat menyampaikan gagasannya, tutur katanya lembut, penuh makna, serta jauh dari kesan menghakimi. Nasihat-nasihatnya juga tidak hanya mampu menciptakan kesan, tetapi juga menampakkan kewibawaannya sebagai tokoh agama yang punya kepedulian tinggi terhadap tanah kelahirannya.

Sisi lain yang menarik dari kepribadiannya adalah selalu mengedepankan pikiran-pikiran positif. Mungkin karena itu, di Mamasa, Pendeta Zakaria tidak hanya dikenal sebagai tokoh agama, tetapi juga sosok guru yang progresif dan visioner.

Semenjak saya berinteraksi dengannya, saya tidak pernah sama sekali mendengarnya menceritakan kejelekan orang lain. Baginya, seburuk apa pun perilaku seseorang, tidak sepantasnya untuk dihakimi, karena belum tentu diri kita lebih baik dari mereka.

Jika pun harus membencinya, maka bencilah perilakunya, jangan pernah membenci manusianya, sebab jika Anda membenci fisiknya, maka Anda tidak akan pernah bisa menerima kebaikan yang pernah diperbuatnya.

Tak hanya itu, sikap optimisnya juga kerap kali menjadi penyemangat. Ia mengaku selalu bersemangat ketika berjumpa dengan anak-anak muda yang masih punya semangat pengabdian.

“Kesejahteraan, toleransi, dan perdamaian haruslah senantiasa dipikirkan oleh kalangan anak muda,” katanya

Menurutnya, semangat juang anak muda tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Mereka harus di-support. Karena itu, di usianya yang sudah sepuh, ia masih melibatkan diri bercengkerama dengan anak-anak muda.

Keseriusan mendiskusikan aset bangsa itu tak jarang dilakukan di rumahnya. Bahkan kediamannya senantiasa terbuka bagi siapa saja.

“Silakan datang, saya suka kalau ada anak muda yang datang, saya serasa muda kembali,” ucapnya.

Karena pesan itulah, setiap saya ke Mamasa saya selalu menyempatkan waktu menyambangi kediamannya di Kampung Baru, Desa Buntu Buda.

Silaturahmi

Meski di usia tak lagi muda, ia masih cenderung memaksakan diri untuk melakukan silaturahmi, menerima, mengunjungi tokoh agama dan pemuda di Kota Mamasa. Seperti biasa, ia tak lupa memberi semangat dan menasihati anak-anak muda yang dijumpainya. Tak terkecuali para penggerak GUSDURian Mamasa yang baru mekar di awal tahun 2021 lalu.

Saat berjumpa dengan penggerak GUSDURian, pengagum Gus Dur ini akan selalu menyisipkan pengalaman pribadinya saat berkunjung ke Jerman; menghadiri pertemuan pimpinan gereja-gereja sedunia. Di lokasi pertemuan, ia sempat diledek oleh salah seorang peserta dari negara lain.

“Gimana ini, Indonesia dipimpin orang buta,” katanya menirukan ucapan orang tersebut.

Dengan sedikit kesal, ia merespons pertanyaan itu dengan mengatakan, “Itulah hebatnya Indonesia, demokrasinya jalan. Jangankan orang sehat, orang buta saja bisa jadi presiden,” katanya.

Mappodokao

Gus Dur memang secara lahiriah tidak bisa melihat, namun mata batinnya mampu melihat ketimpangan dan hak-hak kelompok terzalimi di Indonesia. Dengan prinsip kemanusian dan keadilan, Gus Dur memperjuangkan hak-hak mereka.

Keberanian, sikap, dan cara pandang seperti ini, menurutnya, belum tentu bisa dimiliki dan dilakukan oleh semua orang, tak terkecuali bagi mereka yang mengaku sempurna secara fisik. Bahkan dalam hal pelayanan, kebanyakan manusia mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.

Perilaku seperti ini, dalam konteks Mamasa disebut mappodokao. Jika perilaku tersebut terus dibiarkan dan tidak ada upaya mengendalikannya, maka yakinlah pembangunan sebuah bangsa tidak akan pernah maju.

Pembangunan yang tidak menjadikan keadilan sebagai fondasi dan prinsip pelayanan, akan berpotensi mengundang gejolak dan konflik sosial. Karena itu, GUSDURian sebagai pelanjut misi perjuangan Gus Dur harus terus semangat, pantang putus asa.

“Gagasan kemanusiaan dan perjuangan keadilan Gus Dur harus senantiasa kita hidupkan,” katanya lagi.

Lebih lanjut, mantan ketua Sinode Gereja Toraja Mamasa (GTM) ini berpesan, jika bergabung ke GUSDURian, jangan mencari kehormatan, tapi gunakanlah GUSDURian sebagai ladang pengabdian untuk kemanusiaan, menjaga toleransi, dan menjauhi perilaku mappodokao, sebagaimana yang telah diajarkan dan diteladankan oleh Gus Dur.

Presidium Jaringan GUSDURian Sulampapua (Sulawesi, Maluku, Papua). Tinggal di Makassar. Aktif menulis di media cetak maupun daring.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *