Dalam diskusi Forum 17-an di bulan lalu, Komunitas GUSDURian Mojokerto sempat mengangkat tema “Merawat Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa” pada Sabtu, 8 Juni 2024 di GKJW Dawarblandong. Kebetulan sekali memang kala itu kami sedang memperingati Hari Pancasila. Momentum yang barangkali sangat pas untuk kami kulik lebih dalam lagi makna dan rasanya.
Namun kami di sini tidak sedang membicarakan serba-serbi isi buku pendidikan kewargaraan selayaknya anak sekolah, atau pendidikan ideologi seperti kaderisasi organisasi eksternal kampus. Mudahnya, kami memang sedang benar-benar berusaha berefleksi bagaimana Pancasila bisa menjadi warisan yang kokoh, pusaka yang berharga, dan punya nilai tak terhitung hingga dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang begitu beragam ini.
Kala itu, kami telah memilih tiga pemantik untuk memberikan pengantar terkait Pancasila. Pemantik tersebut tidak lain adalah Pendeta Galih dari GKJW Dawarblandong, Nur Akromah dari Ketua PAC Fatayat NU Dawarblandong, serta Parman dari Ketua Sapto Darmo yang kemudian digantikan oleh Mad.
Setelah materi demi materi telah mereka jelaskan, dalam sebuah sesi diskusi, ada sebuah celetukan tiba-tiba keluar dari salah seorang peserta. Katanya, tidak lumrah kalau di Mojokerto harus membahas Pancasila secara teoritis, poin-poin panjang dengan istilah-istilah yang ilmiah, bikin ngantuk.
Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga apa yang ia katakan. Barangkali, mudahnya ia ingin mengingatkan, bahwa Mojokerto bukanlah Malang atau Yogyakarta yang mayoritas peserta Forum 17-an berisi para akademisi. Mereka yang suka membahas teori dan filsafat ngalor-ngidul sampai malam.
Mojokerto tidak semuluk itu. Ia hanyalah daerah tempat tinggal masyarakat biasa. Tempat orang-orang hidup, mencari mata pencaharian, dan tinggal dengan tenang. Bahkan masih banyak pula di antaranya yang tidak mengenyam pendidikan formal. Namun yang saya kagumi, di daerah ini juga, banyak nilai yang tidak bisa kita temukan langsung di buku-buku. Pengalaman yang begitu berharga dan terselubung dan belum banyak diketahui.
Hal itulah yang makin menambah kemenarikan diskusi kali ini. Tanpa harus menggunakan diksi Pancasila, para peserta saling bertanya dan berbagi satu sama lain terkait kondisi dan situasi hubungan antaragama di wilayahnya. Mereka saling mengenalkan latar belakang tanpa harus merasakan bahaya atau risau. Rasa keterbukaan pun mereka hadir dan limpahkan dalam forum ini.
Seperti halnya salah satu pertanyaan menarik yang diberikan oleh peserta. “Apakah anak cucu kita di sekolah mendapatkan pelajaran kerohanian Sapto Darmo?”
Ia tidak bertanya untuk menuding atau memojokkan. Ia hanya penasaran karena merasa risetnya belum selesai mengenai kondisi kerohanian Sapto Darmo, terlebih di daerah Mojokerto. Begitupun juga pertanyaan-pertanyaan menggugah lainnya tentang Sapto Darmo juga diajukan oleh peserta lain, seperti bagaimana perkembangan identitasnya, dan bagaimana haknya sebagai warga negara yang berkepercayaan dapat diakui dengan baik.
Pak Mad, sebagai perwakilan pun menjelaskan dengan sangat baik bagaimana kondisi secara utuh penghayat Sapto Darmo di Mojokerto. Bagaimana kurikulum pendidikan telah diterapkan di beberapa daerah tertentu. Juga bagaimana kemudahan administrasi bisa lebih mereka dapatkan dari sebelumnya.
Bahkan, sebagai seorang penghayat, ia juga menjabarkan bagaimana respons keluarganya terhadap kepercayaan yang ia miliki. Sebagai seorang penganut ajaran Sapto Darmo, ia tidak merasa perlu memaksa anak cucunya mengikuti jalannya sebagai penghayat. Bahkan ketika anaknya meminta izin untuk pindah ke agama lain, ia tidak keberatan, malah tetap memberikan petuah baik bagi keluarganya.
Kemudahan untuk berbagi dan menerima seperti inilah yang sebenarnya lebih mudah diserap masyarakat Mojokerto terkait nilai penting Pancasila. Usaha bagaimana tiap warganya bisa saling terbuka dan menghargai satu sama lain adalah bentuk utuh dari Pancasila itu sendiri. Dan bagaimana mereka pada diskusi tersebut saling berkumpul dari berbagai etnis, saling mengenal dan tahu latar belakang, bahkan hal-hal yang berkenaan dengan kondisi lintas iman adalah tujuan dari adanya Forum 17-an kala itu, yakni mengetahui cara untuk terus merawat Pancasila.