Beberapa waktu lalu, Menpan-RB Abdullah Azwar Anas menyebut anggota TNI dan Polri bakal bisa menempati jabatan ASN. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang membahas Manajemen ASN tersebut dalam waktu dekat (mungkin bulan depan) akan disahkan. Banyak kritik yang muncul karena kebijakan baru ini dianggap menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang eksis kala Orde Baru dulu.
Saya menyesalkannya tentu saja. Watak-watak Orba sebenarnya sudah sering muncul sepuluh tahun belakangan. Entah dilakukan dengan sembunyi-sembunyi di kolong meja, hingga yang paling terang-terangan (katakanlah nepotisme) tanpa rasa malu. Demokrasi didorong mundur dengan berbagai cara. Nah, kebijakan baru ini akan semakin mempertebalnya.
Kenapa harus disesalkan? Karena penghapusan dwifungsi ABRI adalah amanat reformasi. Dulu saat jadi presiden, Gus Dur mencabut dwifungsi ini agar tidak ada fungsi ganda dan superioritas militer di tubuh sipil. Gus Dur memisahkan Polri dari tubuh TNI, memberinya peran keamanan di wilayahnya masing-masing (di level negara dan masyarakat), dan tidak diperbolehkan lagi menduduki jabatan sipil seperti menteri, bupati, ataupun wakil rakyat.
Militer pun kembali ke barak, fokus mengurus kedaulatan negara, tidak terbebani urusan sosial-politik lagi, dan menjadi semakin profesional. Supremasi masyarakat sipil pun kembali, suara umbi-umbian seperti kita bisa didengarkan, demokrasi berjalan sesuai koridor dan semakin baik. Win-win solution. Semuanya senang!
Sayangnya tidak semudah itu. Seiring berjalannya waktu, kelompok bersenjata kembali dilibatkan ke kehidupan sipil. Bahkan sebelum kebijakan baru yang nanti akan disahkan, sebenarnya praktiknya sudah sering kita lihat. Tidak melulu soal ASN, melihat tentara mengurusi tanam-menanam singkong hingga polisi menangani urusan perlogistikan, sepertinya sulit membuktikan bahwa dwifungsi ABRI sudah benar-benar tercabut dalam praktiknya.
Dwifungsi ini bukan hanya masalah bagi demokrasi Indonesia, tapi juga preseden buruk bagi republik Indonesia. Bentuk republik yang sudah ditentukan oleh para pendiri bangsa kita dulu, jika mau ditelusuri gagasan filosofis dan sejarahnya, pada dasarnya harus memisahkan “tentara” dengan “politik”. Sejauh ini, negara kita memang belum secara resmi menyodorkan konsep republik yang matang. Di sekolah-sekolah, sepertinya jarang secara serius dibahas: Apa itu republik? Kenapa Indonesia harus jadi negara republik?
Dalam rapat BPUPK dulu, pemilihan republik hanya didasarkan pada kemenangan voting. Memang ada argumen pendukung yang muncul dari Mohammad Yamin dan kawan-kawan, tapi itu hanya sekedar keinginan agar negara kita tidak berbentuk kerajaan atau monarki. Bahkan Tan Malaka yang menulis buku Naar de Republiek Indonesia tidak pernah benar-benar menjelaskan makna republik. Barangkali hanya Mohammad Hatta yang memiliki gagasan republik paling sistematis. Gagasan republiknya berasal dari filsafat politik Yunani klasik.
Dosen Ilmu Sosial UNJ Robertus Robet pernah menjelaskan gagasan tentang republik ini dengan cukup komprehensif dalam bukunya Republikanisme. Di buku ini, saya tidak sengaja menemukan banyak jawaban atas segala pertanyaan filosofis tentang cara kerja negara yang selama ini mengendap di kepala. Termasuk alasan kenapa “tentara” dan “politik” harus dipisahkan dalam sebuah republik?
Awal mula ide ini sebenarnya berasal dari Aristoteles di masa Yunani klasik. Ia memulai konsep republikanisme dari pemisahan antara polis dan oikos. Polis adalah wahana tindakan yang mengatur keadilan bagi masyarakat. Hari ini kita menyebutnya sebagai politik, alias sebuah ekspresi untuk menentukan hal-hal yang baik bagi kepentingan umum. Sedangkan oikos adalah hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga sebuah keluarga seperti perekonomian dan kepemilikan.
Di era Romawi kuno, pemisahan polis dan oikos menginspirasi Cicero, yang akhirnya menciptakan istilah res publica (hal-hal yang publik) dan res privata (hal-hal yang privat). Dari sinilah istilah republik muncul dan gagasan republikanisme mulai berkembang. Res publica memiliki logic of common good yang menempatkan kepentingan bersama sebagai prioritas utama, sedangkan res privata memiliki logic of survival yang menaungi upaya-upaya bertahan hidup, yang meliputi urusan dapur, ranjang, hingga perang. Tentara, dalam hal ini masuk dalam urusan privat karena berkaitan dengan upaya bertahan hidup, yaitu perang. Ia harus dipisahkan dengan urusan publik yang mengatur negara dan pemerintahan.
Jadi begitulah seharusnya republik merespons masalah dwifungsi ini. Tapi realitanya sering kali tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kabar buruknya, kita sudah kehilangan ruh republik sejak lama. Hal ini bisa didasarkan pada banyak kasus. Selain ancaman kembalinya dwifungsi ABRI, kita bisa melihatnya lewat bercampurnya uang, ekonomi, bisnis, hingga oligarki (res privata) pada urusan politik (res publica) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ini sudah biasa kita lihat, tapi bukan berarti bisa dibenarkan, apalagi kalau kita sepakat menggunakan bentuk pemerintahan republik.
Para pejabat dan politisi juga tidak bertindak berdasarkan kepentingan publik, tapi hanya untuk menyelamatkan dan mengenyangkan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya. Tidak semua memang. Tapi banyak sekali, sampai sulit mau disebut oknum. Lihat saja berapa banyak kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sudah terjadi.
Kalau Indonesia benar-benar republik, Lapas Sukamiskin tidak akan seramai sekarang. Kalau Indonesia benar-benar republik, maka ketua, para penyidik, dan 78 orang pegawai KPK tidak akan menerima pungli dan memeras menteri untuk menutupi kasus. Ini ironis sekali. Padahal musuh besar republik adalah korupsi, karena ia menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik. Kita telah kehilangan cara berpikir republikan yang paling mendasar.
Di Indonesia, wilayah publik dan wilayah privat sudah bercampur baur. Kita tidak punya pegangan untuk menentukan mana dan makna publik. Politik, kebijakan, agama, bisnis transaksional, hingga upaya memboyong keluarga untuk berkuasa sudah sulit dipisahkan. Di negara kita, res privata sudah mengokupasi res publica.
Sepertinya benar kata Gus Dur. Indonesia bukanlah negara agama, bukan juga negara sekuler. Indonesia lebih tepat dideskripsikan sebagai negara bukan-bukan. Guyonan ini lucu sekaligus terasa pahit karena sulit menepis realitanya. Tapi bukan berarti kita hanya bisa pasrah. Kita sebagai masyarakat sipil mempunyai andil yang tak kalah besar pada keberlangsungan negeri ini. Bangsa yang akan kita wariskan pada anak cucu di masa depan.
Sebagai warga negara, saya sendiri selalu merasa memiliki tanggung jawab atas pilihan-pilihan saya selama pemilu. Karena demokrasi tidak hanya berlangsung lima tahun sekali, tapi setiap hari. Gus Dur menyebutnya proses yang tak kunjung henti. Maka dari itu melakukan kontrol pada kekuasaan menjadi perlu. Mengawasi pemerintah dan jalannya pemerintahan adalah tugas kita sebagai masyarakat sipil. Melakukan kritik, advokasi kebijakan publik, demonstrasi, dan upaya-upaya pengawasan lainnya adalah bentuk patriotisme dalam sebuah republik yang terlanjur acak-acakan. Jadi, jangan sungkan-sungkan.
Jika Indonesia adalah bahtera, kita perlu mengingatkan kapten dan juru mudi untuk tetap berada di jalur yang benar demi keselamatan bersama, serta memanajemen kebutuhan kapal dan penumpang dengan sebaik-baiknya. Jika kita bisa membantu akan lebih baik. Bukannya pasrah sembari menunggu hidayah datang pada pengambil kebijakan hingga kapal karam dengan sendirinya.
Kita tak harus langsung berhasil dalam memperjuangkan republik ini. Berkali-kali kalah juga tak masalah. Sometimes you win, sometimes you learn, kata John Maxwell.
temps mail
March 18, 2024of course like your website but you have to check the spelling on several of your posts A number of them are rife with spelling issues and I in finding it very troublesome to inform the reality on the other hand I will certainly come back again.