Kotak Kosong dan Pertaruhan Integritas Demokrasi

Tanggal 27-29 Agustus 2024 kemarin kita telah menyaksikan proses pendaftaran bakal calon (balon) gubernur, wali kota, dan bupati secara serentak di seluruh pelosok Nusantara untuk menentukan arah perubahan daerah yang lebih baik selama lima tahun ke depan. Berbagai partai politik kini telah merapatkan barisan dalam koalisi demi memuluskan langkah politik di tingkatan daerah. Namun, sejak putusan MK kemarin beberapa daerah mulai memunculkan perdebatan terkait potensi adanya pertarungan antara kotak kosong dan calon yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Banyak kalangan politisi menganggap bahwa alasan baleg DPR RI melakukan rapat pembahasan RUU Pilkada adalah bagian dari rencana koalisi Indonesia Maju atau KIM plus dalam mengamankan kepentingan politik mereka. Terutama dari sisi Presiden yang dituding masih ingin terus berkuasa melalui sang putra, yakni Kaesang yang per tanggal 29 Agustus kemarin dipastikan batal maju pilgub Jakarta maupun Jawa Tengah.

Berdasarkan data tim katadata.co.id, KPU RI mengungkapkan ada 48 pasangan calon tunggal di pilkada 2024 nantinya akan melawan kotak kosong. Nah, apa implikasinya bagi proses demokrasi kita jika warga datang ke TPS tapi hanya memiliki dua pilihan, salah satunya adalah kotak kosong? Dan apa jadinya kalau ternyata kotak kosong yang menang?

Pada Pilkada 2019, fenomena calon tunggal melawan kotak kosong terjadi di Makassar, Kabupaten Bone, Sumatera Barat, dan banyak daerah lain. Di Bone sendiri, calon tunggal akhirnya menang meskipun ada protes dari warga yang menganggap pilkada 2019 itu penuh rekayasa politik.

Menurut pakar politik Adi Prayitno, fenomena kotak kosong ini mengindikasikan merosotnya demokrasi di negara ini, terutama pada proses pemilihan pejabat publik. “Kalau partai politik akhirnya berkongsi dan berkoalisi tanpa mengajukan calon penantang, maka di situlah demokrasi kita macet,” katanya. (Tempo Nasional, 2024)

Di samping itu padatnya jadwal selama pemilu dan pilkada membuat partai politik tidak memiliki waktu untuk menentukan pilihan. Akibatnya, mereka cenderung membentuk koalisi gemuk untuk mengamankan posisi dan ruang politik yang lebih besar lima tahun ke depan.

Riuhnya hasil putusan MK terkait usia calon dan syarat partai politik dalam mengajukan calon atau parliamentary threshold menjadi preseden baik sekaligus buruk. Di satu sisi, demokrasi kembali mendapatkan secercah cahaya terang atas putusan tersebut. Di sisi lain, demokrasi kita nampak begitu bobrok karena elemen-elemen demokrasi, di antaranya DPR RI, seolah-olah tidak peka terhadap situasi politik karena berupaya menganulir putusan MK yang bersifat final.

Pada dasarnya, jika merujuk pada konsepsi dasar demokrasi sebagai ruang legitimasi rakyat sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi, maka dengan banyaknya koalisi partai yang obesitas ini dan tidak adanya penantang bagi calon tunggal di beberapa daerah sudah merusak tatanan demokrasi kita. Mengapa demikian?

Dalam kasus calon tunggal Bupati Bone 2019 yang melawan kotak kosong misalnya, banyak warga yang mengaku memilih kotak kosong karena kecewa dengan hasil kepemimpinan calon tunggal sebelumnya. Namun karena dipolitisasi sedemikian rupa, calon tunggal tetap menang telak di hampir semua TPS, padahal menurut warga banyak yang memilih kotak kosong.

Hal ini terjadi sebab tidak ada individu atau lembaga yang menjadi penanggung jawab kotak kosong ini sehingga sulit jika ingin disengketakan. Fenomena serupa sangat berpotensi terjadi di pilkada 27 November 2024 nantinya.

Menurut Titi Anggraini pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, kotak kosong adalah pilihan yang sah namun tidak diakomodir oleh KPU dalam proses tahapannya. “KPU sudah sewajarnya menyiapkan fasilitas bagi mereka yang mendukung kotak kosong sehingga kotak kosong ini tidak menjadi pilihan kelas dua,” ujarnya (Tirto.id, 2024).

Mundurnya proses demokrasi kita dalam perhelatan pilkada menjadi catatan tersendiri bagi seluruh masyarakat bahwa ada yang tidak beres dalam sistem demokrasi di negara ini. Memilih kotak kosong adalah sah sebagaimana diatur dalam putusan MK no 100/PUU-XIII/2015, pasal  54 C-54D UU Pilkada dan PKPU No 8 Tahun 2024. (Tirto.id, 2024)

Namun jika prosesi pilkada melawan kotak kosong terkesan menunjukkan ketidakseimbangan politik, hal ini menandakan bahwa hegemoni partai sudah mencederai hak-hak politik warga negara dengan terkesan dipaksa memilih calon tunggal terlebih jika daerah yang padat penduduk.

Jika merujuk pada pandangan tokoh bangsa seperti Gus Dur, kondisi yang terjadi hari ini tidak lebih dari kegiatan demokrasi seolah-olah yang hanya melahirkan kepentingan kelompok tertentu, terutama elite politik dan kepentingan oligarki. Hal ini tercermin mulai dari ketidakkonsistenan MK, KPU, Bawaslu, dan DPR yang dengan gampangnya mengotak-atik UU dalam waktu singkat. Adanya putusan MK yang terbaru juga tidak menjamin angin segar bagi kedaruratan demokrasi kita.

Menurut Gus Dur, demokrasi adalah prosesi penegakan konstitusi yang pada hakikatnya mengatur tentang kekuasaan dan hubungan kekuasaan dalam negara, memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara dan sekaligus meneguhkan hak warga negaranya.

“Kita ingin memberi penekanan pada publik bahwa konstitusi diadakan sebagai jaminan untuk warga negara dari kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan negara” (Mengurai Hubungan Negara dan Agama, hlm. 199). Bagi Gus Dur, politik haruslah memenuhi hak-hak kemanusiaan warga negara yang telah jelas diamanatkan oleh Pancasila dan UUD tahun 1945.

Penggerak Komunitas GUSDURian Bone, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *