“Mari, Nak, ikut Bapak. Sudah waktunya kau pulang kembali ke pelukan-Nya,” ucap Izrail. Utusan Tuhan. Si Pencabut nyawa Adam beserta anak cucunya. Dalam beberapa kebudayaan di belahan dunia ini, ia digambarkan sebagai sosok yang berjubah hitam pekat. Namun, kali ini demi anak itu, Izrail menyerupai sosok pria paruh baya yang ramah.
Tanpa ragu, anak itu menggenggam tangan pria itu. Digandengnya anak tadi menuju suatu lorong yang gelap. Di ujung lorong terdapat secercah cahaya. Menuju situlah mereka berdua. Setelah beberapa langkah, anak itu tanpa sadar menyapu pandangannya kepada sosok yang tergeletak di pinggiran tempat sampah. Matanya membelalak, yang dilihat itu tubuhnya. Terbujur kaku memucat. Mulutnya dipenuhi lalat.
“Pak, aku takut,” ucap anak itu.
“Kenapa, Nak?” tanya Izrail.
“Apakah kita sudah mati, Pak?” dengan nada lugu anak itu bertanya.
Wajah Izrail memucat. Ia tak sanggup mengatakan hal itu. Namun, dengan secepat kilat ia mengiyakan pertanyaan Rati. Mereka berdua terhenti di depan cahaya di penghujung lorong. Izrail memandangi wajah anak itu. Ia mengungkapkan jati dirinya. Sontak ia tersentak. Rati segera melepaskan tangan Izrail. Seketika, wujud aslinya nampak. Tinggi dan terlihat agak suram dengan wajah yang ditutupi bayang-bayang kelam.
Rati melayangkan langkah seribu, menjauh dari Izrail. Ia segera merangkul tubuh yang tergeletak tadi. Tapi sekeras apa pun usahanya, lengannya tak bisa memeluk tubuh itu. Rati menangis sekencang-kencangnya. Hingga malam pun meneteskan air mata. Hujan lebat tiba-tiba membasahi bumi.
Izrail melangkah mendekat kepada Rati. Kali ini ia memilih wujud pria gagah. Demi membujuk anak itu untuk menuju lorong tadi. Katanya, sebelum pukul 12.00 tepat tengah malam, mereka berdua sudah harus masuk ke dalam lorong itu. Waktu kini menunjukan pukul 11.30 malam. Rati menggelengkan kepalanya. Anak itu tidak rela meninggalkan jasadnya.
“Aku belum siap. Masih ada yang perlu aku lakukan.”
“Bukankan Bapak adalah malaikat maut. Tolonglah bujuk pada Tuhan agar aku diberi kesempatan untuk hidup. Masih banyak yang perlu saya kerjakan. Ibu, ayah, dan adik tak bisa saya tinggalkan begitu saja,” dirinya mengemis-ngemis memeluk kaki Izrail.
“Bukannya aku tidak ingin menolong. Tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa, Nak,” ucap Izrail layu mendengar tangisan dan rengekan Rati.
“Aku mohon, apa pun akan aku lakukan. Aku akan beribadah kepada Tuhan. Tidak hanya lima kali. Tapi sepuluh kali sehari. Akan kukorbankan semua harta yang aku punya.”
Ia menunjuk ke arah jasadnya. Nampak, jasad itu memeluk sebuah keranjang berisi sejumlah keripik yang tinggal sedikit. Tersisa lima bungkus. Hasil jualan sedari pagi hingga petang tadi.
“Tolong ambil keranjang itu beserta isinya. Itulah hartaku yang paling berharga. Ia menemaniku sedari aku umur sepuluh hingga aku umur dua belas saat ini berjualan. Aku mohon terimalah. Nanti aku bisa minta keranjang lain kepada bapak untuk dibuat kembali.”
Wajah Izrail nampak makin muram. Wujud sosok pria gagah itu tetap tidak mampu meluluhkan hati Rati untuk kembali ke haribaan-Nya. Tangannya menjulur ke arah anak itu. Mengelus-elus kepalanya dengan lembut.
“Tidak!” disingkirkannya tangan Izrail.
“Aku tidak mau pergi. Aku harus kembali dan menemani ibu di rumah. Mungkin saat ini ibu sudah cemas mencariku kesana-sini. Belum lagi kondisinya yang sudah tak kuat lagi akibat kanker yang menyerangnya dua tahun lalu. Aku mohon jangan dulu.”
Hujan lebat membasahi keranjang yang duduk tenang di pelukan jasad Rati. Lalat-lalat tadi mulai berterbangan secara acak menerjang tubuh Rati yang kering, kerdil, dan dibalut kain sobek yang disebutnya baju itu.
Sebuah mobil melintas di malam yang pekat itu. Izrail yang berdiri di tengah jalan terlewati begitu saja. Tubuh spiritualnya tembus dilewati oleh material kasar buatan manusia itu. Sejurus saat roda empat itu lewat, percikan air terciprat ke jasad Rati.
Melihat hal itu, Rati dalam wujud roh makin merengek. Tak tega ia melihat tubuhnya tak berdaya terhadap keadaan. Anak itu bersikeras ingin kembali ke rumahnya. Jualan yang sedari pagi dijajakan itu harus dikembalikan di rumah.
“Bila aku tidak bisa hidup kembali, aku mohon agar aku bisa mengantarkan hasil jualan hari ini. Uang itu untuk membelikan makanan di esok hari. Ikan dan bahan dapur lainnya. Ibu, aya,h dan adik perlu makan.” Dirinya telah ikhlas menerima kematiannya yang disebabkan kelaparan. Namun ia memiliki keinginan dari dalam diri agar keluarganya tidak mengalami hal serupa. Sehingga uang hasil jualannya harus diantarkan ke rumah.
“Rumahku tidak jauh dari sini. Aku masih mengingat jalan untuk pulang. Sebab tadi aku duduk dekat tempat sampah ini agar tak ada yang menggangguku saat tidur. Aku sangat lelah untuk sampai di rumah. Tapi di sinilah aku. Menatap tubuh yang berbaring kaku.”
“Baiklah. Aku akan bermohon kepada Tuhan agar engkau bisa mengantarkan uang itu.”
Sekejap mata Izrail terbang ke langit. Kepakan sayapnya menerbangkan sampah-sampah yang tak lagi bisa ditampung di tempat sampah. Dedaunan bertebaran. Pohon-pohon bergoyang kencang, seperti mau roboh. Semua terjadi dengan sekali kepakan sayap Izrail.
Tak lama, Izrail turun kembali pada Rati. Rati menyambut dengan wajah cemas. Izrail mengatakan bahwa permintaan anak itu dikabulkan. Ia diizinkan untuk mengantarkan uang hasil jualan itu kepada keluarganya. Kemudian Rati mencoba merogoh kantong di baju jasadnya. Keheranan, sedari tadi ia tak mampu menyentuh tubuh itu, sekarang dengan mudahnya jari-jari kecil itu merogoh kantong dan mengambil sejumlah uang kertas yang sudah lusuh diguyur derasnya hujan.
Rati segera berdiri. Ia memandang wajah Izrail yang kembali pada wujud pria paruh baya. Sekilas wajah itu mengingatkan Rati pada seseorang yang beberapa kali menolongnya di waktu kesulitan. Namun, ia tak bisa mengingat dan hal itu sudah tidak penting lagi baginya. Saat ini yang terpenting adalah uang di tangannya itu harus segera diantar ke rumah.
Waktu menunjukan pukul 11.50.
Sejurus kemudian digendonglah Rati. Izrail membentangkan sayapnya yang lebar. Ia membawa Rati terbang ke angkasa. Sehingga nampak kecillah semua bangunan yang ada. Rati merasa takjub. Baru kali ini ia dapat melihat panorama indahnya malam.
“Ternyata, malam hari suasananya seindah ini, ya. Baru kali ini aku melihatnya. Tapi tak kalah menariknya yaitu rumah dan gedung yang berjejeran itu. Semuanya nampak kecil dari atas sini. Mungkin begini cara Tuhan melihat kita dari atas sana. Semua sama. Kecil di matanya,” ketakjuban tergambar di wajahnya. Izrail tersenyum saat mendengar itu.
Rati terbang bersama Izrail menuju rumah. Namun ia tak bisa menemukannya. Sebab baru kali ini ia terbang bersama malaikat maut melintasi kota. Hujan telah reda. Ia mulai mengenali rumah-rumah tetangganya. Ia menunjuk ke arah barat.
“Tepat di situ,” jari-jari kecilnya menunjuk ke sebuah bangunan yang terlihat hampir roboh. Di depan rumahnya tergenang air dan lumpur yang nampak ingin bertamu ke dalam rumah.
Izrail segera turun. Sayapnya ditekuk kembali. Rati segera melompat kegirangan dan melangkah cepat dengan kaki kecilnya menuju rumah. Ia mendapatkan ibu dan adiknya duduk di ruang tengah yang kecil itu. Termenung. Terdengar, ibunya terus berdoa.
“Ya, Tuhan selamatkanlah anak kami, Rati. Sedari tadi ia belum pulang. Saya sangat khawatir ya, Tuhan,” doa ibunya yang terus diulang-ulang.
Tak disangka oleh ibunya, Rati sudah masuk ke dalam rumah. Anak itu melambai-lambaikan tangan kepada mereka adik dan ibu, namun mereka tak bergeming sedikit pun. Rati bersedih. Ia melelehkan air mata sembari mendekati ibunya. Ia ingin menyeka air mata yang keluar, namun sekali lagi tubuh rohnya menembus pipi ibu.
Izrail yang menunggu di pintu menyaksikan hal itu. Rati kemudian bertanya kepadanya mengapa ia tidak bisa menyentuh ibunya. Bukankah malaikat itu telah membujuk Tuhan. Izrail menjawab bahwa, yang dimintanya hanya kesempatan untuk bisa mengantarkan uang hasil jualan. Tuhan pun mengabulkan itu. Tidak lebih.
Rati kemudian melangkah menjauh dari ibu dan adiknya. Ia segera menuju kamar ayah dan ibu. Dan menaruh uang itu di atas kasur. Tujuannya agar segera bisa dilihat oleh kedua orang tuanya. Ia segera keluar. Dan menuju Izrail yang sedari tadi menunggu.
“Ayo, Nak. Mari kita pergi. Sekarang sudah saatnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 tepat tengah malam.”
“Tunggu!” ucapnya.
“Aku ingin berpamitan kepada ibu dan adikku.”
“Itu tidak bisa dilakukan. Sebab permintaanmu sudah dikabulkan. Kali ini sudah waktunya kita untuk pulang.”
“Aku mohon. Aku mohon. Aku mohon. Ini yang terakhir. Sebelum aku meninggalkan mereka,”
“Baiklah. Tapi engkau hanya bisa mengucapkannya dari pintu ini.”
Rati mengucapkan selamat tinggal kepada ibu dan adiknya. Sejurus kemudian angin berhembus menabrak wajah ibu dan adiknya. Terdengar di telinga mereka suara Rati mengucapkan kata selamat tinggal.