Perkuat Pemahaman Demokrasi, Gerdu Suroboyo Diskusikan Buku “Demokrasi Seolah-olah”

SURABAYA – Dalam rangka menyambut pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024, Gerdu Suroboyo atau Komunitas GUSDURian Surabaya mengadakan diskusi buku Gus Dur yang berjudul Demokrasi Seolah-Olah.

Kegiatan ini dilaksanakan pada Sabtu 5 Oktober 2024, bertempat di Student Centre Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Surabaya, Jl. Tegalsari No.62, Kedungdoro, Kec. Tegalsari, Surabaya.

Menghadirkan dua narasumber sebagai pemantik, yaitu Dosen Komunikasi FISIP UNAIR Kandi Suwinto dan Haidar Adam dari Human Rights Law Studies, diskusi berjalan seru dan lancar. Sebanyak 20 peserta yang hadir dari kalangan lintas iman terlihat mengikuti kegiatan ini dengan antusias.

Haidar Adam, sebagai narasumber pertama mengawali diskusi dengan memaparkan gambaran penyusunan buku. Mas Haidar, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa buku Gus Dur berjudul Demokrasi Seolah-olah ini berisi sekitar 170 halaman. Isinya merupakan tulisan Gus Dur dari fase sebelum, sejak, dan sesudah Gus Dur menjadi presiden. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Bani Abdurrahman Wahid dan disusun oleh para penggerak GUSDURian.

Terdapat lima poin yang menjadi catatan Haidar dalam buku Demokrasi Seolah-olah. Pertama, Gus Dur mencoba melihat demokrasi dalam rangka kedaulatan hukum dan kebebasan pers. Kedua freedom of speech atau kebebasan berpendapat. Jika ada negara yang mengaku demokrasi tapi dua hal ini tidak ada, menurutnya itu bukan demokrasi.

Ketiga, sebisa mungkin menghindari kekerasan (no violence). Hal ini konsisten Gus Dur lakukan sampai ia ‘diturunkan’ dari kursi presiden, tepatnya ketika Gus Dur mencegah masyarakat yang hendak berangkat ke Jakarta untuk membelanya. Keempat, Gus Dur menulis tentang golput yang intinya menganjurkan masyarakat untuk tidak golput. Namun, di tahun yang sama Gus Dur juga menulis artikel “Kenapa Saya Golput”. Hal ini juga menjadi kritik Haidar kepada tim penyusun kenapa tidak dibedakan.

Kelima, agama dan demokrasi. Gus Dur tidak setuju negara turut campur urusan agama. Tapi negara harus tegas ketika orang-orang bertindak intoleran dalam beragama. Islam yang Gus Dur tawarkan adalah menghargai keberagaman.

“Buku ini merupakan buku yang sederhana. Meskipun bukunya sederhana tapi isinya daging semua, bahkan wagyu. Beliau sudah menulis TAP MPR dst. Yang saya rasa sudah maju di jaman itu” Pungkas beliau.

Pembicara kedua, Kandi Suwinto melengkapi paparan Haidar dengan mengatakan bahwa buku ini tidak menggambarkan Gus Dur secara utuh. Buku ini bukan untuk pembaca Gus Dur for beginner atau untuk pemula.

Mbak Kandi, sapaan akrabnya, mengatakan demokrasi bagi Gus Dur tidak pernah selesai untuk dibahas. Bahasa yang Gus Dur gunakan dalam buku ini juga relatif sederhana bagi Gus Dur yang level intelektualitasnya sangat tinggi.

“Sepertinya Gus Dur berusaha keras sekali menempatkan dirinya dalam posisi kita,” ungkap Kandi yang diucapkan dengan tawa. “Gus Dur adalah orang yang berani menelanjangi Islam,” lanjutnya. Dirinya dengan gamblang melontarkan pertanyaan kepada forum, apakah orang Islam sudah berani berdemokrasi? Yang diikuti oleh anggukan kepala para peserta.

Antusiasme para hadirin jelas terlihat saat sesi tanya jawab. Karena keterbatasan waktu, moderator mempersilakan tiga orang saja untuk bertanya. Pertanyaan pertama disampaikan oleh Keisya Sofia yang merupakan kader GMKI Surabaya. Dia bertanya bagaimana orang-orang yang tidak memegang sistem untuk menyikapi UUD yang kontroversial untuk memperluas demokrasi?

Pertanyaan kedua disampaikan oleh Oscar, mahasiswa UNAIR sekaligus anak GMKI Surabaya. Dia menanyakan narasi Gus Dur yang selalu dibawa tentang agama dan demokrasi, apa Gus Dur memang berpikir agama harus dijauhkan dari demokrasi?

“Setahu saya Islam kan ada yang pragmatis dan liberal. Gus Dur ini selalu diindikasikan dengan yang liberal,” ujarnya.

Pertanyaan yang terakhir disampaikan oleh Harun Rasyid, penggerak senior Gerdu Suroboyo. Bagaimana caranya mempribumisasikan demokrasi sebagaimana Gus Dur mempribumisasikan Islam?

Diskusi pun berlanjut dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh narasumber. Pemberian cinderamata kepada dua narasumber dan foto bersama mengakhiri acara diskusi ini. 

Penggerak Gerdu Suroboyo/Komunitas GUSDURian Surabaya, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *