Setelah rehat selama beberapa bulan, Pojok GUSDURian UIN Alauddin kembali mengadakan rutinan Pojok. Pada pertemuan ke-19 kali ini, diskusi menghadirkan Nurfianalisa (Solidaritas Perempuan Anging Mammiri), Maudy Sakira (Kopri PMII Rayon Ushuluddin dan Filsafat), serta Andi Tazkirah Tawakkal (IMM UIN Alauddin Makassar). Kegiatan ini dilaksanakan di Pelataran Masjid UIN Alauddin Makassar pada Kamis, 3/6/2024.
Dalam penyampaiannya, narasumber pertama, Tazkirah Tawakkal menganggap bahwa sistem femisida hadir karena adanya sistem patriarki yang belum terhapus, seperti halnya dalam rumah tangga. Seorang suami selalu menganggap dirinya superior sedangkan istrinya inferior, sehingga dengan mudah ia akan menjadikan perempuan budak.
Menurut Tazkirah, sejarah pun mencatat bahwa perempuan selalu menjadi strata kedua dalam kehidupan sosial. Dalam QS. An-Nisa ayat 34, ada kesalahan penafsiran dalam ayat tersebut, yang kemudian interpretasinya disalahgunakan oleh beberapa oknum dan tentunya berdampak buruk terhadap perempuan.
“Begitupun hadis yang mendiskreditkan perempuan dalam hal kepemimpinan yang kemudian disalahartikan. Dengan demikian, adanya ketidaksetaraan dalam ranah sosial menyebabkan penegak hukum tidak memberikan ruang kepada perempuan,” ujarnya.
Maudy Sakira yang merupakan narasumber kedua, membenarkan bahwa akar dari femisida adalah sistem patriarki yang sudah sejak lama membatasi ruang gerak perempuan, yang tidak terlepas dari faktor ekonomi, ataupun lingkungan. Sehingga penting adanya kesetaraan ataupun kesepakatan dalam pembagian kerja dalam keluarga hingga lingkungan sekitar.
“Kita bisa lihat, sedari kecil kita dididik dengan sistem patriarki dalam keluarga. Di mana laki-laki selalu dikaitkan dengan maskulinitas, sehingga beranggapan bahwa laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, narasumber ketiga, Nurfianalisa lebih memfokuskan pembahasan tentang posisi perempuan dalam sejarah. Yakni pada Zaman Jahiliyah, bayi perempuan dibunuh karena berjenis kelamin perempuan.
“Ada beberapa bentuk femisida, di antaranya femisida intim yang terjadi di lingkaran keluarga, femisida budaya seperti sunat perempuan dan femisida sistemis yang dilakukan negara, seperti kasus 1965, yakni pembunuhan Gerwani, yang merupakan tindakan fatal karena negara seharusnya menjadi pelindung bagi warganya,” jelasnya.