“Kami bukan pahlawan. Kami telah membunuh, membakar, merusak, tangan kami penuh darah. Yang pantas disebut pahlawan adalah rakyat yang terjajah dan teraniaya. Maka jangan mengelu-elukan saya, lebih baik perhatikan anak-anak muda ini, yang bisa berguna nantinya.“
Pidato singkat itulah yang mengubah jalan hidup Mangunwijaya selamanya. Kalimat itu diutarakan oleh Mayor Isman, atasan Mangunwijaya belia saat ia bergabung sebagai anggota Tentara Pelajar di masa perang kemerdekaan Indonesia.
Kala dielu-elukan oleh rakyat, Mayor Isman menolak disebut pahlawan. Baginya, justru rakyat itulah yang pahlawan. Tentara selalu bisa bersembunyi dan berpindah dari desa ke desa selama perang gerilya. Sebaliknya, rakyat tidak bisa pergi ke mana-mana. Kala penjajah gagal menangkap tentara Indonesia, maka rakyat biasa yang harus menanggung aniaya.
Sejak itu, Mangunwijaya muda memantapkan tekadnya untuk membalas budi kepada rakyat. Demi para pahlawan sesungguhnya yang hidupnya “terjajah dan teraniaya”.
Pastor Versatile
Y.B. Mangunwijaya atau yang biasa dikenal sebagai Romo Mangun bisa dikatakan sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia modern. Belum tentu dalam 100 tahun sekali Gereja Katolik Indonesia bisa melahirkan figur yang sekomplet Romo Mangun.
Sebagai pastor, memang ia “hanya” menyandang status selaku imam diosesan di Keuskupan Agung Semarang. Ia tidak pernah menduduki takhta uskup, alih-alih sampai diangkat sebagai kardinal.
Namun, ia sekaligus bukan imam diosesan biasa. Ketokohannya bahkan sudah melampaui tembok-tembok gereja. Meminjam istilah sepakbola, Romo Mangun adalah sosok pastor versatile. Pastor yang serba bisa.
Dalam dunia sepakbola hari ini, pemain versatile kerap menjadi pemain kunci bagi banyak pelatih. Kemampuan memainkan peran di berbagai posisi membuat pelatih dapat mempercayai pemain versatile dalam berbagai situasi.
Begitu pula Romo Mangun. Setidaknya, ada empat bidang kemahiran lain yang ia kuasai selain “profesi” utamanya sebagai seorang pastor. Romo Mangun juga adalah seorang arsitek, sastrawan, pendidik, dan aktivis sosial-politik.
Sebagai arsitek dan sastrawan, ia adalah sosok ksatria pilih tandhing. Namanya masyhur sebagai arsitek sekaligus sastrawan legendaris Indonesia. Dalam dua bidang yang seakan-akan bertolak belakang itu, ia terbilang sukses melahirkan banyak mahakarya sekaligus menyabet sejumlah penghargaan internasional.
Sebagai pendidik, ia memegang teguh kredo bahwa pendidikan adalah jalan untuk memanusiakan manusia. Posisinya selama tiga belas tahun sebagai dosen arsitektur UGM ia lepaskan begitu saja, ketika ia melihat pendidikan di kampus kian hari kian mencetak manusia sebagai robot-robot industri. Bukan lagi ejawantah pendidikan yang memanusiakan manusia.
Namun, bukan berarti Romo Mangun menyerah. Ia hanya bergeser untuk melakukan “eksperimen” pada tingkat yang lebih mendasar. Ia menciptakan Dinamika Edukasi Dasar, sebagai ikhtiar membenahi dunia pendidikan Indonesia sedari tingkat yang paling fundamental.
Pahlawan Rakyat Teraniaya
Namun dari semuanya itu, saya pikir nama Romo Mangun akan selamanya termahsyur karena kerja-kerjanya di bidang sosial-politik. Ia adalah sosok yang begitu peka dengan kehidupan rakyat yang penuh derita.
Semua bidang keahliannya yang lain, bahkan termasuk jabatan imamat yang ia sandang seumur hidup, hanyalah jembatan yang dia pakai demi bisa memperjuangkan keadilan bagi rakyat yang teraniaya.
Tentu saja sebagai imam Katolik, Romo Mangun tidak bisa dan tidak berminat terlibat dalam politik praktis. Akan tetapi, ia bisa dibilang tidak pernah terlepas dari aktivitas politik kemanusiaan.
Saat masih menjadi anggota Tentara Pelajar, Romo Mangun pernah menjadi sopir dan pengantar makanan bagi Mayor Suharto, yang kelak menjadi Presiden Indonesia. Namun demikian, ketika rakyat kecil digusur paksa demi pembangunan Waduk Kedung Ombo, ia membela mereka dan bersedia pasang badan sebagai garda depan perlawanan terhadap rezim Presiden Suharto.
Totalitas perjuangannya saat menggagalkan penggusuran Kampung Code, area pemukiman kumuh di bantaran Sungai Code, juga telah menjadi legenda urban turun-temurun bagi masyarakat Yogyakarta.
Kala dirinya tengah berjuang untuk Kampung Code, Romo Mangun sampai meminta izin dari Uskup Agung Semarang untuk tidak lagi tinggal di pastoran gereja. Ia lebih memilih membangun gubuk dan tinggal bersama dengan warga di Kampung Code.
Romo Mangun tahu persis jika ia menetap di Code, pemerintah akan merasa enggan untuk melakukan penggusuran secara semena-mena. Privilese yang ia punya sebagai seorang pastor benar-benar ia manfaatkan sebaik-baiknya guna mempengaruhi berbagai pihak untuk mendukung apa yang diperjuangkannya.
Hebatnya, Romo Mangun tidak asal melawan. Penghargaan Aga Khan Awards yang ia dapatkan atas karyanya menata pemukiman di Kampung Code menjadi caranya untuk “menampar” pemerintah. Ia membuktikan bahwa rakyat kecil justru bisa menjadi sosok sentral dalam upaya penataan kota.
Dalam hal demikian, kerja-kerja Romo Mangun di bidang sosial dan politik merupakan bentuk perjuangannya untuk mengangkat martabat rakyat yang teraniaya.
Teladan Bangsa dan Gereja
Hingga akhir hayatnya, Romo Mangun secara bersungguh-sungguh telah memenuhi pesan komandannya di masa remaja. Ia telah membalas budi secara tuntas kepada orang-orang biasa dan mereka yang teraniaya, pahlawan Indonesia yang sesungguhnya.
Namun sebaliknya pula, bagi orang-orang kecil, apa yang dilakukan Romo Mangun tentunya jauh dari sebatas tindakan balas budi. Buah karya, sumbangan pemikiran, dan terutama integritas serta keberpihakannya, telah melambungkan namanya hingga mencapai tingkat yang memang sudah selayaknya diganjar dengan gelar pahlawan nasional oleh negara.
Sudah tentu, gelar seperti itu bukanlah sesuatu yang ia kejar maupun idam-idamkan semasa hidupnya. Akan tetapi, kepahlawanan Romo Mangun adalah teladan yang hari ini sangat dibutuhkan untuk bangsa dan Gereja.
Romo Mangun berhasil menunjukkan jika kepedulian dan keberpihakan kepada orang kecil semestinya tidak sebatas pernyataan dan kata-kata. Keberpihakan itu haruslah mewujud dalam sebuah aksi yang nyata.
Jika dalam istilah orang-orang Katolik Jawa, “Seko altar ning latar”. Imam Katolik idealnya harus bisa dan siap sedia turun dari altar (baca: berkhotbah) untuk menuju latar alias halaman (baca: melakukan aksi nyata).
Ia bisa mencontohkan pula bahwa tindakan nyata semestinya dilakukan di saat sekarang juga, dengan berbekal apa pun yang saat ini kita punya. Bukan berupa wacana belaka yang baru akan dilakukan nanti-nanti saat kita merasa sudah memiliki kuasa.
__________________
Tulisan ini pertama kali dimuat di katolikana.com