Saya tumbuh di desa dengan masyarakat yang secara keagamaan terbilang homogen, yakni Islam. Sejak kecil saya tidak mengenal satu pun orang yang berasal dari agama lain, apalagi berinteraksi dengan mereka. Pengalaman lintas iman pertama terjadi ketika saya mengikuti program study tour dari SMP tempat saya belajar.
Saat itu rombongan siswa pergi ke Jakarta. Salah satu destinasi kami adalah gereja katedral yang berada di seberang Masjid Istiqlal Jakarta. Dalam katedral itu kami para siswa hanya melihat-lihat bangunan gereja yang tampak asing di mata karena sebelumnya tidak pernah menginjakkan kaki di gereja. Dalam kunjungan itu tetap saja saya tidak mendapatkan pengalaman interaksi dengan orang dari agama lain.
Saya mulai bertemu dan berinteraksi dengan non-Muslim ketika SMA. Ada beberapa kakak kelas beragama Kristen, itu pun jumlahnya bisa dihitung jari. Dua orang guru juga berlatar belakang non-Muslim, akan tetapi sebagaimana mestinya guru dan siswa, interaksi kami hanya sebatas interaksi formal belajar-mengajar. Artinya, relasi emosional dalam interaksi itu tidak benar-benar terasa.
Cerita berlanjut ketika saya mulai belajar di tingkat perkuliahan. Lagi-lagi, orang-orang yang saya temui hampir 100% orang Islam, karena saya belajar di universitas Islam sembari belajar di pondok pesantren. Namun, ada satu titik penting di mana kemudian saya terbuka dengan komunitas dari agama-agama lain.
Sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, saya seorang diri berusaha berani untuk menyusup di kegiatan mahasiswa dari jurusan lain, yakni Studi Agama-Agama (SAA). Ketika itu rombongan mahasiswa SAA dan saya satu-satunya mahasiswa Tafsir berkeliling dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah lain dan melaksanakan diskusi lintas iman di gereja, di kelenteng, bersama dengan tokoh agama dari Islam, Buddha, Kristen, dan Konghucu.
Kegiatan tersebut merupakan awal mula saya mengetahui bahwa Gus Dur adalah tokoh pluralis, yang dalam kesempatan diskusi lintas iman itu namanya selalu muncul sebagai pahlawan bagi komunitas lintas agama. Dari situ tembok penghalang yang membatasi saya dengan kelompok non-Muslim runtuh. Saya mulai berani untuk datang ke gereja walaupun sempat tersesat di keuskupan, yang mengantarkan saya pada diskusi panjang lebar dengan satpam yang berjaga di sana.
Melanjutkan studi ke jenjang S2 Antropologi di kampus umum, relasi saya dengan teman-teman lintas iman semakin meluas. Saat itu saya belum mengenal GUSDURian. Singkat cerita saya tergabung dalam proyek penelitian tentang pariwisata bersama seorang dosen. Waktu itu saya memilih Candi Borobudur (sebagai salah satu destinasi wisata super prioritas di Indonesia) untuk melihat bagaimana sektor pariwisata dan keagamaan berjalan bersamaan di satu lokasi.
Koordinasi dengan petugas pariwisata dan observasi mulai dilakukan. Saya mendapatkan momen penting untuk melaksanakan observasi yang saat itu bertepatan dengan Hari Raya Waisak, yang rangkaian acaranya berjalan selama sepekan penuh. Saat itu hampir setiap hari saya menempuh perjalanan dari Jogja ke Magelang untuk menyaksikan prosesi-prosesi Waisak di Candi Borobudur.
Dalam perjalanan observasi itu, saya menemukan satu momen dilema ketika ratusan umat Buddha bersama para Bikkhu dari dalam dan luar negeri berkumpul dalam prosesi Nyingma Monlam. Di satu sisi, saya sungguh ingin mengobservasi dari jarak dekat, membaur langsung dengan mereka. Namun, dari kejauhan prosesi tersebut tampak sangat sakral, khidmat dan khusyuk.
Dalam benak saya bertanya, apakah keislaman saya akan baik-baik saja jika saya masuk dalam barisan mereka? Apakah mereka akan menerima keberadaan saya dengan baik (dengan identitas yang kentara jelas: hijab di kepala saya)? Atau mereka akan merasa risih? Sepertinya tidak apa-apa, kan maksud saya untuk belajar dan keilmuan.
Dalam pergulatan pikiran itu, sosok Gus Dur dalam benak saya dan menuntun saya mengambil keputusan untuk masuk di barisan jamaah Buddha, meski tetap dengan langkah ragu. Benar saja, semua ketakutan itu terbukti salah. Mereka menerima saya dengan baik, mengajak saya berbincang bahkan memberi saya banyak makanan. Dua orang ibu-ibu Buddha yang berbicara dengan saya berasal dari Semarang dan Bali. Satu hal penting dari yang disampaikan ibu-ibu itu adalah bahwa “kita (masyarakat lintas agama di Indonesia) sebenarnya akur-akur saja, hanya saja oknum-oknum tertentu sering kali menyebarkan kebencian (yang menjadikan masyarakat terkotak-kotak)”.
Saya mengikuti acara tersebut hingga petang. Setelah doa-doa dipanjatkan berjam-jam, para jemaat Buddha melanjutkan melakukan Pradaksina (memutari candi Borobudur sambil merapalkan doa-doa). Beruntungnya, sesaat sebelum Pradaksina tersebut, para Bhante Tudhong yang berjalan dari Thailand juga telah sampai di Borobudur. Jadi dalam sekali dayung, saya menjadi saksi atas banyak momen penting komunitas Buddha sore itu. Seorang nenek juga menyodorkan lampu lilin yang digunakan dalam Pradaksina pada saya. Saya merasa observasi saya berlangsung sangat totalitas.
Penelitian saya berpindah ke Austria. Pengalaman interreligius saya semakin berkembang terutama ketika status negara tersebut tidak dihuni mayoritas Muslim. Situasinya berbeda jauh dengan Indonesia. Ada tantangan lebih ketika saya menjalankan keislaman saya di sana. Untungnya sebelum berangkat ke Austria saya telah mengenal GUSDURian, mengikuti aktivitas-aktivitasnya dan mengikuti Kelas Penggerak GUSDURian (KPG) yang semakin memupuk mentalitas dan wawasan relasi interreligius saya. Sebagai contoh, melalui keikutsertaan saya di jalan-jalan toleransi, salah satu agenda GUSDURian, intensitas interaksi dan pertukaran wawasan dengan kelompok agama lain semakin menguat.
Berbekal pengalaman di GUSDURian itu, saya merasa percaya diri ketika ingin melibatkan diri dalam acara keagamaan komunitas non-Muslim di Austria. Dari teman yang saya temui di suatu acara, saya mendapat informasi bahwa ia tergabung dalam komunitas Akademie für Dialog und Evangelisation (Akademi untuk Dialog dan Evangelisasi). Mereka memiliki kegiatan rutin mingguan yakni Wöchentlich geistliches Programm (Program rohani Mingguan). Di sela-sela aktivitas ngampus di Universität Wien, saya menyempatkan hadir di kegiatan berbasis Kristen itu yang lokasinya cukup ditempuh beberapa menit dengan jalan kaki.
Sampai di Figlhaus-Kapelle (Gereja Figlhaus), telah banyak orang yang hadir. Berbagai hidangan juga telah terpajang di meja. Umumnya, acara-acara yang menyediakan hidangan semacam itu selalu menyediakan opsi vegan-food (sejauh yang saya amati, gerakan vegetarian memang cukup masif di Austria). Di sana saya disambut baik terlepas dari identitas hijab saya yang jelas-jelas bukan Kristen.
Selepas menyantap hidangan, acara pun dibuka. Seseorang mengisahkan pengalaman inspiratif kekristenannya. Saya paham itu, karena salah satu orang menerjemahkan semuanya kepada saya dalam bahasa Inggris. Dialog di ruang makan usai, acara dilanjutkan dengan kegiatan rohani di ruangan lain. Saya perhatikan mereka bernyanyi diiringi musik oleh pianis perempuan yang handal, membaca ayat-ayat dalam Alkitab dan menyampaikan harapan-harapan mereka dengan khusyuk.
Saya tidak mengikuti seluruh acara hingga selesai karena malam itu ada kegiatan lain di kampus. Meski demikian, pengalaman itu menjadi salah satu yang cukup berkesan bagi saya. Di tengah-tengah permasalahan islamofobia yang masih menjadi PR besar bagi aktivis dan berbagai NGO anti-rasis, toh saya tidak merasakan adanya diskriminasi ketika masuk ke lingkaran orang-orang yang secara latar belakang identitas sangat berbeda dengan saya. Terakhir, saya ingin kembali pada Gus Dur dan GUSDURian, yang bagaimanapun juga telah menjadi bagian dalam pembentukan mentalitas saya dalam interaksi di ruang-ruang interreligius.