BANJARMASIN – Komunitas GUSDURian Banjarmasin menyelenggarakan peringatan hari lahir (Harlah) Gus Dur di Aula Vihara Dhammasoka dengan serangkaian acara yang penuh makna pada 7 September 2024. Acara tersebut diisi dengan Doa Lintas Iman, Panggung Toleransi, dan Diskusi Buku Gus Dur berjudul Demokrasi Seolah-Olah. Acara ini dihadiri oleh berbagai elemen lintas iman dan para tokoh agama dari beragam latar belakang.
Diskusi buku dipandu oleh Arief Budiman, salah satu penggerak GUSDURian Banjarmasin. Narasumber diskusi berasal dari berbagai latar belakang, di antaranya Beka Ulung Hapsara (Senior Advisor Jaringan GUSDURian dan Komisioner Komnas HAM 2017-2022), Varinia Pura Damaiyanti (Dosen Fisip Universitas Lambung Mangkurat), serta Hajriansyah (Owner Kampung Buku).
Sebelum sesi diskusi dimulai, puisi tentang Gus Dur dibacakan oleh teman-teman dari Sekolah Tinggi Teologi GKE, Muslimah ABI Kalimantan Selatan, dan Komunitas Literasi Gema Aksara. Mereka membawakan puisi karya Joko Pinurbo dan Buya Husein Muhammad, yang menyentuh hati para peserta.
Menurut Hajriansyah, buku Demokrasi Seolah-Olah ditulis Gus Dur setelah masa jabatannya, di mana ia menulis tentang berbagai persoalan pasca-kepemimpinannya. Gus Dur adalah penulis yang sangat produktif, bahkan setelah turun dari kursi kepresidenan. Demokrasi yang diperjuangkan Gus Dur pada akhirnya melengserkan dirinya, namun ia menerima hal tersebut dengan kedewasaan, karena itu merupakan bagian dari demokrasi.
Lebih lanjut, Hajriansyah menyampaikan pandangan Gus Dur tentang agama. Menurutnya, agama tidak perlu diatur oleh negara karena setiap orang yang beragama telah memiliki kesadaran spiritual masing-masing. Sikap ini tercermin dalam kehidupan Gus Dur.
Varinia Pura Damaiyanti menambahkan cerita tentang momen bersejarah saat gedung DPR dipenuhi kumandang salawat di sidang paripurna pemilihan presiden. Saat itu hanya ada tiga calon, yakni Gus Dur, Megawati, dan Yusril. Gus Dur juga menanggapi konflik di Ambon dengan keyakinan bahwa konflik tersebut hanya menyentuh permukaan, sementara inti negara tetap kuat. Menurut Varinia, Gus Dur sangat memperjuangkan pluralisme dan kesetaraan, serta mencetuskan pembentukan Kementerian Urusan Peranan Wanita yang kini dikenal sebagai Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
Beka Ulung Hapsara, murid langsung Gus Dur, memaparkan bahwa Gus Dur adalah sosok multidimensi yang sering menulis di Kompas dan Jawa Pos tentang sepak bola dengan gaya jurnalisme sastrawi. Pada tahun 1980, Gus Dur juga aktif dalam seni dan budaya, menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, Badan Sensor Film, serta juri Festival Film Indonesia.
Menurut Beka, Gus Dur tidak memandang agama sebagai batasan dalam memanusiakan manusia. Ia percaya bahwa tugas utama kita adalah memanusiakan manusia, sebagaimana yang dilakukan Gus Dur. Demokrasi yang diperjuangkan Gus Dur didasarkan pada supremasi sipil, bukan militer, karena aparat negara memiliki peran untuk menjaga keamanan, bukan terlibat dalam politik.
Sesi pertanyaan dimulai dengan peserta yang mengungkapkan keluh kesahnya sebagai perempuan. Ia menceritakan pengalamannya selama di SMP dan SMA, di mana ia merasa perempuan tidak dianggap layak untuk menjadi ketua kelas, dan bahkan sering kali dipandang sebelah mata dalam berbagai kesempatan. Ia menegaskan bahwa perasaan ini tidak hanya dialaminya saat di SMP, tetapi terus berlanjut hingga SMA.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Varinia memberikan saran yang konstruktif. Ia menyarankan agar peserta mencari dan membangun jaringan yang dapat menghargai dan menerima keunikan diri kita. Ia menekankan pentingnya memperkuat jaringan tersebut, terutama ketika nanti melanjutkan ke jenjang kuliah. Varinia percaya bahwa dengan memiliki jaringan yang solid, perempuan tidak akan lagi dipandang sebelah mata dan akan memperoleh tempat yang layak di masyarakat.
Selanjutnya, peserta mengajukan pertanyaan kepada Beka. Beka menjelaskan bahwa pemilu paling demokratis adalah pemilu pasca-kemerdekaan atau pemilu pertama, karena pada waktu tersebut banyak terdapat berbagai ideologi, termasuk PKI. Ia menambahkan bahwa terlepas dari hubungan emosional, penting bagi kita untuk berani mengkritik pemerintah jika mereka tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Menurut Beka, kita belum terlambat untuk membangun kultur intelektual yang kuat. Ia mengingatkan bahwa Gus Dur telah memberikan teladan dalam hal ini, dan tugas kita adalah meneruskan perjuangan tersebut. Ia juga menambahkan bahwa mungkin di masa depan, kekuatan sipil akan digunakan untuk menyadarkan pemerintah yang menyimpang dari jalurnya.
Diskusi diakhiri oleh moderator, Arief, dengan kutipan dari Gus Dur: “Yang penting dari politik adalah kemanusiaan”. Penggerak GUSDURian ini menekankan bahwa meskipun politik adalah aspek penting dari kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai kemanusiaan harus selalu diutamakan dan dijadikan pedoman dalam setiap tindakan kita.