Udara dingin ketika subuh menusuk tulang-tulang yang kurus. Hujan pun masih begitu setia menemani Genta yang tidur. Tak lama, suara azan subuh dilantunkan dan tak kalah kerasnya dengan hantaman hujan di atap rumah.
Genta segera bergegas mempersiapkan diri untuk salat subuh sendirian di rumah. Sementara para jemaah Masjid Nurul Haq menunggu kehadiran Genta.
“Waduh, ini sudah mau masuk waktu salat, tapi Genta belum juga datang,” ucap salah satu jemaah.
“Jika sudah waktunya, kita salat saja. Barangkali Genta ketiduran karena hujan,” ucap Reza.
***
Waktu sudah menunjukan pukul 06.30 pagi, terlihat motor matic berwarna merah melaju kencang. Itu adalah Genta yang bergegas ke sekolah.
Pip-pip (bunyi klakson motor Genta).
“Tunggu sebentar, aku masih pakai sepatu,” ucap Reza kepada Genta.
Saat ini Reza dan Genta sudah mendapat pekerjaan sebagai guru. Genta sebagai guru penjas dan Reza mengajar bahasa Indonesia di sekolah SMP 1 Buhi.
***
Kringgggg…. Bel tanda masuk berbunyi. Para siswa berbondong-bondong masuk kelas menunggu guru.
Dari balik jendela, dua gelas kopi hitam dicampur jahe sudah tersedia di atas meja Genta dan Reza. Sementara guru-guru lain mulai meninggalkan dewan guru sembari membawa buku dan absen kelas.
“Pemilihan presiden kemarin kamu pilih siapa?” tanya Reza kepada Genta.
“Ini masih pagi, ngapain kamu bahas itu? Apakah gak ada pembahasan lain?” jawab Genta.
“Justru pagi-pagi begini kalau membahas politik otak dapat terangsang.”
Genta hanya menggelengkan kepala, sesekali ia asik menyeruput kopi dengan tenang.
“Kamu tak perlu tahu siapa yang aku pilih, agar tak ada konflik antara kita berdua,” lanjut Genta.
“Konflik apa yang kau maksud? Aku hanya bertanya saja.”
“Begini, kalau aku bilang aku pilih Prabowo, Anies, atau Ganjar, pasti kamu akan menanyakan alasanku memilih. Setelah alasan itu aku terangkan, maka kamu akan menyanggah dan membantah argumenku. Alhamdulillah jika kita berdua memilih presiden yang sama, pasti kamu akan mendukung pendapatku, tapi bagaimana jika pilihan kita berdua berbeda, pasti perdebatan akan terjadi,” terang Genta.
Di sela-sela perbincangan, kepala sekolah datang mendekati Genta dan Reza.
“Pak Reza dan Pak Genta tidak masuk kelas?” tanya kepsek.
“Ini sudah mau masuk kelas, Bu,” jawab Reza sembari mengambil buku dan pulpen. Tak lupa ia memberi isyarat kepada Genta izin pamit ke kelas.
“Kalau saya lepas jam istirahat masuk kelas, Bu,” jawab Genta memberi alasan.
***
Matahari mulai tak bersahabat. Suhu di ruang guru terasa panas layaknya para pendukung presiden yang memanas. Dari kejauhan Reza melihat Genta sedang berjalan entah ke mana. Reza pun segera menyusul Genta.
“Genta, tunggu dong,” ucap Reza sambil berlari.
“Kamu mau ke mana?” tanya Reza kepada Genta.
“Apakah kamu tak melihat ini jam berapa?” ucap Genta.
“Astaghfirullah, ini sudah waktu salat zuhur. Ayo kita mengambil wudu,” ajak Reza.
Para siswa juga ikut berwudu dan tak lama azan salat zuhur dilantukan dengan merdu.
***
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap seorang imam sembari menghadap kiri dan kanan pertanda salat zuhur telah usai.
“Genta, ada yang ingin saya ceritakan kepadamu,” ucap Brayen. Brayen adalah seorang guru agama di SMP 1 Buhi.
“Ada apa Brayen?” tanya Genta
Brayen menceritakan peristiwa perundungan yang dialami oleh beberapa siswa Kristen. Suatu hari, siswa kelas 7 sedang membahas tugas sekolah di grup WhatsApp. Tapi di sela-sela pembahasan ada salah satu siswa yang beragama Islam mengirim stiker gambar Tuhan Yesus yang bertuliskan “Astaghfirullahaladzim”. Parahnya lagi gambar Tuhan Yesus tersebut bertuliskan kata-kata yang kotor. Genta ingin mendengar lebih banyak, tapi tiba-tiba Reza datang menghampiri.
“Kalian sedang membahas apa sih? serius amat,” tanya Reza.
Brayen menjelaskan kembali kejadian yang terjadi kepada Reza. Reza merasa sedih dan diam termenung.
“Bagaimana pendapatmu mengenai kejadian ini Genta?” tanya Reza.
“Sebenarnya hal ini tidak bisa dibiarkan, jangan sampai kejadian ini akan dirasakan oleh semua siswa non-Muslim,” ucap Genta sembari memperbaiki cara duduknya.
“Sebenarnya dengan menghina agama lain menggambarkan sifat kebodohan pada diri sendiri. Jika ini dibiarkan, maka hal ini memberi ruang kepada para siswa untuk saling merendahkan antaragama,” ucap Genta.
Reza pun memberikan argumen yang membuat Genta tersenyum-senyum, “Bukannya dalam Qur’an surah Al An’am ayat 108 sudah jelas? ‘Dan janganlah kalian memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan’.”
“Surah yang kamu sampaikan itu betul, tapi apakah kalian tahu mengapa ayat ini diturunkan?” tanya Genta.
Dengan cepat Reza menanggapi pertanyaan Genta tersebut, “Sekilas yang kubaca bahwa ayat ini turun akibat sikap jumawa atau angkuh sebagian sahabat Rasul.”
“Ya, kamu sangat betul Reza. Ayat ini turun akibat sikap jumawa para sahabat Rasul yang bangga dengan Islam, tetapi tanpa sadar mereka merendahkan dan menghina agama lain,” ucap Genta.
Brayen pun tak mau kalah, tanpa menunggu aba-aba ia langsung mengucapkan sesuatu yang pernah ia dengar dari ceramah Gus Baha.
“Aku juga pernah mendengar ceramahnya Gus Baha, bahwa masa-masa awal Islam para sahabat bangga dengan agama Islam yang baru mereka peluk. Saking bangganya, sebagian dari mereka menghina sesembahan orang-orang kafir, bahkan dengan kecaman. Karena orang kafir tak tahan dengan makian itu, maka mereka pun membalas dengan menghina Allah Swt. Begitulah yang aku dengar dari Gus Baha.”
Genta dan Reza mengangguk-ngangguk dengan hati kagum karena secara diam-diam Brayen juga mengagumi ulama yang mereka berdua kagumi.
“Kisah yang kamu ceritakan sangat bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Dan harus ditegaskan kepada para siswa-siswa bahwa menghormati agama lain adalah bagian dari mencintai Islam dan saya juga akan mengundang siswa yang telah melakukan penghinaan tersebut,” tambah Genta.
***
Kring….. Kring…… Kring… Bel pulang sekolah mulai dibunyikan dengan keras, para siswa berteriak dengan riang, debu-debu berterbangan penuh bahagia, sementara pancaran matahari di siang hari masih tetap setia menemani makhluk bumi.
“Semua siswa silakan pulang, kecuali siswa kelas 7,” ucap Genta sembari mengundang Kiki dan Putra, pelaku dan korban perundungan tadi ke ruangannya.
“Bapak sudah dengar semuanya dari Pak Brayen. Sekarang kalian harus saling memaafkan,” ucap Genta. Tak lupa pula ia memberikan nasehat kepada mereka agar tidak saling menghina agama yang dianut sesama, karena bisa berbahaya untuk diri sendiri dan orang lain.
***
Hari Minggu adalah hari yang dinanti-nantikan bagi para pekerja untuk menghabiskan waktu seharian bersama keluarga. Tapi berbeda dengan Genta, setelah subuh ia justru menyempatkan waktu mengaji kitab di depan rumah sampai lupa untuk mencuci pakaian.
Di lain tempat, Kiki mampir di rumah Putra. Untuk permohonan maafnya, hari ini Kiki akan menemani Putra ke gereja untuk beribadah sampai dengan selesai.
“Apakah orang tuamu tidak akan marah jika kamu menemaniku ke gereja?” tanya Putra.
“Aku sudah izin ke orang tuaku,” ucap Kiki sembari melebarkan senyuman tulusnya.
Sejak itu, Kiki dan Putra saling menemani jika salah satu dari mereka akan melaksanakan ibadah dan seiring berjalannya waktu juga keakuran ini berdampak positif kepada siswa-siswa lain.