Dalam benak masyarakat definisi transpuan selalu berpakaian seronok, berambut panjang, berdandan menor, dan bertingkah menggoda. Sosok Mexa mematahkan prasangka tersebut, lalu menyuguhkan kediriannya yang begitu cair.
Sekilas penampilan Mexa tampak seperti laki-laki pada umumnya, sesuai dengan harapan norma-norma sosial. Ia mengenakan kaos oblong hitam, warnanya agak pudar, dan celana panjang training abu-abu. Tiap kali keluar ia menambatkan topi pet hitam.
“Ih, ko pakai sudah. Sa su terlalu bangga dengan sa pu diri. Atau saya kadang-kadang jawab santai, “Ktong begini saja su banyak yang gila-gila”,” Mexa mereka ulang jawaban, menepis ujaran-ujaran dari teman-teman sekantornya untuk berdandan, berambut panjang, bahkan menggunakan produk-produk pemutih tubuh.
Mexa merupakan aparatur sipil negara (ASN) di salah satu instansi pemerintah. Saat bekerja, ia harus mengenakan baju seragam dan celana panjang, ia menyebutnya berpenampilan maskulin.
“Saya tabrak-tabrak, kadang-kadang, melawan kodrat. Saya gambar alis, pakai bedak tipis-tipis, bahkan pakai kutek.”
Pihak kantor tidak pernah protes terhadap ketetapan hatinya untuk mengekspresikan dirinya. Perkara terkejut biasanya terwujud dari pertanyaan-pertanyaan yang terkesan bercanda.
Suatu kali, Mexa menata rambut keriting dengan gaya berbeda.
“Ini ko bikin apa lagi rambut?,” tanya seorang rekan kerjanya.
Buat Mexa pertanyaan-pertanyaan ringan nan beruntun tersebut bukan persoalan berat. Ia bisa membalasnya dengan nada seloroh.
Namun beberapa kali Mexa harus mengerahkan energi yang lebih besar untuk menegur lontaran-lontaran yang tak lagi lucu. Misalnya, saat ia pergi makan siang bersama seorang rekan kerja laki-laki lalu mendapat desakan pasca kembali ke kantor.
“Ih.. kamu dua dari mana ini? Kamu dua pacaran kah?”
Maxana memberi ketentuan untuk tipikal pertanyaan-pertanyaan mengganggu seperti ini. Satu hingga dua kali Mexa masih bersikap santai menjawabnya. Ketika ia merasakan raut wajah teman laki-lakinya berubah, Mexa lantas unjuk gigi.
“Ko tidak boleh begitu. Kalau ko ngomong ke sa, sa masih bisa terima tapi kalau ke dia, dia tidak terima lalu pukul ko bagaimana?,” pungkasnya.
Apabila teman-temannya tak mengindahkan peringatannya, Mexa mengatur ulang nada suaranya menjadi lebih tinggi.
“Kita di sini tu teman, kekeluargaan. Tahu aturan tahu batasan kalau bicara. Saya juga manusia, saya juga bisa tersinggung. Kalau saya tersinggung, ko bisa tanggung jawab?!”
Keluarga Menerima, Keluar Rumah Ditolak
Mexa tumbuh dari keluarga yang amat menyayanginya. Kedua orang tuanya, sekalipun, tak pernah mengatakan sosoknya dengan kata-kata “banci” atau “bencong.”
“Mereka tidak pernah marah. Kalau dulu saya kan masih rambut panjang, suka pulang ke rumah pakai rok. Mereka tidak pernah marah. Cuma mama pernah bilang saja, jangan berlebihan,” cerita Mexa.
Mexa menyadari keberuntungan dirinya berada dalam keluarga yang suportif. Berbeda dengan beberapa pengalaman teman-teman transpuan yang memilukan lantaran mendapat kekerasan fisik bahkan diusir dari rumah sebagai konsekuensi mengenakan rok maupun bersolek.
“Kadang kalau pas main ke rumah teman yang sama-sama Papua, takut sama orang tuanya. Mereka bisa marah, “Ko mau bawa kemana sa pu anak? Ko mau pergi dandan?!” [atau] “Bawa teman-teman, pergi dandan-dandan mau jadi bencong!?,” ungkap Mexa, mengingat memori-memori tentang situasi yang harus berhadapan dengan keluarga teman-teman transpuan Papua lainnya.
Mama dan bapak Mexa merupakan orang asli Papua. Mexa merupakan bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya laki-laki, sementara nomor kedua perempuan. Sikap keras menentang ekspresi gender Mexa beberapa kali muncul dari si sulung. Mexa menilainya sebagai tindakan yang masih wajar karena tidak berbuntut kekerasan fisik.
Meskipun demikian, Mexa kerap merasa getir menyaksikan realitas yang lain di luar rumah.
“Proses terberat adalah ketika saya berpenampilan feminim itu keluarga menerima tapi ketika keluar, kita merasa orang lain.”
Ketika Mexa masih berpenampilan feminim ia akan menghindari berbelanja di kios-kios sekitar rumah. Ia merasa tidak nyaman dengan pandangan dan bisik-bisik para tetangga.
Saat berkumpul bersama keluarga besar, tante-tantenya tak luput menyematkan pernyataan-pernyataan bernada diskriminatif.
“Itu kok gayanya makin kayak perempuan?”
Mujurnya, sang mama dan bapak gesit merespon.
“Kasi biar sudah.”
Menurut Mexa pernyataan dari orang tuanya bukan berarti lantas membiarkan anaknya lalu tidak memperhatikan. Kalimat tersebut merupakan lontaran dalam obrolan sehari-hari orang Papua yang maknanya tidak perlu repot mengurusi orang lain.
Keputusan Mexa untuk mengidentitaskan dirinya sebagai transpuan tidak lepas dari peran orang tuanya yang mengajarkan kepada anak-anaknya untuk setia dan bertanggung jawab terhadap pilihan yang diambil.
Hal lainnya yang meneguhkan identitasnya adalah kegemarannya pada aktivitas menari. Sedari kecil Mexa mempunyai hobi menari, mulai dari tarian modern, tarian adat, maupun tarian kreasi. Orang tuanya turut menyokong keuletannya dengan menginformasikan berbagai lomba menari.
Semesta seakan menyertai perjalanan hidup Mexa untuk menemukan ruang-ruang aman yang mengakomodir apresiasinya terhadap identitas dan tubuhnya. Ia berkenalan dengan Aura, transpuan yang kini menjadi karibnya, melalui klub dance di Jayapura. Melalui Aura, Mexa mengenal teman-teman transpuan lainnya, kemudian bergiat dalam olahraga voli bersama.
Di tahun 2019, sebelum Mexa memutuskan untuk mendaftar menjadi ASN, merupakan fase kehidupan yang ia nikmati betul. Maxana pernah berkuliah di sebuah universitas seni di Jayapura. Materi-materi perkuliahan makin menguatkan kecintaannya pada seni tari.
“Sambil kuliah sambil menari, selama saya hidup itu yang paling nikmat. Ada hobi didukung institusi, kesehariannya begitu, teori dapat.”
Perasaan girang saat itu menjadi jawaban atas pencarian Mexa pada tahun-tahun sebelumnya. Ia mengungkapkan, pada periode 2016-2017, Mexa sempat kebingungan dan ketakutan terhadap hidupnya.
“[Karena] masih belum mengenal diri, masih tengok kiri kanan. Kayanya saya salah ini begini. Pada akhirnya ketemu oh arah saya mau begini, batasan saya mau begini,” tuturnya.
Jerih payahnya menekuni tari bukan hanya mengeksplorasi identitas dan tubuhnya, juga potensi dirinya. Mexa merenung, bahwa kemampuan menarinya bisa menjadi modal mengajar. Ia memberanikan diri untuk datang ke sekolah-sekolah, menawarkan jasanya untuk menjadi pelatih tari.
“Mereka tidak melihat kamu sebagai transpuan tapi potensi dalam diri kamu. Dari situ baru ngeh, ternyata untuk bisa maju kita harus gali potensi dari dalam diri,” ujar Mexa mengulang refleksinya di kala itu.
Gayung bersambut baik dari pihak sekolah. Mereka mempercayai dan memberikan ruang bagi transpuan untuk terlibat dalam proses mengajar di sekolah. Keputusan ini membangun kepercayaan diri Mexa.
Mengenal Diri, Menolak untuk Didefinisikan
Mexa memperbaiki posisi duduknya, sembari menghisap rokoknya lalu menghembuskannya dengan panjang. Ia sempat terbahak menceritakan ulang proses lamarannya menjadi ASN.
Kedua orang tuanya sempat heran lalu merasa geli dengan pilihan Mexa mendaftar sebagai aparatur negara untuk ditempatkan di penjara.
“Mereka ulang-ulang tanya, “Ko yakin?” Bukan hanya mereka, orang lain juga, keluarga dan teman-teman. Di saya punya pikiran kalau saya bisa diterima di lingkungan keluarga, teman-teman, pasti akan diterima juga di lingkungan lainnya.”
Demi membuktikan keyakinannya, Mexa menantang dirinya untuk tekun berlatih fisik. Tiap pukul 17.00 hingga 23.00 WP ia rajin menyambangi lapangan besar untuk latihan lari dan angkat beban.
Di tes pertama tahun 2018, namanya tidak masuk dalam daftar yang diterima sebagai pegawai. Namun Mexa berada pada urutan ke-22 dari 3000an orang lainnya yang ikut mendaftar untuk 14 posisi. Kendati demikian, niatnya justru kian menyala.
“Motivasinya waktu itu, pertama, memang karena lihat orang tua. Terus yang kedua, saya ingin membuktikan bahwa fisik kita semua sama. Nggak ada istilah karena kamu feminim kamu lemah. Karena bukan laki-laki [cis] straight atau normal maka tidak bisa,” kata Mexa.
Pembukaan pendaftaran ASN di tahun 2019 disambut oleh Mexa. Ia memilih penempatan yang berbeda dari sebelumnya. Nilai computer assisted test (CAT) pada percobaan pendaftaran pertama milik Mexa termasuk yang tertinggi di Papua. Ia tak lagi harus mengulang tes tersebut. Kali ini namanya tertera dalam penerimaan formasi untuk satu instansi pemerintahan.
Berita yang wajarnya disambut gembira justru menyeret Mexa kembali pada realitas yang masih diskriminatif terhadap kelompok keberagaman gender.
“Waktu diterima sempat kaget, “Kok bisa?” Lalu muncul pertanyaan ini saya akan berhadapan dengan banyaknya laki-laki cis. Bagaimana kamu mempersiapkan dirimu? Apakah ko akan menjadi Maxana yang dikenal atau menjadi orang lain?”
Upaya untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan pekerjaan berjumpa dengan momen-momen mendebarkan. Beberapa teman kerjanya mendatangi mejanya, menuntut jawaban apakah dirinya sosok Madam yang dulu populer sebagai penari dan pelatih tari di sekolah.
“Kak Mex, sorry ya.. Dulu yang ngajar cheerleader di SMA? Saya dulu sekolah di situ, saya pernah lihat kakak,” Mex menuturkan potongan momen tersebut.
Menerima pertanyaan tersebut Mexa menjadikannya sebagai pintu kebebasan untuk tak lagi bersembunyi.
“Menurut saya itu semacam berkat. Saya tidak perlu berpura-pura. Akhirnya semua berjalan sesuai alur, tanpa ada drama atau bisikan-bisikan orang-orang bertanya.”
Sesama pekerja lainnya, kini menjadi salah seorang teman dekatnya, bahkan pernah menunjukkan gelagat transphobic. Ia tampak tidak nyaman dan berusaha mengeksklusikan dirinya dari lingkar-lingkar kecil yang mencakup Mexa di dalamnya.
“Jangankan bersentuhan, dilihat aja dia langsung keringat dingin!,” imbuh Mexa sembari tertawa membahana.
Suatu kondisi memaksa Mexa dan laki-laki tersebut untuk selalu bersama selama setahun. Mereka harus berboncengan menggunakan sepeda motor dari kantor menuju rumah maupun sebaliknya. Di sela-sela perjalanan Mexa mencoba mengajaknya ngobrol, lalu menceritakan pengalamannya dan teman-teman transpuan lainnya.
Teman laki-lakinya sejak awal mengantongi persepsi sepihak bahwa individu-individu yang kerap diolok ‘bencong’ atau ‘icok’ selalu terkesan aneh, tukang mengganggu, bahkan tidak normal. Melalui Mexa, ia belajar mengenal secara langsung.
Maxana mengibaratkan garis kehidupannya menjadi ASN adalah bagian dari karunia Yang Maha Kuasa. Ia tak menyia-nyiakannya, malah menjadi salah satu instrumen melawan stigma terhadap komunitas queer.
Heteronormativitas bukan sekadar menitahkan persoalan gender yang biner, yakni perempuan dan laki-laki. Belum usai pembedaan ini, kedua gender harus mengantongi peran, ekspresi, dan tubuh biologis yang paten. Perempuan seharusnya feminim, memiliki rambut panjang, memiliki payudara, dan vagina. Laki-laki mestinya maskulin dan berpenis.
Eksistensi Mexa melampaui batas-batas ini, sekaligus mendobrak standar kecantikan sebagai transpuan. Tuntutan dan pengawasan bahwa transpuan semestinya berambut panjang, mengenakan pakaian feminim, dan tidak brewokan muncul dari kelompok cis hetero sekitar Mexa maupun teman-teman queer sendiri.
“Ih katanya icok kok brewokan? Katanya transpuan tapi ga punya rambut? Seme (karakter dalam Boys Love yang berperan kuat dan aktif) ya?,” Mexa menirukan pertanyaan-pertanyaan dari teman-teman sesama queer.
Mulanya Mexa masih tenang menuturkan kisah-kisah mendiskreditkan ini. Perlahan Mexa tampak antusias dan menggebu, seolah menuntut adanya transformasi.
“Saya jawab, “Tidak perlu sebenarnya tong kasih panjang rambut. Cukup jadi diri sendiri. Kenal diri anda. Sudah cukup.”
Mexa menjelaskan sikap penuh percaya diri yang ia rasakan kini memakan waktu untuk berlatih ulang-ulang. Salah satu ruang guna mengaktualisasikan pengetahuan dan pemahamannya terhadap identitas queer melalui komunitas. Tanpa jengah ia mengingatkan dirinya maupun teman-teman transpuan lainnya untuk berhenti membuat ketentuan-ketentuan paten soal kecantikan.
“Saya juga sedih kalau lihat teman-teman transpuan tidak memiliki rasa kepuasaan terhadap diri. Kalau sudah belajar, sudah paham betul, (menjadikan) kecantikan itu nomor dua. Karena yang pertama mengenal identitasnya dulu.”
Mexa mengimbuhkan, mengejar hasrat menjadi cantik sesuai dengan standar yang beredar bahkan berpatokan pada sosok cis perempuan justru melelahkan dan meningkatkan kerentanan jiwa transpuan.
“Seumpama jadi perempuan kamu harus punya payudara, harus operasi, udah metong (mati) kita dari dulu!”
Bercermin pada pengalamannya di masa lalu, Mexa memilih untuk memprioritaskan proses melela secara personal. Sebab di tengah perjalanan ini, ia kerap terhimpit dengan realitas norma-norma heteroseksual yang masih mengambang secara internal.
“Kadang meskipun kita mengenal diri, kita mau tidak mau harus menghadapi prasangka di luar sana atau dari diri sendiri yang bertolak belakang. “Tubuh ini laki-laki, tapi jiwa ini perempuan.” Menurut saya, kasih netral dulu dari dalam. Mengenal baik dulu,” tutup Mexa.