YOGYAKARTA – Jaringan GUSDURian bersama AMAN Indonesia dan The Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA) mengadakan pertemuan “National Knowledge & Learning Forum” di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta pada Sabtu, 5 Oktober 2024.
Pertemuan ini bertujuan untuk berbagi cerita-cerita advokasi terkait Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga dalam konsorsium JISRA. Di antara lembaga-lembaga yang hadir adalah Peace Generation, DIAN/Interfidei, Eco Bhinneka, Fatayat NU Jawa Barat, Institut Mosintuwu, Fahmina Institute, AMAN Indonesia, dan komunitas GUSDURian dari berbagai daerah. Perwakilan komunitas GUSDURian yang hadir antara lain dari Mamasa, Tasikmalaya, Kediri, Pasuruan, Jakarta, Yogyakarta, dan Kebumen.
Acara dibuka oleh sambutan dari Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian Jay Akhmad dan Sekretaris Eksekutif UNU Yogyakarta Suharti. Dalam sambutannya, Jay mengungkapkan bahwa pertemuan ini penting karena kerja-kerja advokasi perlu diceritakan agar menjadi inspirasi bagi lembaga atau gerakan lain.
“Ada sekitar 130 komunitas di GUSDURian. Sering kali kami tidak menuliskan proses dan hasil advokasi yang dilakukan oleh teman-teman komunitas karena terlalu ikhlas. Maka dari itu, forum seperti ini penting diadakan untuk saling berbagi dan saling memberi inspirasi,” papar Jay.
Sementara itu, Suharti menyambut para peserta yang hadir dengan tangan terbuka. Dirinya juga berharap acara ini dapat berjalan dengan lancar dan memberi manfaat bagi banyak orang ke depannya.
“Semoga acara ini bermanfaat bagi banyak orang dan apa yang kita lakukan mendapatkan berkah,” papar Harti.
National Knowledge & Learning Forum dibagi menjadi tiga sesi, yaitu pleno satu yang membahas penguatan toleransi, inklusivitas, dan resiliensi orang muda; pleno kedua membahas agensi & gerakan perempuan dalam resolusi konflik dan perdamaian; serta pleno ketiga membahas institusionalisasi agenda KBB yang inklusif pada organisasi pemerintah dan komunitas keagamaan.
Dalam prosesnya, para peserta mempresentasikan kerja-kerja advokasi yang telah dilakukan di hadapan forum. Terdapat 16 presenter yang membawakan topik yang hampir semuanya berbeda. Di antara topik advokasi yang dipresentasikan meliputi pendampingan anak muda dalam dialog lintas iman, pencegahan narasi ekstremisme di SMA, pemberdayaan perempuan dalam menjaga perdamaian, hingga pendampingan kelompok marjinal melalui pendidikan dan gerakan sosial.
Fransiskus Sardi, salah satu peserta yang membawakan topik “Jalan-Jalan Toleransi” menyampaikan kondisi eksklusivisme hingga intoleransi yang terjadi di Yogyakarta dan bertolak belakang dari citranya sebagai kota berhati nyaman.
“Berangkat dari itu, kami GUSDURian Yogyakarta bergerak untuk mengajak anak-anak muda lintas iman untuk saling berdialog dan berkunjung ke berbagai rumah ibadah sebagai upaya pencegahan intoleransi,” tuturnya.
Sejalan dengan itu, Staf Divisi Jaringan dan Advokasi Jaringan GUSDURian Suraji Sukamzawi mengomentari penulisan kerja advokasi yang menarik biasanya tidak hanya menceritakan cerita indah saja. Menurutnya, saat melakukan pendampingan pasti menemukan kesulitan-kesulitan atau tantangan.
“Itu (tantangan) juga perlu disampaikan. Misalnya, peserta jalan-jalan toleransi dari kalangan santri yang sulit mendapat izin dari pesantrennya untuk berkunjung ke rumah ibadah agama lain,” papar Suraji.
Pada kesempatan lain, peserta dari Fatayat Jawa Barat Neng Hannah menceritakan upaya lembaganya dalam menghadapi konservatisme di Jawa Barat, terutama di dua kota dampingannya, yaitu Garut dan Tasikmalaya. Dirinya bersama Fatayat Jawa Barat melatih para pendakwah perempuan untuk mencegah menguatnya intoleransi di Jawa Barat.
“Kita melakukan berbagai strategi, di antaranya intra-religious, inter-religious, hingga ekstra-religious. Jadi tidak hanya bekerja di wilayah kelompok agama saja, tapi kami berkomunikasi dengan pihak pemerintah juga,” papar Hannah.
Dari AMAN Indonesia, Ghufron Masudi menyampaikan hasil advokasi lembaganya dalam isu KBB. Ia bercerita tentang cara-cara dialog sebagai salah satu alat yang digunakan AMAN Indonesia dalam upaya resolusi konflik.
“Salah satu kesuksesan dialog ini adalah mereka mau datang. Bayangin mereka, perempuan Ahmadiyah berdialog dengan perempuan Kristen yang gerejanya disegel. Biasanya kami butuh tiga bulan mempersiapkannya sebelum dilakukan dialog,” terang Ghufron.
Acara ini dihadiri oleh sekitar 30 peserta dari berbagai lembaga dan latar belakang identitas.