Tulisan ini berkisah tentang perjalanan sepanjang Jalan Tol. Jangan dibayangkan bahwa Jalan Tol di sini berupa hamparan aspal hitam memanjang. Jalan Tol di sini memang akan mengantarkan manusia dari satu titik menuju titik lain, tetapi titik itu bukanlah suatu lokasi geografis di muka bumi, melainkan titik keberangkatan kehidupan kemanusiaan ke suatu tujuan dengan level yang lebih tinggi. Jangan pula berpikir kalau Jalan Tol ini dibangun dengan modal triliunan rupiah oleh korporasi besar. Jalan Tol ini hanya di bangun oleh sekelompok kecil orang bermodal keinginan untuk hidup damai bersama-sama dalam keberagaman.
Jalan Tol ialah Jalan-jalan Toleransi yang dirintis sekelompok kecil pemuda, dirayakan setiap sepurnama sekali untuk saling tahu tentang lajur-lajur keimanan yang beraneka warna. Jalan Tol merupakan jalur yang menghubungkan dan mempertemukan titik-titik perbedaan lalu menguntainya dalam pertalian yang harmonis.
Sorowajan, sebuah kampung multikultural di Kabupaten Bantul, menjadi satu titik di mana muda-mudi memulai Jalan Tol pada sebuah Minggu pagi di bulan Oktober. Destinasi Jalan Tol kali ini adalah Vihara Vimalakirti di Baciro dan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Timoho, dua tempat yang tak jauh dari Sorowajan. Tidak kurang dari 17 peserta menuju ke destinasi pertama yakni Vihara Vimalakirti.
Vihara Vimalakirti tak ubahnya berbentuk seperti rumah. Di dalamnya, dapat terlihat adanya altar pemujaan dan ornamen kebudayaan Indonesia berupa balok-balok kayu batik cap sebagai penghias ruangan. Rombongan peserta Jalan-jalan Toleransi disambut dua orang yakni Pandita Misdiantoro dan Pandita Sutrisno. Keduanya banyak bercerita mengenai kepercayaan dan ajaran dalam Buddha Mahayana aliran Nichiren Daishonin.
Seorang peserta bertanya, “Mengapa dalam vihara tidak terdapat patung-patung sebagaimana sering ditemukan di tempat ibadah Buddha lainnya?”. Aliran budaya yang ada di Vihara Vimalakirti ini berasal dari Jepang, benda suci yang mereka puja berada dalam kotak peti yang ditaruh di altar. Benda tersebut merupakan selembar kertas yang berisi tulisan menggunakan tinta suci dalam huruf kanji yang ditulis oleh biksu tertinggi di Jepang. Tulisan tersebut pada intinya berisi kepercayaan tentang sebab-akibat. Selembar kertas itulah yang menjadi benda suci tempat para umat Buddha di vihara ini mencurahkan pujaan mereka, bukan pada patung-patung. Demikian papar sang Pandita.
Pandita Misdiantoro mengatakan bahwa aliran Buddha yang ada di vihara ini berbeda dari aliran lain. Jika di aliran lain meditasi dilakukan melalui pertapaan, berdiam diri, dan merenung, bagi mereka meditasi bisa dilakukan kapan saja bersamaan dengan mereka melakukan berbagai aktivitas keseharian. Pertapaan bagi mereka lebih ke pelaksanaan kehidupan sehari-hari. Menjalankan ajaran-ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari juga sudah bisa disebut sebagai pertapaan. Maka dari itu, sebagai pandita, Pak Misdiantoro dan Pak Sutrisno juga masih bisa melakukan profesi mereka di luar kegiatan keagamaan. Lain dengan biksu yang tidak memiliki profesi lain selain mengurus bidang keagamaan dan menjaga ajaran Buddha.
Pandita Misdiantoro berbagi sekelumit tentang ajaran Nichiren Daishonin tentang nafsu. Dia mengatakan, nafsu tidak bisa dihilangkan, tapi tergantung tujuan. Hawa nafsu adalah kesadaran. Manusia menderita karena hawa nafsu. Sifat serakah akan buruk jika digunakan secara egois, akan tetapi sifat serakah bisa ada baiknya jika untuk kemaslahatan banyak orang. Maka dari itu, nafsu perlu diubah menjadi kesadaran. Marah untuk egois itu akan berdampak buruk, tapi kalau marah untuk kebaikan orang itu boleh, agar dia bahagia dan menghindarkan orang lain dari keburukan.
Ketika matahari mulai naik, muda-mudi menuntaskan perbincangan di vihara lalu melanjutkan perjalanan toleransi ke Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Sesampainya di sana banyak umat Kristiani telah memadati gereja untuk melaksanakan ibadah Sabtu mereka. Rombongan Jalan Tol disambut sangat baik di sana. Ketika kami masuk, mereka sedang ada kajian ayat-ayat dari Alkitab. Kemudian kami juga menyaksikan ibadah mereka yang berisi nyanyian, doa-doa, khutbah serta penyerahan sepersepuluhan.
Usai menyaksikan rangkaian ibadah itu, para pejalan toleransi dijamu makan siang yang sudah disajikan berderet-deret di ruangan lain. Pada kami, Pak Pendeta banyak berkisah dan bertukar cerita. Pak Pendeta mengatakan bahwa Gereja Advent ini berbeda dengan gereja-gereja lain. Pengikut Gereja Advent beribadah pada hari Sabtu bukan hari Minggu. Sejak Jumat sore (yang menurut Kristen sudah terhitung masuk hari Sabtu) mereka menggunakan waktu hanya dengan agenda-agenda peribadatan, bukan untuk aktivitas sehari-hari lainnya semisal bekerja, berdagang, dan lain sebagainya. Sebagian jemaat gereja ini memang sering mengalami kendala ketika di hari Sabtu masih memiliki tanggung jawab profesi dan lain-lain. Akan tetapi, jika mereka sudah memiliki niat yang kuat untuk melaksanakan peribadatan Sabtu, maka hal itu akan teratasi, kata Sang Pendeta.
Dalam peribadatan Sabtu tersebut, penyerahan persepuluhan menjadi sesi khusus ketika para jemaat bergiliran memasukkan amplop-amplop ke dalam kantong. Musik gereja mengiringi prosesi ini. Sepersepuluhan sendiri merupakan sedekah yang ketentuannya bersumber langsung dari Alkitab. Uang yang terkumpul dari sedekah sepersepuluhan itu akan diserahkan ke pusat Gereja Advent yang ada di Amerika yang kemudian akan digunakan untuk membalas jasa para pendeta. Gereja Masehi Advent pertama di Indonesia ada di Padang yang dibawa dari Eropa. Sedangkan Gereja Advent di Jogja awalnya ada di Malioboro. Sejak area gereja di Malioboro tersebut di bangun mall, mereka dapat pesangon dan membeli tanah di Timoho untuk dibangun gereja yang kami kunjungi ini.
Demikian sekelumit catatan perjalanan toleransi kami, Komunitas GUSDURian Jogja bersama para pejalan toleransi dari berbagai latar belakang, dalam menyambung persaudaraan dengan kelompok lintas iman. Kami mengharapkan langkah-langkah kami dalam perjalanan toleransi ini akan berkembang di masa depan dan meruntuhkan tembok-tembok pembatas yang menjadikan komunitas lintas iman merasa asing satu sama lain.