Merasa diri sendiri benar adalah sumber pertikaian, merasa diri sendiri salah adalah sumber kedamaian
YOGYAKARTA – Terik mentari membakar bentala. Panas merayap dan merunjam hingga ke tulang belulang, membuat penunjuk cuaca di layar gawai menampakkan angka di atas tiga puluh derajat celsius. Seolah bersinergi dengan alam, Griya GUSDURian di Jl. Sorowajan, RT.08/RW.RT 10, Jaranan, Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, pun kering kerontang.
Nyaris sebulan, tak setetes air hujan pun membasahi tanah yang retak. Halaman depan, samping, hingga pendopo belakang diselimuti debu yang beterbangan bak salju di tengah musim panas. Debu menempel di setiap sudut, di dinding, di sela-sela kursi, di pagar, dan bahkan di kendaraan yang terparkir.
Dekat-dekat pukul empat sore, Sabtu 4 Mei 2024, keheningan mulai terusik. Satu per satu tamu berdatangan, melangkahkan kaki mereka menuju Griya GUSDURian. Para penghuni tidak tetap, mengenakan busana putih, menyambut para tamu dengan senyum ramah.
Sesekali, mereka menyeka keringat yang membasahi dahi, dan kadang-kadang juga meneguk es teh, es kelapa, es buah, untuk meredakan dahaga di tengah terik yang tak kunjung reda.
Dari berbagai penjuru, para pemuka agama, budayawan, dan seniman berkumpul dalam Halalbihalal Jaringan GUSDURian.
Kedatangan mereka bukan hanya untuk mempererat tali silaturahmi, tetapi juga untuk memancarkan semangat persaudaraan dan menjaga jiwa kebangsaan di tengah gejolak pasca-Pemilu 2024. Bersama-sama, merajut mimpi Indonesia yang lebih cerah, adil, dan makmur di masa depan.
Panas mulai mereda, digantikan oleh keriuhan di pendopo yang dipenuhi tamu berdatangan bagaikan ombak di pantai. Ada yang bercengkrama dengan teman lama, ada pula yang berkenalan dengan wajah baru.
Tawa dan canda menghiasi suasana sambil menyantap kudapan sederhana: singkong, pisang rebus, kacang, dan jagung. Minuman tradisional seperti wedang uwuh, seruni, dan jahe hangat melengkapi keramahtamahan.
Keriuhan terhenti sejenak saat Jay Akhmad, Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, naik ke atas panggung untuk menyampaikan pidato pembuka.
Dalam pidatonya, Jay menekankan bahwa para tokoh agama, budayawan, dan seniman yang hadir merupakan perwujudan dari semangat Gus Dur. Gus Dur, menurut Jay, adalah sosok multidimensional yang tak terikat pada satu label.
Beliau adalah kiai, budayawan, politisi, aktivis, dan presiden keempat Indonesia. Namun, Jay menegaskan bahwa peran Gus Dur melampaui label presiden karena dirinya mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Jay kemudian mengajak para tamu yang hadir, yang masih memiliki semangat muda, untuk tidak hanya mengenang Gus Dur, tetapi juga meneruskan pemikiran dan perjuangannya untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
“Kita di sini tidak hanya untuk nguri-uri (melestarikan, merawat) semangat Gus Dur. Tetapi bagaimana melanjutkan pemikiran dan perjuangannya untuk menjaga Indonesia menjadi lebih baik,” papar Jay.
Halalbihalal bukan hanya tentang bersilaturahmi dan saling memaafkan, tapi juga tentang mewujudkan cita-cita bersama.
Tradisi ini diinisiasi oleh K.H. Wahab Hasbullah pada tahun 1948, atas usulannya kepada Presiden Soekarno. Tujuannya saat itu adalah untuk merajut kembali persatuan di tengah perbedaan pendapat antartokoh bangsa.
Hingga saat ini, halalbihalal masih relevan dan memiliki makna yang lebih luas. Tak hanya mempertemukan umat Islam, halalbihalal juga menjadi wadah bagi berbagai latar belakang untuk saling menjalin silaturahmi.
Tradisi ini di Jaringan GUSDURian bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga upaya untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.
Pendeta Elga Sarapung, Direktur Institut Dialog Antar Iman di Indonesia (DIAN)/Interfidei, yang hadir dalam momen halalbihalal ini, mengungkapkan rasa syukur atas kesempatannya belajar langsung dari Gus Dur dan Ibu Gedong Bagus Oka, guru yang sangat dihormati Gus Dur.
Pendeta Elga kemudian mengajak para GUSDURian untuk tidak hanya menyebarkan sembilan nilai inti Gus Dur secara verbal, tetapi juga meneladani dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menekankan bahwa Gus Dur bukan hanya seorang pembicara yang ulung, tetapi juga seorang teladan yang patut ditiru.
Murtiono Yusuf Ismail, mubalig dari Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), turut menyampaikan pesan dan harapannya dalam momen halalbihalal. Menurut Murtiono, Syawal memiliki makna peningkatan. Ia berharap di hari yang baik ini, peningkatan terus terjadi hingga Ramadan berikutnya.
Murtiono mengajak semua pihak untuk meningkatkan kapasitas diri, baik sebagai warga negara maupun sebagai pendidik. Ia yakin dengan peningkatan kapasitas ini, kegiatan dan pengabdian kepada masyarakat akan semakin optimal.
“Lebaran itu milik semua rakyat Indonesia karena ini adalah acara kebersamaan yang menyatukan,” timpal Romo Martinus Joko Lelono, Pastor Gereja St. Mikael Pangkalan TNI AU Adisucipto dari meja yang lain.
Selanjutnya, Pendeta Kristi mengajak para hadirin untuk merayakan keindahan Indonesia yang penuh corak dan warna. Begitu membosankan Indonesia jika hanya didominasi oleh satu warna.
Pendeta Kristi menutup pesannya dengan kalimat, “Kamu dan aku akan jadi kita bersama-sama di Indonesia”.
Sebelum acara ditutup dengan doa, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid menyampaikan pesan persaudaraan yang menyentuh hati. Putri sulung Gus Dur tersebut mengajak para hadirin untuk merenungkan makna perdamaian sejati dalam konteks Indonesia.
Menurut Alissa, banyak pihak yang mengklaim perdamaian, namun pertanyaannya adalah: perdamaian dalam kacamata siapa? Apakah perdamaian hanya berarti ketiadaan konflik, atau perdamaian sejati?
Alissa mempertanyakan apakah perdamaian dapat dicapai dengan cara represif, seperti membungkam suara kritis atau memarjinalkan kelompok minoritas. Direktur Jaringan GUSDURian tersebut menekankan bahwa perdamaian sejati memerlukan upaya aktif untuk merawat persaudaraan dan keadilan.
Alissa mengingatkan kutipan Gus Dur: “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.” Ia menegaskan bahwa selama keadilan belum terwujud, perdamaian sejati akan sulit dicapai. Alissa mencontohkan bagaimana kelompok minoritas sering kali mengalami kesulitan dalam menjalankan hak konstitusinya, seperti beribadah.
Alissa juga menyinggung tentang pemahaman keliru bahwa tanah, air, dan udara adalah milik negara sepenuhnya. “Rakyat diminta untuk memahami bahwa tanah, bumi, air, dan udara adalah milik negara,” kata Alissa. “Sehingga ketika tanah itu diminta untuk diserahkan kepada negara, rakyat sudah tidak punya hak atas tanah itu,” lanjutnya.
Selama rakyat masih berpikir bahwa mereka tidak punya kesadaran atas apa yang menjadi hak mereka, keadilan juga tidak akan terwujud. Alissa kembali menyitir bahwa Gus Dur pernah mengingatkan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah keadilan dan kemakmuran.
Sebab itu, keadilan kemudian menjadi kata kunci. Hanya dengan keadilan kita bisa merawat persaudaraan sejati, bukan hanya dengan slogan-slogan belaka.
Alissa Wahid mengajak para tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk mengambil peran dalam mendidik masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Kalau kita mampu melaksanakannya bersama-sama, maka Indonesia yang adil, makmur, dan sentosa mungkin bisa terwujud,” kata Alissa menutup pesannya dengan mengajak para hadirin untuk menjadikan momen halalbihalal ini sebagai refleksi dan langkah awal untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
“Halalbihalal ini hanyalah ruang untuk kita kembali menata langkah kita ke depan.”
Setelah doa penutup, acara halalbihalal dilanjutkan dengan ramah tamah yang diiringi musik merdu dari Paroki Pringwulung GKI Ngupasan.
Berbagai hidangan lezat tersaji di atas meja, mengundang para tamu untuk bersantap bersama. Suasana ramai, riuh rendah, dan penuh keceriaan kembali mewarnai pendopo, diiringi canda tawa yang lepas.
Momen halalbihalal ini menjadi bukti nyata keberagaman Indonesia. Orang-orang dari berbagai latar belakang dan usia, tanpa sekat dan stereotipe, duduk bersama dalam satu meja, bersatu dalam semangat persaudaraan.
Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan! Bersama-sama, kita dapat mewujudkan cita-cita Gus Dur untuk Indonesia yang adil, makmur, dan sentosa.