Masalah Sampah dan Politik: Mengapa Solusi dari Warga Saja Tak Cukup?

Masalah sampah tidak dapat ditanggulangi dengan melakukan sosialisasi untuk mengubah perilaku warga saja. Tapi juga butuh komitmen politik dan tanggung jawab industri untuk mengentaskannya.

“Habis hujan soalnya, Mas, jadi aliran sungai ngebawa sampah-sampah itu,” jawab pemandu arung jeram saat saya memandang cukup lama ke gundukan sampah di Sungai Cisadane. Bulan Juni kemarin saya dan tim sekantor berkesempatan mancakrida di area sungai ini. Adapun penjelasan pemandu tersebut sebenarnya tidak memuaskan hati saya.

Aliran sungai ini tentu bermula dari hulu yang ada di atas bukit dan gunung, di mana pemukiman semakin jarang. Sementara sampah yang bertebaran di sungai sebenarnya tak seberapa dibandingkan dengan yang menempel pada pinggiran tanah tepi sungai. Plastik-plastik itu bertumpuk dan bersatu dengan gundukan tanah. Petanda bahwa tanah tepi sungai jadi tempat menumpuk sampah plastik warga di sekitarnya.

Sebagai orang kota, tentu perilaku buang sampah sembarangan di tanah ialah perbuatan buruk. Apalagi di sudut kota-kota besar sudah disediakan banyak tong sampah. Tempat sampah itu dikelola dengan pengangkutan secara berkala. Sistem manajemen sampah seperti itu suatu kemewahan bagi warga desa. Tidak ada mobil atau gerobak sampah yang mengutip secara berkala di setiap rumah. Alasan membuang sampah ke tanah tentu karena fasilitas pemungutan sampah di banyak desa tidak tersedia. 

Problem sampah yang sama sebenarnya juga dialami warga kota. Meski punya sistem pemungutan sampah yang lebih teratur, tapi pernahkah kita bertanya ke mana sampah-sampah itu singgah? Sampah di DKI Jakarta misalnya, sampah ditumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang yang beberapa waktu lalu dikabarkan kepenuhan. Tak sedikit temuan mengungkapkan gunungan sampah itu memengaruhi kualitas air tanah di sekitarnya. Lalu, apakah kita pernah bertanya sudah lestari (sustainable) kah pengelolaan sampah? Kita semua diminta memisah dan memilah sampah. Tapi sering kita lihat sampah yang telah kita pilah, ketika diangkut ke mobil sampah semuanya menyatu lagi dan sia-sialah pemilahan itu. 

Di tengah tumpukan sampah itu, masyarakat diminta bersikap peduli lingkungan dengan secara mandiri mengolah ulang sampah rumah tangganya. Tentu itu bukan pekerjaan mudah. Sampah organik misalnya, dapat ditumpuk di halaman dalam lubang biopori. Namun bagi warga kota yang rumahnya tak berhalaman sama sekali, hal tersebut mustahil bisa dilaksanakan. 

Mengapa buang sampah ke tanah?

“Alam tidak mengenal sampah,” [1] sebut Paul Hawken, seorang enviromentalis asal Amerika Serikat. Menurutnya, alam raya tidak mengenal konsep sampah karena semua material yang ada tidak pernah bersisa tanpa manfaat. Residu dari apa pun itu bagi alam akan diserap kembali dengan mekanisme yang kompleks dan terproses menjadi bentuk atau energi lainnya. Misalnya kotoran yang merupakan sampah tubuh itu akan diproses oleh mikroorganisme pengurai dan menjadi unsur baru yang menyuburkan tanah. 

Sebenarnya cara pandang ini sudah menjadi pengetahuan umum bagi manusia, khususnya masyarakat tradisional. Mereka tidak benar-benar mengenal sampah. Dari zaman nenek moyang, manusia diajarkan bahwa sisa makanan itu masih bisa diolah menjadi pakan ternak, atau pupuk alami. Terkadang jika tidak dikelola pun, di Nusantara ini jika menjatuhkan sisa makanan ke tanah, orang-orang tua kita memahami hal itu akan diserap dan menjadi tidak sia-sia bagi ibu bumi.

Namun perspektif dalam memperlakukan sisa makanan itu tampaknya menghadapi tantangan di zaman modern ini. Semua yang kita konsumsi, sebagian besar sudah berbalut barang-barang kemasan berplastik yang sangat sulit diurai oleh alam. Mulai dari kebutuhan pokok seperti gula dan beras saja, bahkan kalau beras tidak kita beli dalam bentuk kemasan, kita masih menentengnya ke rumah dengan berbekal plastik kresek. Belum lagi cemilan dan minuman ringan yang semakin menjamur dalam kemasan sekali pakai.

Masalah sampah, masalah politik

Dalam sebuah video diskusi, Nur Azizah, Dosen Fisipol UGM meneliti kemungkinan masalah sampah berakar dari masalah politik. [2] Ia menggambarkan bahwa banyak program pemerintah baik pusat dan daerah terkait pengolahan sampah, namun tak semuanya berjalan mulus. Sebab persoalan pengolahan yang berbasis teknologi hanya menyentuh hilir dari permasalahan sampah, bukan hulunya terlebih dahulu. 

Menurutnya, untuk memulai memecah problem sampah harus disertai oleh infrastruktur politik yang memadai, yang dimaknainya sebagai komitmen kepemimpinan para pengambil kebijakan baik di pusat maupun daerah. Bahwa pengambil kebijakan tersebut akan membuat regulasi yang terukur dan aplikatif untuk mengurai masalah sampah. Sayangnya kebanyakan peraturan tidak atau belum mampu mengakomodasi masalah sampah. Alhasil, sering kita lihat pemerintah sudah berinvestasi besar-besaran dari sisi teknologi pengolahan yang tidak berjalan maksimal.

Kecenderungan untuk membenahi sektor hilir ketimbang hulu masalah juga saya lihat dari banyaknya program sosialisasi terkait perilaku yang benar dalam membuang sampah. Hal ini tentu perlu dipikirkan kembali. Sebab keinginan mengubah perilaku tanpa didukung oleh infrastrukturnya, yakni kebijakan yang kuat dan manajemennya, adalah hal yang sia-sia belaka. Bahkan cara pandang ini turut menjangkiti gerakan-gerakan sipil di Indonesia. 

Perspektif hanya bertumpu pada perilaku ini juga tercermin dalam wacana pemerintah untuk mencukaikan kantong plastik. Di mana setiap pembelian kantong plastik akan dibebankan kepada konsumen itu sendiri. Tujuannya mengurangi perilaku konsumsi plastik. Saya pesimistis, lihat saja masyarakat kita sudah sangat ketergantungan kantong plastik di pasar-pasar tradisional. Menurunkan perilaku konsumtif terhadap plastik memang perlu, namun harus diimbangi dengan alternatifnya. Juga terkesan tidak adil, bahwa masyarakat membayar lebih untuk masalah yang ditanggung sesama konsumen dan produsen kantong plastik itu sendiri.

Menurut saya kebijakan lainnya yang perlu diperhatikan pemerintah ialah memaksa produsen kemasan dan kantong plastik, yakni industri untuk memikirkan penyerapan kemasan yang mereka produksi agar dapat dipakai kembali atau daur ulang. Jadi tidak hanya kenaikan pajak atau cukai saja, tapi industri harus bertanggung jawab atas sampah plastik yang sebenarnya mereka produksi. 

Jika ada yang berkilah bahwa industri meningkatkan produksi karena kebutuhan di pasar yang naik. Paradigma ini sudah kolot. Kita tahu, sering kali, bukan kebutuhan konsumen yang menyetir pasar, tapi pelaku usaha itu sendiri yang menciptakan kebutuhan konsumen. Seperti contoh kue lebaran yang biasa kita beli dalam bungkus besar. Tapi di dalamnya per keping kue dibungkus lagi dengan plastik kecil. Hal yang menurut saya tidak efisien dan menambah jumlah sampah, hanya demi kesan pemasaran produk yang menarik mata konsumen untuk semakin tertarik memakannya.

Masyarakat perlu mengawasi dan mendesak pengambil kebijakan kita agar serius dan berkomitmen mengatasi sampah. Dahulukan persoalan hulunya, yakni kebijakan yang terukur, aplikatif, dan berpihak pada masyarakat luas. Berhenti hanya menyalahkan masyarakat dan membebaninya terus menerus. Hentikan pula penuntutan perubahan perilaku buang sampah, juga perilaku daur ulang ke masyarakat, yang tak disertai dengan kebijakan dan infrastruktur yang memadai. Serta kita harus memaksa industri untuk juga berperilaku daur ulang di tengah keuntungan yang mereka peroleh dari kenaikan konsumsi kemasan plastik di negeri ini.


__________________

[1] Jurnal “the ecology of commerce: a declaration of sustainability” tahun 1993 dapat diakses di: https://www.jstor.org/stable/24706846

[2] Video berjudul “Masalah Sampah: Tanpa Politik Tidak Akan Beres!” tahun 2024 dapat diakses di: https://www.youtube.com/watch?v=h9zlVwvemKA

GUSDURian Jakarta. Mantan wartawan media nasional di ibu kota. Saat ini bekerja untuk pemerintah di ibu kota pula.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *