Jaringan GUSDURian menggelar acara “Peluncuran dan Bedah Buku Kumpulan Tulisan Gus Dur tentang Toleransi dan Keberagaman” pada Kamis, 13 Juni 2024 pukul 08.30-12.00 WIB di Teatrikal Fakultas Ekonomi & Bisnis Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Kegiatan bedah buku tersebut diisi oleh beberapa narasumber, yaitu Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI 2014-2019), Suster Andrea OP (Rohaniawan Katolik), Kalis Mardiasih (Penulis; Pegiat Isu Gender), dan Hairus Salim (Peneliti; Murid Gus Dur). Diskusi dipandu oleh Ubay Rauf dari Seknas Jaringan GUSDURian dan dibuka oleh Jay Akhmad (Koordinator Seknas Jaringan GUSDURian) dan Abdur Rozaki (Wakil Rektor III UIN Sunan Kalijaga).
Dalam sambutannya, Jay Akhmad menyampaikan bahwa buku berjudul Tuhan Akrab dengan Mereka tersebut berisi kumpulan tulisan Gus Dur dari berbagai media massa yang disusun oleh tim Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian.
“Seperti kita ketahui, Gus Dur tidak pernah membuat buku. Adapun buku Gus Dur saat ini adalah kumpulan tulisan beliau, yang kemudian dikompilasi dan dikurasi oleh murid-muridnya. Kami memberi judul Tuhan Akrab dengan Mereka karena mengambil inspirasi dari Gus Dur terkait toleransi dan keberagaman yang saat ini masih terus relevan,” ungkapnya.
Jay menambahkan, Seknas Jaringan GUSDURian nantinya juga akan membedah dua buku Gus Dur lainnya yang berjudul Demokrasi Seolah-Olah serta Gus Dur dan NU. Menurut Jay, ini adalah bagian dari merawat dan meneladani gagasan Presiden RI ke-4 tersebut.
Sejalan dengan itu, Abdur Rozaki menambahkan bahwa jika Gus Dur fokus menulis buku, maka rezim Soeharto tidak akan jatuh seperti sekarang. Menurutnya, hal ini dikarenakan Gus Dur memiliki peran penting di masyarakat sipil di era Orde Baru.
“Bagi saya, Gus Dur memiliki dua daya. Pertama daya dobrak. Kedua daya kontrol. Dulu, tidak banyak masyarakat sipil yang berani mendobrak kekuatan Orde Baru, tapi Gus Dur memberi keyakinan pada masyarakat sipil bahwa mereka punya kekuatan. Ciri khas dari daya dobrak dan daya kontrol Gus Dur adalah membawa gerakan intelektual menjadi gerakan advokasi,” ujarnya.
Rozaki melanjutkan, Gus Dur juga menjadi salah satu tokoh yang mengenalkannya pergaulan bersama elemen lintas iman.
“Saya masih ingat itu, Gus Dur dan teman-teman LKiS menjembatani pergaulan lintas iman di Yogyakarta. Dulu waktu demo di zaman Orde Baru saya pernah sembunyi di Syantikara. Keren kan anak santri sembunyi di asrama kesusteran? Dulu bagi kami tabu, santri kok ketemu suster. Tapi Gus Dur memperkenalkan itu,” pungkasnya.
Selanjutnya, Kalis Mardiasih menjadi pembicara pertama pada sesi diskusi. Dirinya menyebut bahwa tulisan-tulisan Gus Dur selalu relevan dan tidak lekang oleh waktu.
“Gus Dur dalam tulisan ini membahas hubungan negara dengan agama, mensituasikan hubungan antarpemeluk agama, hingga cara meregulasi praktik pemeluk agama yang berbeda agar tidak saling bersinggungan. Ternyata yang puluhan tahun lalu sudah ditulis oleh Gus Dur, saat ini pun masalahnya masih ada. Buku ini pun akhirnya tetap relevan. Itulah ajaibnya tulisan timeless.
Di sisi lain, Hairus Salim menyinggung hubungan pemeluk agama dengan karya sastra, mengingat judul buku yang sedang dibedah tersebut diambil dari salah satu judul tulisan Gus Dur di dalamnya.
“Kebetulan judul buku ini diambil dari salah satu tulisan Gus Dur, ketika Gus Dur mengapresiasi puisi anak-anak tentang Tuhan. Karena Gus Dur sendiri sangat mengapresiasi sastra. Menurut saya, kita-kita yang beragama ini kurang membaca sastra. Padahal sastra penting bagi orang-orang beragama,” terangnya.
Menurutnya, Gus Dur pernah mengklaim bahwa dirinya adalah orang yang membaca karya sastra melebihi siapa pun. Salim mengajak para peserta untuk melihat cara berproses Gus Dur dengan membaca karya sastra apa pun dan dari siapa pun.
“Maka dari itu, Gus Dur menjadi orang yang sangat manusiawi. Kekuatan tulisan Gus Dur adalah daya reflektifnya. Karena dirinya belajar dari berbagai karya sastra yang baik, yaitu karya sastra yang menyodorkan perenungan pada pembacanya.”
Pada kesempatan lain, Suster Andrea menyampaikan kekagumannya pada sosok Gus Dur setelah membaca beberapa tulisan yang ada di dalam buku tersebut.
“Dalam tulisannya, saya melihat Gus Dur adalah orang yang sangat beriman tapi tidak pernah merendahkan orang lain. Beliau juga sangat menekankan komunikasi. Sering kali kita menekankan kerukunan tapi tidak ada komunikasi, tidak ada dialog. Gus Dur selalu menekankan dialog,” ungkapnya.
Dirinya juga menyinggung pelajaran nilai yang didapatkannya dari sosok Gus Dur. Menurutnya, Gus Dur adalah sosok yang menghidupi nilai-nilai agama, termasuk nilai kemanusiaan dan nilai-nilai universal.
“Itulah nilai yang bisa saya terapkan tanpa saya harus beragama Islam,” terangnya.
Sebagai penutup sesi, Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan alasan-alasan kerinduan pada sosok Gus Dur. Dalam pandangannya, kerinduan tersebut berakar dari beberapa kelebihan Gus Dur yang tidak dimiliki banyak orang, yang akhirnya membuatnya mampu menulis tulisan-tulisan yang tetap relevan hingga hari ini.
“Pertama dari sisi kepribadian, Gus Dur telah selesai dengan dirinya sendiri. Karena dirinya sudah selesai maka semua pemikiran, perasaan, waktunya, semua yang beliau miliki adalah untuk orang lain. Dirinya juga sosok santri sehingga memiliki dasar pengetahuan yang cukup soal ilmu agama. Tapi Gus Dur ini santri yang kosmopolit. Gus Dur adalah agamawan tapi mampu membedakan ajaran agama yang universal, yang inti, dengan ajaran agama yang partikular, yang cabang,” jelasnya.
Lukman menambahkan, Gus Dur memiliki makna toleransi yang luas. Toleransi dalam pengertian Gus Dur inilah yang akhirnya menganut nilai kemanusiaan.
“Gus Dur memaknai toleransi tidak hanya saling menghargai dan menghormati, tapi saling mengerti dan saling memiliki juga. Di mana saja apa yang dilakukan Gus Dur selalu berujung kemanusiaan. Karena dengan kemanusiaan ini bisa berujung pada kemaslahatan (kebaikan bersama) dan keadilan. Itu inti pokok yang diajarkan agama,” pungkasnya.