Social Media

Hikayat Desi: Ujung Tanduk Kekerasan terhadap Transpuan

Oktovianus Tafuli biasa disapa Desi oleh orang-orang di lingkungannya. Ia datang dari keluarga yang sangat kekurangan. Desi mencoba keluar dari kampung halamannya yang sangat terpencil, menuju kota untuk mencari pekerjaan agar bisa membantu keluarga di kampung.

Tahun 2012 adalah tahun di mana Desi pertama kali menginjakkan kakinya di kota. Kala itu usianya baru beranjak remaja, yang sebenarnya dalam usia tersebut seharusnya ia menempuh sekolah menengah pertama (SMP). Karena kondisi dan situasi yang tidak memungkinkan untuk bersekolah, dirinya mengadu nasib di kota yang kondisinya sangat berbeda dengan kampung halamannya. Dia sendiri belum mengerti kerasnya kehidupan di kota tanpa teman apalagi saudara. Seiring berjalannya waktu Desi mulai bekerja serabutan membantu orang-orang di pasar untuk mengangkut barang dan lain-lain.

Pada tahun 2015, Desi mulai mempunyai teman satu per satu. Dia mulai merasa nyaman untuk bercerita dan berkumpul dengan teman-temannya, karena selama di kota dan bekerja serabutan sering kali dia mendapatkan perundungan (bullying) karena sikap kemayunya yang sering dianggap aneh oleh warga sekitar. Memasuki tahun 2016, Desi mulai merasa bahwa di sinilah tempatnya, di sinilah seharusnya dia berada dan bergaul. Dari sinilah ia yang awalnya sering disapa Okto, nama masa kecilnya, lalu ia ganti menjadi Desi Aurelia Sasmita.

Dalam kesehariannya, Desi bekerja membantu teman-temannya yang kala itu membuka usaha salon khusus wanita. Dari sanalah dia mulai diajari cara make up, smoothing, dan lain-lain sampai akhirnya Desi dapat mendalami profesi tersebut dengan sangat baik. Di tahun 2018 Desi sudah mendapatkan job demi job yang ditangani sendiri dan menikmati hasil keringatnya. Dari situlah dia mulai menjadi tulang punggung keluarganya di kampung dan menjadi kebanggaan buat dirinya sendiri. Dari hasilnya menekuni profesi sebagai MUA (make up artist) dia dapat membantu kakak-kakaknya dan keponakannya. Orangtua Desi sudah meninggal dunia sejak dia masih kecil.

Yatim piatu, itulah status Desi sebagai anak dari tiga bersaudara. Desi anak bungsu dan laki-laki tunggal dalam keluarganya. Walaupun sekarang telah mengidentifikasi dirinya sebagai transpuan, dia tetap menjadi tulang punggung kakak-kakaknya. Pada tahub 2023, tepatnya tanggal 23 Desember, Desi mendapatkan job hairstyle atau rebonding rambut customer-nya. Pekerjaan tersebut dilakukan di rumah sang customer yang berjarak agak jauh dari tempat tinggalnya.

Setelah selesai melakukan pekerjaannya, sekitar pukul 02:00 WITA customer-nya meminta untuk menginap saja dan pulang besok paginya karena hari sudah terlalu larut dan lokasinya juga sangat jauh. Tetapi Desi menolak dengan halus karena ada alasan tertentu, dia sedang ditunggu keponakannya di kosannya sejak sore hari.

Jam 2 dini hari itu akhirnya Desi memesan ojek untuk mengantarnya pulang. Di tengah perjalanan mereka berhenti karena ada perdebatan di antara Desi dan si tukang ojek. Tidak jelas apa yang menjadi persoalan malam itu. Beberapa saat kemudian ada beberapa anak laki-laki dan salah seorang yang cukup dewasa menghampiri mereka berdua. Karena hari sudah malam, mereka melihat ada seorang perempuan dan laki-laki sedang bertengkar.

Anak-anak muda ini menghampiri tanpa banyak berbicara dan langsung memukul sang tukang ojek tersebut sambil berkata, “Kok kamu kurang ajar sekali bisa-bisanya bertengkar sama perempuan”. Dalam keadaan dipukul, tukang ojek itu sempat membalas kata-kata dari anak muda tersebut, “Dia itu bukan perempuan tapi banci”. Setelah mendengar kalau yang bertengkar adalah seorang waria, anak-anak muda tersebut membalikkan serangan bertubi-tubi kepada Desi.

Desi sempat lari, tapi dikejar kurang lebih 15 orang. Namun di antara mereka yang melakukan kekerasan atau pemukulan hanya empat orang. Saat itu tukang ojek melarikan diri meninggalkan Desi yang dikeroyok tanpa mencari bantuan. Desi dihajar di bagian paling sensitif yaitu kepala sampai dia tergeletak mengeluarkan darah yang sangat banyak. Setelah melakukan kekerasan, anak-anak muda itu langsung mengambil semua barang-barangnya. Desi lalu dibakar dan meninggalkannya tergeletak begitu saja di pinggir jalan.

Sampai jam 06.00 pagi, di mana hari mulai terang, banyak warga yang keluar untuk beraktivitas. Mereka menemukan Desi tergeletak bersimbah darah, lalu mereka menelpon pihak kepolisian untuk melaporkan kejadian tersebut. Jelang beberapa saat polisi pun datang dan membawa Desi ke rumah sakit terdekat untuk ditangani. Karena barang-barang Desi telah dibakar oleh pemuda-pemuda itu, maka polisi sulit mengidentifikasi identitas Desi.

Di rumah sakit seorang polisi wanita mengkonfirmasi identitas Desi kepada teman-teman transpuan. Sang polwan mengontak ketua divisi transpuan yang bernama Zhamantha Cheren bahwa telah ditemukan korban kekerasan di pinggir jalan serta mengirim foto Desi. Dari situ mulailah teman-teman Desi dikabari melalui grup transpuan untuk sama-sama menuju ke rumah sakit, setibanya mereka di sana semua terkejut melihat kondisi Desi yang sudah tidak sadarkan diri dan kritis.

Tidak sampai disitu saja, dari pihak rumah sakit meminta agar Desi cepat ditangani, persyaratannya harus ada keluarga terdekat yang melakukan pendaftaran dan penanggung jawab. Teman-teman Desi pun mulai kebingungan karena kala itu mereka sama sekali tidak mengetahui keberadaan saudara Desi. Pada saat yang sangat genting mulailah semua teman-teman Desi mengunggah foto Desi di media sosial untuk mencari keberadaan keluarga Desi. Dari pukul 07.00 sampai 13.00 tidak ada kabar apa pun yang didapat, sedangkan Desi sudah sangat kritis dan harus ditangani.

Mau tidak mau teman-teman Desi mengontak ketua Komunitas IMoF (Independent Men of Flobamora) NTT yaitu Ridho Herewila, meminta bantuan untuk Desi. Beberapa saat Kak Ridho pun datang dan langsung mengambil tindakan untuk melakukan pendaftaran dan registrasi sebagai penanggung jawab dari Desi. Setelah ditangani selama kurang lebih 1 jam akhirnya Desi menghembuskan napas terakhirnya. Terpukul, kecewa, itulah yang dirasakan teman-teman Desi. Mereka menangis, berteriak, dan tidak bisa menerima hal itu. Baru setelah ditenangkan, mereka dapat menerima kepergian sahabatnya tersebut.

Tantangan lain pun datang. Rumah sakit menagih pembiayaan dan pengurusan sampai kamar jenazah karena Desi adalah pasien umum. Teman-teman Desi dan Kak Ridho mulai berdiskusi untuk dapat menyelesaikan semua tanpa keluarga Desi. Namun yang menjadi persoalan adalah ke mana mereka akan membawa jasad Desi? Karena sampai pukul 15.00 keluarganya belum ada kabar.

Dari situ Kak Ridho dengan lantang berkata, “Biar jasadnya dibawa ke rumah saya (Rumah Pelangi). Saya yang akan mengurus semuanya dengan dibantu teman-teman transpuan.”

Setelah jasadnya mau dibawa, sekitar pukul 16.00, ada beberapa orang yang datang dan mengaku kalau mereka adalah keluarga Desi. Di situ mulailah ada diskusi tentang mau dibawa ke mana dan bagaimana tindak lanjut untuk memperjuangkan keadilan bagi Desi, karena hanya pihak keluarga saja yang pada saat itu bisa melakukan pelaporan di kepolisian tentang kasus kekerasan ini. Setelah beberapa saat, akhirnya diputuskan jasad Desi dibawa ke Rumah Pelangi untuk peristirahatan sementara, sebelum dibawa ke kampung halamannya yang cukup jauh, sembari menunggu hasil laporan kepolisian bila harus dilakukan otopsi.

Setelah sampai di Rumah Pelangi dan jasad Desi disembahyangkan menurut ritual Katolik, agama yang Desi anut, ada kabar dari kepolisian bahwa jam 04.00 mereka akan mengambil jasad Desi untuk dilakukan otopsi.

Dari laporan keluarga, polisi mulai bergerak cepat dan mulai mengidentifikasi pelaku. Dari 4 tersangka, mereka sudah menangkap 3 orang, yang mana 2 orang di antaranya adalah anak di bawah umur. Sedangkan 1 orang dewasa dari 3 orang itu adalah seorang anak dari anggota dewan (DPR). 2 orang di antara mereka adalah kakak-adik.

Setelah dilakukan otopsi, dokter mengatakan bahwa otak kecil Desi bergeser dan kepala bagian atas berlubang akibat hantaman benda tumpul. Mendengar hasil otopsi tersebut teman-teman Desi menangis histeris. Mereka tidak terima dengan kejadian yang sangat keji ini.

Setelah proses itu, teman-teman beserta Kak Ridho melakukan penggalangan dana untuk menyewa mobil agar bisa membawa jasad Desi ke rumahnya, karena dari pihak keluarga menyerahkan semua ke komunitas transpuan dan IMoF untuk mengurus semua.

Setelah selesai mengurus semuanya, jasad Desi pun dibawa ke kampung halamannya. Setelah itu urusan untuk mencari keadilan pun dilakukan dengan mengawal kasus Desi. Pertama yang dilakukan adalah meminta bantuan LBH APIK dan media supaya kasus ini bisa terang benderang tanpa ada intervensi dari pihak mana pun dan mendesak kepolisian untuk menangkap 1 lagi tersangka yang masih buronan.

Pada akhirnya, tanggal 26 Desember 2023 polisi menangkap pelaku di daerah yang lumayan jauh. Dia bersembunyi dan mencari celah agar kasus ini bisa hilang dengan memakai segala cara.

Setelah mendengar kabar kalau tersangkanya sudah lengkap dan sedang ditahan oleh kepolisian, teman-teman Desi sangat senang akhirnya keadilan ada buat mereka dan Desi. “Tidak sampai di sini saja, teman-teman transpuan terus mengawal kasus ini sampai mendapatkan putusan pengadilan,” ujar Kak Ridho.

Desi bukan hanya entitas yang ada lalu hilang begitu saja. Desi adalah potret bagaimana masyarakat kita masih sering memandang transpuan sebelah mata. Kisah Desi adalah simbol bagaimana kekerasan masih menghantui teman-teman transpuan dan tak bisa dibiarkan terus berlanjut. Sebagai warga-masyarakat yang setara di hadapan hukum dan dilindungi konstitusi, Desi dan semua transpuan lainnya memiliki hak yang sama dengan semua orang. Kita hanya perlu berempati, memahami, serta berpikir dan bertindak secara adil agar kisah Desi tidak terulang lagi.

Alumnus Lokakarya AKSARA Komunitas Qbukatabu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *