Seruan Mendesak Pengesahan RUU Perlindungan PRT di Yogyakarta: Dari Nobar hingga Diskusi Film

YOGYAKARTA – Sejak 2021 sampai Februari 2024, Jala PRT mencatat ada 3.308 kasus kekerasan yang dialami oleh Pekerja Rumah Tangga (PRT). Sementara itu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk melindungi pekerja rumah tangga tidak kunjung disahkan oleh DPR sejak 20 tahun yang lalu.

Merespons hal tersebut, Jala PRT dan Konde.co bersama Jaringan GUSDURian dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang memiliki perhatian pada isu PRT menggelar Nobar (Nonton Bareng) dan Diskusi Film Mengejar Mbak Puan di Griya GUSDURian Yogyakarta pada Senin, 26 Agustus 2024. Acara ini merupakan upaya Jala PRT dan Konde.co bersama jejaringnya memberikan edukasi kepada publik terkait pemenuhan hak-hak PRT dan mendorong pengesahan RUU PPRT.

Acara yang dihadiri oleh sekitar 80 orang itu dimulai dengan menonton film Mengejar Mbak Puan. Film dokumenter garapan Jala PRT, Konde.co, Perempuan Mahardhika tersebut menceritakan pergulatan hidup para Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam memperjuangkan nasibnya. Mereka berjuang melawan kekerasan dan diskriminasi yang dialami setiap hari dan mendorong agar RUU PPRT segera disahkan menjadi Undang-Undang (UU).

Dalam sesi diskusi, Jumiyem, salah satu perwakilan pekerja rumah tangga menceritakan bahwa di Indonesia keberadaan PRT tidak diakui sebagai pekerja. Efeknya, para PRT tidak mempunyai perlindungan, tidak terpenuhi hak-haknya, bahkan tidak luput mengalami kekerasan.

Tidak ada regulasi yang berprinsip pada hak asasi manusia dan antikekerasan terhadap perempuan dan PRT. Kami mengalami berbagai kekerasan fisik, psikis, hingga ekonomi. Kami juga tidak memiliki libur-libur seperti pekerja lain. Semua ini menjadikan tubuh kami semakin lelah,” terang perempuan yang akrab disapa Lek Jum tersebut.

Padahal sebagian besar para PRT merupakan tulang punggung keluarga, lanjut Lek Jum, sehingga mereka harus melakukan pekerjaan ini meski upahnya sangat kecil. Menurutnya, beban itu masih ditambah dengan tidak adanya jaminan kesehatan yang mereka miliki, sehingga harus keluar biaya lebih ketika para PRT atau keluarga mereka jatuh sakit.

“Di Jogja, upah PRT itu sekitar 800.000 sampai 1.000.000. Jauh di bawah UMR. Apalagi sebagian besar dari kami tidak mendapatkan jaminan kesehatan, sehingga jika kami atau keluarga ada yang sakit harus mengeluarkan biaya sendiri. Kami harus mencari pinjaman ke tetangga, teman, bahkan terpaksa berurusan dengan rentenir,” tambahnya.

Melanjutkan pembahasan Lek Jum, Sarjoko dari Tim Media KUPI menuturkan bahwa masih banyak PRT yang menganggap kekerasan yang mereka alami adalah hal wajar dan bagian dari pekerjaannya. Mahasiswa pascasarjana UGM tersebut mengajak peserta yang hadir untuk berefleksi dengan kembali kepada definisi pekerja rumah tangga.

“Orang-orang kadang menyebut pekerja rumah tangga sebagai asisten rumah tangga atau pembantu. Makanya banyak yang menganggap bahwa ini bukan pekerjaan tapi hanya membantu. Di kampung bahkan ada keluarga yang meminta tetangganya untuk membantu di rumahnya, yang kadang hanya dibayar sayuran. Maka dari itu kalau rancangan undang-undang ini tidak disahkan, maka kejadian-kejadian seperti ini hanya akan berlalu saja,” paparnya panjang.

Ketika ditanya tentang perhatian KUPI terhadap isu PRT, Sarjoko menjawab bahwa isu tersebut masuk perhatian KUPI karena masih berkaitan dengan trilogi KUPI yang menjadi landasan gerakan, yaitu mubadalah (kesalingan), keadilan hakiki, dan makruf (kebaikan).

“Jika kita lihat realitanya, para PRT memang tidak mendapatkan keadilan yang sebenarnya, bukan hanya keadilan semu. Sedangkan jika kita lihat relasi kuasa antara majikan dan PRT, juga tidak ada kesalingan di sana. Maka dari itu KUPI sangat terbuka dengan isu PRT,” tuturnya.

Di sisi lain, Lek Jum menjelaskan bahwa selama ini dirinya dan para jejaring di isu ini telah melakukan sosialisasi ke kampus-kampus ketika ditanya apa saja yang sudah dilakukan untuk mendorong pengesahan RUU PPRT.

Kami juga dibantu oleh kawan-kawan Konde dalam melakukan advokasi. Selain itu tentu saja kami memanfaatkan media sosial untuk mengkampanyekan betapa pentingnya RUU ini disahkan,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *