MOJOKERTO – Komunitas GUSDURian Mojokerto mengajak para pemuda dari Desa Sooko untuk melaksanakan kegiatan “Gathering Pemuda Sooko” di Warung Rakyat pada pada Minggu, 27 Juli 2024. Kegiatan ini bertujuan untuk mendobrak kesadaran para peserta akan pentingnya memahami keberagaman, begitupun dinamika yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.
Diawali dengan permainan Jurang Sosial, GUSDURian Mojokerto mengajak para peserta untuk merefleksikan perbedaan strata sosial, baik dari gender, kondisi fisik, pekerjaan, maupun agama/kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang. Dari sanalah terasa bahwa tiap orang dengan latar belakang berbeda memiliki batas masing-masing untuk mengakses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan umum lainnya. Padahal harusnya mereka memiliki hak yang sama, dan perlu untuk diupayakan bersama.
Seperti pernyataan Septi, salah seorang peserta asal Fatayat NU. Ia mengatakan bahwa semua manusia lahir dari latar belakang keluarga yang berbeda. Menurutnya hal itu sangat berpengaruh pada pendidikan yang didapatkan.
“Beda dengan orang yang pendidikannya tidak ada yang mengarahkan, tidak bisa mengakses pendidikan maupun pekerjaan. Nah, peran saya dalam permainan ini adalah sebagai pemeluk Islam, khususnya Ahmadiyah, yang mana berbeda dengan kelompok Islam lainnya. Jadi saya dapat mata pelajaran Ahmadiyah di sekolah,” ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, Nisa, salah seorang peserta lain juga turut memberikan kesimpulan. Dirinya menyatakan bahwa semua peserta yang hadir bisa menyamakan persepsi seperti Septi.
“Ternyata di belakang kita ada sesuatu yang perlu kita bantu juga. Kan kita bisa mengakses pendidikan dengan mudah, dan lain-lain. Jadi kita tidak menyombongkan diri, karena di belakang kita masih ada orang-orang yang perlu kita bantu,” paparnya.
Kesadaran para peserta semakin dalam ketika Imam Maliki, fasilitator dalam forum tersebut memberikan kesimpulan. Imam menyebut dalam ketika permainan tersebut meminta peserta yang paling depan untuk mundur beberapa langkah, dan yang paling belakang diminta maju beberapa langkah, hingga akhirnya bisa berdiri sejajar kembali, hal ini menggambarkan kondisi masyarakat kita sendiri.
“Ketika orang memiliki banyak akses dan terus maju, ia perlu mendongak dan mundur untuk melihat, ternyata ada loh orang-orang yang tidak bisa mengakses hak-haknya sebagai manusia, sebagai masyarakat. Lantas orang yang di belakang kenapa harus maju, karena mereka harus berupaya dan berusaha untuk memenuhi haknya, tidak cukup berpangku tangan saja,” ungkapnya.
Berdasarkan kontemplasi inilah kemudian pria yang akrab disapa Cak Imam tersebut mulai menarik para peserta kepada tujuan utamanya, yakni melihat kondisi sosial Desa Sooko, baik sisi negatif maupun positifnya. Berdasarkan kesimpulan simulasi yang telah dipraktikkan para pemuda Sooko, dirinya menyebut ada beberapa poin positif yang bisa dicatat.
“Warga Desa Sooko yang mudah berbaur dengan sesama telah menciptakan desa yang damai dan tentram, kemudahan mengakses pendidikan ada, toleransi dengan umat beragama sudah baik. Desa Sooko guyub rukun walau banyak perbedaan. Jika ada gesekan pun cepat ada solusi. Pada intinya semua warga mudah diajak berbaur tanpa membedakan agama atau ras yang berbeda.” tutur Koordinator Wilayah GUSDURian Jawa Timur tersebut.
Sedangkan dari sisi negatifnya, Imam merangkumnya menjadi beberapa hal, di antaranya adalah ibadah di musala yang belum bisa bersatu hanya karena beda ormas, ada warga yang buang sampah di tempat tetangga, untuk pembuangan sampah kadang ada beberapa warga yang menumpuk di depan rumah, ada beberapa anak kecil yang omongannya kurang enak didengar (degadrasi moral), tempat pembuangan di desa yang kurang efektif serta warganya yang kurang tertib.
Masalah-masalah tersebut, menurut Cak Imam, tidak bisa dibiarkan. Masalah ini krusial, bahkan bisa disebut sebagai gunung es yang suatu saat akan roboh. Dengan kondisi ini, ia menekankan perlunya perubahan karena tidak cukup dibiarkan terus mengalir saja.
“Tentu kita semua ingin baik. Untuk mencapai baik, perlu adanya perubahan. Sedangkan perubahan itu tidak datang sendiri, tapi juga dari upaya orang-orangnya. Ketika bisa kita upayakan, kenapa tidak? Nanti seandainya, GUSDURian dilibatkan di sana, kita pasti upayakan waktu dan tenaga. Maksudnya gini, andaikan dari banyak anggota yang tidak bisa hadir, ya yang longgar saja. Itu kita ciptakan, sebisa mungkin, ruang aman perempuan, ruang ramah anak, ruang yang nyaman bagi semua meski berbeda latar belakang.”
Sebagai penutup, Cak Imam menegaskan kembali para peserta untuk ikut dalam Musrembangdes (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa) di akhir tahun nanti.
“Musrembangdes ini kan memunculkan aturan, tidak hanya membangun, tapi bagaimana bangunan bisa dirawat bersama. Tidak hanya bangunan fisik, tapi juga bangunan manusianya juga,” pungkasnya.