Baru-baru ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Bambang Soesatyo mencabut beberapa Ketetapan (TAP) MPR. Penghapusan ketetapan ini adalah upaya untuk pemulihan beberapa nama baik presiden, salah satunya adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Mari kita coba uraikan bagaimana Tap MPR ini bisa ditujukan kepada Gus Dur hingga TAP MPR ini kemudian dicabut.
Seperti yang kita tahu, Gus Dur menjadi presiden hanya selama kurang dari dua tahun. Di masa akhir jabatannya, banyak sekali manuver politik yang ditujukan pada Gus Dur yang bisa kita lihat dari seringnya perombakan pasukan kabinetnya. Sampai akhirnya banyak koleganya bahkan sampai masyarakat menilai Gus Dur adalah presiden yang nyeleneh.
Pada tahun 2001 terjadi kemelut antara Gus Dur dengan DPR/MPR. Beberapa kebijakan Gus Dur dinilai menyalahi konstitusi. Momen itu adalah awal dari proses pemakzulan presiden Gus Dur, sampai akhirnya Gus Dur dilengserkan oleh MPR pada tanggal 23 Juli 2001.
Proses Pemakzulan Gus Dur yang Inkonstitusional
Pemakzulan yang dilakukan kepada Gus Dur oleh MPR diduga dikarenakan melanggar UUD 1945. Wacana yang dibangun oleh MPR untuk pemakzulan Gus Dur setidaknya karena tiga hal: Kasus Bruneigate, Buloggate, dan Dekrit Presiden. Dari ketiga kasus inilah kita bisa memahami alur dari proses pemakzulan presiden Gus Dur.
Pertama, pada Kasus Bruneigate, Gus Dur dituduh melakukan penyimpangan penggunaan dana yang diterima dari sultan Brunei kepada pengusaha yang dekat dengan Gus Dur. Dengan ini, ditemukan adanya indikasi tindak korupsi yang menyeret nama Gus Dur. Kedua, Kasus Buloggate yang melibatkan Yayasan Bina Sejahtera Bulog yang pada saat itu dikelola oleh Wakabulog Sapuan. Kasus ini terdengar cukup luas dan besar, sehingga menyeret beberapa nama pejabat termasuk Gus Dur.
Setelah adanya Kasus Buloggate, DPR melakukan pengesahan pembentukan pansus yang berfungsi untuk melakukan penyelidikan terkait kasus dana Bulog dan Brunei dengan tujuan untuk mengungkap fakta dan perwujudan check and balances. Dari situ hasil yang didapat adalah Gus Dur diduga terlibat dalam kasus korupsi di dalamnya. Walaupun, jika merujuk pada berita Tempo yang dikeluarkan hari ini (30/09/2024), Gus Dur sampai hari ini tidak terbukti melakukan tindak korupsi.
Dari kasus dugaan di atas, Gus Dur dituduh melalui memorandum yang dikeluarkan oleh DPR. Terdapat dua hal yang dituduhkan kepada Gus Dur dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap haluan negara. Pertama, melanggar UUD 1945 mengenai sumpah jabatan, dan kedua, melanggar TAP MPR No. XI tahun 1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Setelah dua kasus tersebut, akhirnya Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001 yang dianggap kontroversial. Dekrit yang dikeluarkan dianggap hanya sikap politis saja, karena isinya adalah pembubaran DPR, MPR, dan pembekuan Partai Golkar. Alasan Gus Dur adalah perkembangan politik yang pada saat itu menjadi hambatan sebagai akibat dari krisis konstitusional yang berujung pada krisis ekonomi. Parahnya jika ini dibiarkan akan menimbulkan korupsi besar-besaran.
Amien Rais yang pada saat itu menjadi ketua MPR menolak dekrit tersebut. Atas usulan DPR, MPR mempercepat sidang istimewa dan memutuskan untuk memakzulkan Presiden Gus Dur. Percepatan sidang tersebut tidak mengikuti aturan tata tertib MPR yang diatur pada TAP MPR No. II Tahun 2000. Sidang istimewa seharusnya ditetapkan dalam sidang paripurna MPR, padahal sidang paripurna merupakan bagian dari sidang umum atau sidang istimewa yang seharusnya tidak boleh dilewatkan.
Akhirnya MPR dengan inkonstitusionalnya mengeluarkan TAP MPR No. II Tahun 2001 tentang pertanggungjawaban Gus Dur yang intinya pemberhentian Gus Dur dari kursi presiden. Pada saat itu juga MPR mencabut TAP MPR No. VII Tahun 1999 tentang pengangkatan Presiden Republik Indonesia. TAP MPR ini dianggap melanggar konstitusi dan haluan negara oleh beberapa pejabat Gus Dur karena dua hal.
Pertama, TAP MPR No. II Tahun 2001 ditetapkan dan dijadikan alasan oleh MPR karena Gus Dur tidak menghadiri sidang istimewa. Seharusnya tidak menghadiri sidang istimewa bukan sebagai landasan untuk pemakzulan, apalagi pemakzulannya dilakukan dengan skema voting. Kedua, sudah sepatutnya dasar pemberhentian Gus Dur adalah memorandum yang sudah dilayangkan oleh DPR, walaupun itu juga tidak terbukti bahwa Gus Dur melakukan tindak korupsi.
Antara Pemulihan Nama Baik dan Pelurusan Sejarah
Bagi masyarakat luas, Gus Dur sampai hari ini tidak pernah ternilai buruk atau nama dan kata yang sedang sakit sehingga perlu tindakan pemulihan. Gus Dur sampai hari ini, seperti yang disampaikan Muhammad Al-Fayyadl, adalah ‘Kata Kerja’. Gus Dur bukan hanya nama yang sembuh, tapi ia nama yang ‘Kuat dan Menguatkan’. Gus Dur melalui karya dan pemikirannya terus relevan sampai hari ini, itulah kenapa Gus Dur adalah ‘Kata Kerja”.
Upaya yang dilakukan oleh MPR di masa akhir jabatannya perlu diapresiasi, ini menjadi langkah rekonsiliasi dan pembuktian bahwa Gus Dur tidak pernah melakukan pelanggaran konstitusi dan tindak korupsi. Selain itu, keputusan ini menjadi pelurusan penilaian yang keliru selama ini terhadap Gus Dur. Hal ini sudah sepatutnya dilakukan sejak lama, karena Gus Dur memang tidak terbukti salah.
Keputusan mencabut TAP MPR ini tidak boleh berhenti sampai hari ini dan begitu saja. Perlu ada upaya tindak lanjut seperti pelurusan sejarah terkait apa yang terjadi pada masa presidennya, agar tidak ada kekeliruan saat memahami Gus Dur. Sejarah ini yang perlu kita sampaikan kepada masyarakat pelajar di Indonesia melalui bacaan-bacaan bahkan tontonan.
Seperti dalam sambutannya Ibu Sinta Nuriyah bahwa “Pencabutan TAP MPR No. II/MPR/2001 ini juga harus dimanfaatkan untuk mendesakkan berlakunya demokrasi yang esensial di negara ini, bukan demokrasi prosedural yang rentan direkayasa”. Ini pulalah yang semoga menjadi inspirasi bagi pejabat negara dengan situasi demokrasi hari ini. Tentu banyak sekali pejabat negara yang berlaku demokratis, semoga ini menjadi jawaban dan awal untuk rasa ketenangan dan perlakuan adil ke depannya.
Gus Dur menjadi oase dari tandusnya sosok dan figur pemimpin hari ini. “Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan”.