Pernahkah kamu merasa bosan dengan belajar di dalam kelas? Terlalu banyak teori dan kurang praktik? Tenang, kamu tidak sendirian! Banyak siswa merasa jenuh dengan metode belajar tradisional.
Tapi tahukah kamu? Ada cara belajar yang lebih seru dan efektif, yaitu belajar di luar kelas.
Belajar di luar kelas bukan hanya tentang keluar dari ruang kelas atau mengunjungi tempat wisata untuk belajar. Ini tentang mengalami langsung apa yang kamu pelajari dalam kehidupan nyata.
Inilah yang dilakukan oleh siswa-siswi Kelas X SMAN 1 Wonosari melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dengan tema Bhinneka Tunggal Ika: Ekamas Sehati, Harmoni Terpati, Keberagaman Sejati.
Baru-baru ini mereka mengunjungi komunitas Srili, GUSDURian, dan MPRK UGM. Di sana, mereka berdialog dengan para penggerak komunitas yang secara konsisten berjuang untuk menciptakan perdamaian di tengah keberagaman.
Pengalaman mengunjungi komunitas dan berdialog dengan penggerak komunitas diharapkan dapat menjadi bekal berharga bagi para siswa untuk mengupayakan perdamaian serupa di masa depan. Dalam proyek ini, ratusan siswa kelas X SMAN 1 Wonosari dibagi secara acak dan didampingi oleh Tim Fasilitasi Proyek P5.
Sekitar 45 siswa, dipandu oleh Sukaningtyas (akrab disapa Tyas) dan tim, mendapatkan kesempatan belajar bersama Komunitas GUSDURian Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, Tyas turut berbagi pengalaman pribadinya.
Ia menceritakan masa kecilnya di Lampung, di mana ia sering diolok-olok karena beragama Kristen. “Waktu SD enggak ada mata pelajaran agama Kristen, jadi saya ikut pelajaran agama Islam,” kenang Tyas. “Saya belajar bahasa Arab dan hafal doa-doa, seperti doa makan.”
Tyas melanjutkan, masa kecilnya diwarnai dengan pengalaman interfaith yang beragam. Di SMP, Tyas dibebaskan dari pelajaran agama, namun tetap mendapatkan nilai di rapor. Di SMA, ia mengikuti pelajaran agama Katolik, meskipun beragama Kristen.
Terlepas dari diperlakukan tidak adil, lucu sekaligus ironis, keragaman pengalaman interfaith ini justru membuka matanya tentang pentingnya toleransi dan saling menghormati antar umat beragama. Ia menyadari bahwa ketidaktahuan tentang orang lain yang berbeda dapat menimbulkan rasa curiga dan prasangka.
Bukan Penjual Durian, GUSDURian adalah Komunitas Pejuang Kemanusiaan
Ternyata masih banyak orang yang salah mengira bahwa GUSDURian adalah komunitas penjual durian. Hal ini bahkan terjadi pada sebagian siswa Kelas X SMAN 1 Wonosari.
Hamada Hafidzu (akrab disapa Hafi), salah satu presidium Komunitas GUSDURian Yogyakarta, dengan tegas meluruskan kesalahpahaman tersebut. Ia menjelaskan bahwa GUSDURian adalah komunitas yang berfokus pada pelestarian dan penerusan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Gus Dur, dengan fokus utama saat ini pada empat isu prioritas, yaitu toleransi, demokrasi, krisis iklim, dan pendidikan inklusif.
“GUSDURian merupakan kumpulan orang-orang yang meneladani dan meneruskan pemikiran serta perjuangan Gus Dur,” tegas Hafi.
Mengapa Gus Dur?
Pertanyaan Risma Privta Maharani membuka diskusi yang menarik tentang mengapa para GUSDURian memilih meneladani Gus Dur dan bukan tokoh lain seperti Soekarno, Suharto, B.J. Habibie, atau Megawati. Tak mau ketinggalan, Nafiza Asfa Pradita mengajukan pertanyaan yang tidak kalah penting: apa misi dan tujuan utama GUSDURian, serta apa yang harus dilakukan untuk menjadi anggota komunitas ini?
Agri Satrio, Presidium GUSDURian Yogyakarta, menjelaskan alasannya memilih Gus Dur sebagai teladan dan bergabung dengan komunitas GUSDURian.
Pertama, sudah ada organisasi dan komunitas yang didedikasikan untuk meneladani presiden-presiden terdahulu seperti Soekarno, Suharto, B.J. Habibie, dan Megawati. Kedua, bagi Agri Satrio secara pribadi, 9 nilai yang dirumuskan murid-murid Gus Dur (NUGD) selaras dengan nilai-nilai yang dianutnya.
“Beliau (Gus Dur) sebagai manusia yang sama seperti kita, tapi (pemikiran, perjuangan) melampaui zamannya.”
Gus Dur tidak mewariskan harta benda, namun meninggalkan kekayaan berupa pemikirannya yang tercermin dalam tulisan-tulisan dan keteladanannya dalam bertindak dan memimpin.
Salah satu contoh warisan Gus Dur adalah visinya tentang kemandirian masyarakat. Visi ini diyakini sebagai kunci untuk menyelesaikan berbagai permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat.
GUSDURian Yogyakarta sedang berupaya mewujudkan visi ini melalui kegiatan pendampingan masyarakat di Kelurahan Banguntapan. Dengan cara mempertemukan pemuda lintas iman dan tokoh-tokoh agama agar mereka saling mengenal dan memahami satu sama lain.
Keberagaman adalah Keniscayaan
Wiji Nurasih, salah satu fasilitator dalam pertemuan ini, memulai sesi dengan membuka mata para siswa tentang kenyataan keberagaman dalam kehidupan manusia. Ia menegaskan bahwa keberagaman adalah fakta yang tidak dapat dihindari.
Kemudian, Wiji melontarkan pertanyaan reflektif kepada forum: “Selama hidup, dari kecil sampai sekarang, pernahkah kalian memiliki pengalaman terkait keberagaman, baik yang positif maupun negatif?”
Para peserta didorong untuk menuliskan jawaban mereka secara anonim di sticky notes. Berbagai pengalaman pun terungkap, mulai dari pengalaman positif seperti memiliki keluarga dengan beragam agama, hingga pengalaman negatif seperti diolok-olok karena perbedaan agama.
Wiji menjelaskan bahwa di balik keberagaman, selalu ada potensi konflik, perselisihan, dan perbedaan pendapat. Dalam situasi yang beragam ini, kita dihadapkan pada tantangan besar. Sebagai manusia, tugas kita adalah mengelola perbedaan tersebut dengan bijak agar dapat menciptakan perdamaian secara adil.
Wiji lantas mengangkat sebuah contoh kasus: guru di SMAN 58 Jakarta yang melarang muridnya memilih ketua OSIS nonmuslim pada 2022. Kasus ini menjadi refleksi bahwa gesekan, perselisihan, dan konflik berdasarkan perbedaan masih terjadi di masyarakat. Sebab itu, Wiji mengajak para peserta untuk melanjutkan apa yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa.
Slogan Bhinneka Tunggal Ika saja tidak cukup, tetapi perlu diwujudkan dalam sikap dan tindak tanduk. Menghargai perbedaan harus dilatih dan ditanamkan sejak dini untuk membentuk kepribadian yang inklusif dan harmonis.
Kisah Zahra dan Joseph: Bukti Indahnya Keberagaman
Zahra Hanifah, salah satu siswi, berbagi ceritanya tentang keberagaman dalam keluarganya. Ia menceritakan bahwa di keluarganya terdapat anggota yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik.
“Keberagaman ini terasa sangat nyata saat perayaan hari raya,” tutur Zahra.
“Saat Idul Fitri, kami berkumpul dan makan opor bersama. Begitu pula saat Natal, kami tetap berkumpul dan makan bersama. Kami saling menghormati dan tanpa pernah nge-judge (menghakimi) satu sama lain.”
Joseph Satrya juga memiliki pengalaman positif terkait keberagaman. Sebagai seorang Katolik, ia menceritakan bahwa suatu ketika saat jam salat Zuhur, ia tidak memiliki jadwal mata pelajaran di kelas.
Alih-alih bengong ditinggal sendirian, Joseph justru diajari cara berwudu oleh teman-temannya. Pengalaman berwudu, menurut Joseph, terasa menyegarkan dan menunjukkan bahwa belajar tentang keberagaman ternyata bisa dilakukan dari lingkungan sekitar.
Kisah Zahra dan Joseph ini merupakan bukti nyata bahwa keberagaman bukan halangan untuk hidup bersama dengan damai dan harmonis.
Mengapa Ada Tindakan Intoleransi? dan Bagaimana Solusinya?
Komunitas GUSDURian, dalam upaya memahami akar intoleransi, menggunakan kerangka kerja Value Formation sebagai peta pemikiran. Kerangka ini diadaptasi dari The Amplification Spiral on Why Religions & Ideologies Are Particularly Susceptible to Promoting Conflict karya Lynn Davis dan Patrice Brodeur.
Salah satu akar utama intoleransi adalah sikap eksklusivitas. Sikap ini ditandai dengan keyakinan bahwa kelompok atau individu tertentu merasa lebih istimewa dibandingkan dengan yang lain.
Ketika kelompok tertentu, seperti suku atau agama, merasa istimewa, mereka cenderung mengembangkan rasa superioritas dan keinginan untuk mendominasi. Dalam bahasa siswa-siswi Kelas X SMAN 1 Wonosari, mereka merasa sebagai “si paling”.
Contoh kasus, perundungan di sekolah oleh senior, yang merasa “si paling” jago berkelahi atau lebih tua dari segi umur, bahkan berujung pada ngemelin (pemalakan uang jajan), pada yang dianggap cupu dan lugu. Keyakinan “si paling” ini dapat memicu diskriminasi terhadap kelompok lain yang dianggap lemah atau kalah jumlah.
Setelah muncul sikap intoleran dan diskriminasi, individu atau kelompok yang menganutnya dapat mengembangkan keyakinan bahwa “Tuhan bersama saya” dan “ideologi saya adalah kebenaran”. Keyakinan ini dapat memicu sikap ekspansionisme (Expansionism for God).
Rahmania Dewi P. dengan penuh semangat lantas bertanya, “Apa yang dimaksud dengan Expansionism for God itu?”
Wiji menjawab dengan jelas bahwa Expansionism for God (saya terjemahkan jadi berjuang sebagai wakil “Tuhan”) terjadi ketika keyakinan agama seseorang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak, di mana mereka merasa perlu menyebarkan keyakinan tersebut kepada orang lain, bahkan dengan cara yang memaksa dan merugikan sekali pun.
Salah satu contoh kasus kebijakan di sekolah yang bersifat ekspansif adalah pemaksaan penggunaan jilbab untuk siswi non-Muslim di salah satu SMK di Padang beberapa waktu lalu.
“Kalau kita meyakini bahwa agama kita yang paling benar itu tidak salah, tetapi kemudian ketika pemikiran itu dipaksakan kepada orang lain, bahwa orang lain harus mengikuti apa yang kita yakini sebagai kebenaran, itu yang salah,” ujar Wiji dengan tegas.
Penutup: Menuju Masyarakat yang Toleran dan Inklusif
Sikap intoleran bagaikan benalu yang menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Untuk mengatasinya, kita perlu menumbuhkan sikap inklusif, membuka diri untuk menerima sudut pandang lain, dan mengenal keragaman yang ada.
Seperti kata pepatah, “Tak kenal maka tak sayang”. Sikap eksklusif seringkali bersumber dari ketidaktahuan. Masih banyak orang yang belum memahami perbedaan antar agama, suku, dan budaya.
Tyas dengan tepat mencontohkan hal ini dengan menyebutkan bahwa masih banyak orang yang tidak bisa membedakan antara Kristen dan Katolik. Akibatnya, sering terjadi momen lucu saat penolakan rumah ibadah. Gereja Katolik ditolak dengan tuduhan kristenisasi, padahal yang lebih tepat adalah katolikasasi, ya kan?