Menuju Pilkada 2024: Dari Transaksi Narasi Intoleransi hingga LGBT

Sekitar dua mingguan lagi pendaftaran bakal calon kepala daerah akan dibuka serentak di seluruh wilayah Nusantara. Geliat para aktor politik terlihat siap menghadapi pertarungan politik 5 tahunan ini dengan memasang berbagai baliho dan spanduk di beberapa titik, lengkap dengan statement khasnya. Bahkan beberapa ada yang membabi buta dengan memasang baliho/spanduk di pepohonan.

Beberapa hari yang lalu, saya sempat melihat aksi damai yang dilakukan oleh sekelompok pemuda di salah satu flyover Kota Makassar dengan tulisan “tolak pemimpin intoleran”. Sekilas tulisan di spanduk yang dibentang oleh masyarakat sipil ini seolah mengonfirmasi bahwa Sulsel sedang tidak ramah akan kehidupan inklusif.

Berangkat dari gerakan tersebut, yang rata-rata dipelopori oleh kelompok pemuda, ada satu hal yang menarik dan kadang luput dari pemberitaan media-media mainstream, yakni keberadaan kelompok ragam seksualitas atau LGBT. Keberadaan kelompok ini dalam musim demokrasi sangat rentan dieksploitasi oleh para aktor politik. Agak kasar memang, tapi itulah yang sangat berpotensi terjadi.

Kelompok ragam seksualitas ini secara sangatlah solid, karena ada rasa sepenanggungan yang sering dikucilkan oleh masyarakat pada umumnya. Solidnya entitas ini (LGBT) menjadi peluang bagi para politikus untuk meraup suara yang banyak, tentunya dengan iming-iming akan akses publik yang lebih ramah bagi mereka dengan menjual narasi Hak Asasi Manusia (HAM).

Politikus yang merangkul kelompok ini sebenarnya pure hanya untuk kepentingan politik transaksional, mereka tidak benar-benar menjanjikan apa yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai warga negara yang berdaulat.

Narasi Intoleransi dan Inklusivitas

Carahanna Marianne dan Agatha Hamdan adalah dua orang dari sekian banyak kelompok LGBT yang sering kali mengalami serangan bernada kasar hingga ancaman. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh sebab media-media mainstream pun juga tahu bahwa narasi kebencian ini sangat menggiurkan bagi mereka, apalagi jika sumber cuan media ini adalah hasil numpang di lembaga negara yang sudah tentu isinya adalah para pelaku politik pragmatis. Yah, meskipun tidak semuanya seperti itu.

Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepanjang tahun 2023 hingga menjelang pemilu 2024 ada 113 media online yang rata-rata mengutip narasi ormas-ormas intoleran yang terafiliasi oleh partai politik tertentu (BBC News Indonesia, 2024). Narasi kebencian dari para politisi ini idenya sama yakni wacana regulasi anti-LGBT.

Menurut Ika Ningtyas sekjen AJI, dari 113 pemberitaan media online 31 di antaranya memuat narasi kebencian terhadap LGBT dari para anggota DPR hingga DPRD, 25 liputan dari pejabat publik baik walikota hingga bupati. Total ada sekitar 56 pejabat publik yang mengeluarkan pernyataan anti LGBT.

Di sisi lain, ada juga para politisi yang muncul dengan tesis LGBT juga bagian dari masyarakat sipil yang harus dilindungi haknya dalam sebuah negara hukum dan sebagai warga yang berdaulat. Menurut Dede, seorang sosiolog Universitas Airlangga menuturkan masih banyak politisi yang secara sporadis dan serampangan menjanjikan kebijakan inklusif demi meraup suara mereka. Mereka bahkan tak jarang memberi sembako kepada mereka agar dianggap sebagai politisi inklusif dan toleran, padahal hanya untuk kepentingan politik elektoral.

Namun setelah pesta demokrasi usai, mereka akan hilang perlahan sebab mereka sadar bahwa mengakomodir kelompok ini cenderung beresiko terutama pada kelangsungan karier politik mereka. Berdasarkan data AJI, sepanjang tahun 2023 cukup banyak regulasi anti-LGBT yang tersebar di beberapa daerah seperti Makassar, Bandung, Garut, Medan Hingga Sampang (BBC News Indonesia, 2024).

Gus Dur dan Sudut Pandang Kemanusiaan

Keberadaan LGBT bukanlah sebuah ide antah-berantah yang muncul serta seolah-olah merusak tatanan sosial masyarakat. Mereka juga manusia yang tanpa kita sadari mengalami begitu banyak tekanan bahkan oleh keluarga dan lingkungan mereka. Mereka juga ingin diterima apa adanya.

Meminjam nilai kemanusiaan Gus Dur, tentu melihat kasus ini tidak hanya dari aspek sosiologis masyarakat saja, melainkan bahwa mereka merupakan bagian dari fakta sosial yang harus diterima sebagai manusia. Setidaknya mereka mendapatkan haknya sama dengan apa yang kita rasakan saat ini.

Anggun, salah satu transpuan dari komunitas SEHATI di Kota Makassar menuturkan bahwa ia tidak menginginkan privilese lebih. Mereka hanya ingin diperlakukan sama seperti warga pada umumnya, sebab mereka bukan penyakit.

“Kami hanya ingin mendapatkan perlakuan yang sama, bersosialisasi dengan aman dan mendapatkan akses hukum yang setara. Perjuangan saya untuk menerima diri saya sendiri butuh perjuangan dan selama kami tidak menyakiti serta membuat resah masyarakat. Apa salahnya kami bebas mengekspresikan diri kami selama tidak melanggar hak individu lainnya,” ujarnya.

Ketika Gus Dur membela Dorce yang merupakan seorang transpuan dan juga membela Inul atas penampilannya di panggung yang dianggap tidak senonoh, kita dapat memahami arti hidup bernegara. Kita harus sadar bahwa bukan penampilan atau perilaku yang kita bela atau benci, melainkan melihat sosok individu sebagai manusia seutuhnya yang memiliki hak asasi sejak dalam kandungan.

Gus Dur tidak membela sifat Inul atau mendukung Dorce menjadi transpuan, tetapi Gus Dur melihatnya sebagai manusia utuh yang tentunya punya kebebasan yang mereka inginkan selama tidak melanggar hak-hak orang lain. Bahkan lebih dari itu, Gus Dur memandang keberadaan manusia sebagai individu dengan sangat mendalam, melampaui apa yang tampak pada perilaku mereka sebagai manusia.

Penggerak Komunitas GUSDURian Bone, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *