BLITAR – Disahkannya UU terkait konsesi izin tambang untuk ormas keagamaan menjadi topik kontroversial dalam diskusi lingkungan hidup. Untuk membahas dampak dari kebijakan tersebut, GUSDURian Kabupaten Blitar mengangkat tema “Untung Rugi Tambang untuk Siapa?” pada Forum 17-an yang diselenggarakan pada Selasa, 23 Juli 2024.
Diskusi yang diselenggarakan di Pendopo Pondok Pesantren Darurroja’, Selokajang, Srengat, Blitar ini menghadirkan Dr. D. Ainu Rofiq (penggerak Eco Pesantren Blitar) dan Abdul Mukhosis (aktivis lingkungan) sebagai narasumber. Tujuan utama diskusi ini adalah untuk membahas untung-rugi dari kebijakan tersebut, terutama dalam konteks lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pemaparannya, Dr. D. Ainu Rofiq menegaskan bahwa pesantren juga bertugas mendidik santri supaya memiliki wawasan lingkungan. Hal ini bisa dimulai dengan membiasakan hal kecil seperti membuang sampah pada tempatnya.
“Alam merupakan bagian dari sesuatu yang harus kita jaga,” ujarnya.
Diskusi yang dimoderatori oleh Najib Zam-zami ini juga membahas perizinan pemanfaatan sumber daya alam untuk kemaslahatan masyarakat, yang dalam hal ini adalah tambang yang harus tetap memperhatikan kelestarian alam. Sebab, eksploitasi sumber daya yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Dalam diskusi ini, salah satu peserta juga menyatakan keresahannya jika bahasan terkait tambang ini hanya dibahas oleh masyarakat akar rumput, maka kurang memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan isu. Namun, narasumber memberikan gambaran bahwa sebaiknya kader akar rumput berani mengambil sikap baik pro maupun kontra.
“Kebijakan organisasi kemasyarakatan untuk mendapatkan konsesi izin tambang merupakan hal baru. Sehingga hal ini perlu kajian mendalam. Sebagai kader akar rumput kalau memilih ikut, jangan sampai kita buta anggaran. Ini tanggung jawab moral atas pilihan, apalagi sebagai salah satu kader. Harus menimbang kemampuan diri. Jangan sampai mengambil pilihan atas apa yang tidak kita mampu,” tambah Abdul Mukhosis dalam penjelasannya.
Menurutnya, para kader juga tetap berhati-hati, khususnya jika mengambil sikap atas nama organisasi keagamaan secara keseluruhan. Karena yang dibawa adalah nama besar, bukan hanya nama individu. Sehingga, setiap keputusan tentang konsesi izin tambang yang diambil akan berdampak ke seluruh elemen organisasi meskipun hanya beberapa individu yang memutuskan.
“Ketika kita berjuang di masyarakat, setidaknya urusan perekonomian sudah harus tertata. Hal ini diabadikan dalam Surah At-Taubah:41 yang berbunyi wa jāhidụ bi`amwālikum wa anfusikum fī sabīlillāh di mana lebih mendahulukan bi`amwālikum yang artinya hartamu dari pada anfusikum yang artinya hidupmu. Supaya kita tidak mencari kehidupan di organisasi,” pungkas Abdul Mukhosis.
Dengan adanya diskusi ini, diharapkan para santri dan juga para penggerak GUSDURian diberi bekal atau dikaryakan sesuai dengan kemampuan mereka. Sehingga ketika terjun di masyarakat, setidaknya beberapa keterampilan yang diperlukan sudah tertata.