Beberapa bulan menjelang berakhirnya kekuasaan Jokowi, banyak muncul kebijakan yang menimbulkan gejolak di masyarakat. Sebut saja masalah kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) perguruan tinggi yang banyak menyulitkan orang tua dan mahasiswa, meski tahun ini dibatalkan setelah muncul aksi protes mahasiswa, tapi entah dengan tahun depan.
Kemudian masalah Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) melalui PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang aturan perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Dalam aturan terbaru ini, potongan gaji untuk Tapera tidak hanya berlaku untuk PNS saja tapi juga untuk pekerja swasta, termasuk pekerja mandiri atau freelance. Menurut ketentuan, potongan gaji tersebut sebesar 3%, yang mana 0,5 persen ditanggung perusahaan dan 2,5% ditanggung oleh pekerja.
Belum selesai polemik Tapera ini, muncul pula PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam Peraturan Pemerintah yang baru ini, Pemerintah memberikan peluang kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan untuk ikut serta dalam pengelolaan pertambangan. Dan sejauh ini, ormas keagamaan yang menyetujui kebijakan konsesi ini adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Mathla’ul Anwar.
Sedangkan beberapa ormas keagamaan yang lain seperti Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (WGI), dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) secara tegas menolak tawaran WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus). Yang menjadi sorotan adalah sikap yang diambil oleh pihak PBNU yang merupakan ormas keagamaan terbesar di Indonesia memilih untuk menerima, berbeda dengan saudara tuanya yaitu Muhammadiyah yang justru sejauh ini menolak.
Ternyata di akar rumput yang merupakan basis massa NU sendiri, banyak yang menolak dan menyesalkan atas keputusan PBNU yang memilih menerima dan tidak menolak seperti ormas lainnya. Terlebih setelah pernyataan dari ketua PBNU sendiri yaitu KH. Yahya Kholil Staquf yang secara lugas dan terbuka mengatakan bahwa NU memang butuh karena perlu membiayai segala operasional organisasi.
Dengan memberikan contoh salah satu pesantren di Jawa Timur yang mempunyai santri sangat banyak namun masih minim fasilitas, pun tak lupa dengan menyebutkan perlunya guru-guru yang perlu disejahterakan. Sikap NU ini harus dijalankan dengan hati-hati, karena ini bagaikan pisau bermata dua yang jika salah langkah malah akan merugikan NU sendiri sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan.
Mengutip Amin Mudzakkir dalam laman Facebook-nya pada tanggal 9 Juni 2024 yang menyebut bahwa aksi politik Pak Jokowi yang intensif sekali mendekati NU menimbulkan kekhawatiran karena sejauh ini dirinya tidak mempunyai kendaraan politik yang masif. Terlebih setelah tanggal 10 Oktober, kepemimpinan Pak Jokowi akan berakhir. Lalu apa yang dilakukannya di periode kedua ini merupakan bagian dari instrumentalisasi agama yang berjalan amat dinamis. Pak Jokowi secara piawai memainkan kartu Islam dengan citra populis.
Saya sendiri sebagai bagian warga nahdliyin biasa, jujur saja bingung. Karena, seperti yang tertuang dalam buku Masa Depan NU: Dinamika dan Tantangannya yang ditulis oleh Nur Khalik Ridwan, saat ini kita telah memasuki era globalisasi neoliberal, yaitu sebuah ideologi lanjutan dari kapitalisme yang saat ini sedang diadopsi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Pertanyaannya, di mana peran NU sebagai bagian dari komunitas dalam sebuah bangsa besar bernama Indonesia? Dalam menjawab persoalan NU ini sering kita dengar sikap reaktif ketimbang kreatif (by design). Sikap pasif ini kerap menimbulkan kekalahan, karena tidak banyak terlibat dalam penentuan-penentuan kebijakan.
Kenapa? Ya karena memang tidak cukup ada ahli-ahli ekonomi alternatif yang dimiliki NU. NU tidak memiliki desain untuk melahirkannya (atau tidak niat). Kecuali dalam hal tradisi-tradisi pesantren, pembelaan simbol-simbol kenegaraan, di mana NU mengambil bagian terdepan. Sedangkan basis massa NU di akar rumput adalah wong cilik, kaum pinggiran (petani, nelayan buruh, pedagang kecil, dll).
Bagaimana mau mensejahterakan umat jika NU tidak memiliki badan usaha ekonomi yang besar, tidak memiliki perusahaan-perusahaan yang bisa menambang di hutan, tidak bisa menjadi pebisnis besar di laut, tidak memiliki usaha perbankan? Mereka yang sudah sarjana sekalipun, dan kemudian melakukan mobilitas sosial di bidang tertentu, hanya menjadi kelas menengah yang mendekati kelompok bawah. NU dibutuhkan hanya ketika genting saja.
Tapi, di lain sisi ini juga menimbulkan dilematis. Karena seperti yang dikatakan oleh Pak Hairus Salim dalam esainya yang juga dimuat di gusdurian.net, tambang adalah bagian dari industri ekstraktif, yang mengolah dan menguras sumber daya alam. Ia bisa menimbulkan penghancuran habitat, mengakibatkan polusi, dan penipisan sumber daya, serta bencana alam lainnya.
Saat itu terjadi, di mana posisi NU? Saat itu NU sudah menjadi bagian dari subyek (pelaku), sehingga akan menghilangkan marwah NU sendiri sebagai organisasi keagamaan yang justru kehilangan legitimasi moralnya karena ia kehilangan keberpihakan dan komitmen sosialnya kepada masyarakat. Terlebih jika ternyata hasilnya hanya akan tetap menguntungkan elite tertentu saja bukan pada pencapaian kesejahteraan masyarakat. Akhirnya sebagai warga biasa, saya hanya bisa menyaksikan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para elite.
Terakhir, jangan lupakan pula kasus MA setelah tragedi MK. Ramai karena tak kalah kontroversialnya dengan hasil putusan MK yang meloloskan Gibran. Sekarang, lahir pula Putusan MA No. 23 P/HUM/2024 yang memutuskan bahwa calon kepala daerah untuk gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun, sementara 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati, calon wali kota dan wakil walikota pada saat penetapan pasangan calon menjadi pada saat pelantikan pasangan calon terpilih.
Pada dasarnya, apa yang coba diyakinkan oleh Partai Garuda (pemohon) dengan dalih untuk kepentingan “kaum muda” tidak lagi relevan. Seperti saat kasus MK mereka pun berkata demikian yang ternyata hanya “kaum muda” bernama Gibran lah yang maju sebagai calon wakil presiden. Sekarang juga memang patut diduga, siapa lagi yang usianya belum genap 30 tahun saat pendaftaran tapi sudah 30 saat pelantikan jika bukan “kaum muda” bernama Kaesang.
Secara prosedural, mengenai judicial review untuk peraturan di bawah UU terhadap UU memang betul dilakukan oleh MA, dengan catatan peraturan tersebut bertentangan dengan UU. Masalahnya PKPU No. 9 Tahun 2020 sendiri sudah sinkron dengan UU No. 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang kemudian menjadi UU Pilkada.
Kalau sudah sinkron, itu artinya tidak ada yang bertentangan. Jadi untuk apa diuji materilkan? Terlebih hasil putusannya pun tetap pada usia 30, tapi dengan pergeseran dari saat pendaftaran menjadi pelantikan. Ini untuk kepentingan kaum muda atau kepentingan politik tertentu?