Di media sosial, postingan-postingan dari akun dalam dan luar negeri banyak mengabarkan soal digulingkannya Bashar Al-Assad di Suriah belakangan ini. Tumbangnya kekuasaan Presiden Assad ini membawa kebahagiaan bagi penduduk Suriah di mana pun berada.
Selebrasi atas kekalahan Assad di negara yang dipimpinnya sendiri menyeruak di seantero dunia, sebutlah di Turki, Inggris, Swedia, Perancis, Belanda, Jerman, Amerika dan lain-lain. Pesta pora diikuti tua-muda, laki-laki dan perempuan, yang Suriah maupun yang hanya sekedar menaruh simpati pada Suriah; semua meramaikan jalanan seolah mereka baru menang dalam medan pertempuran yang dahsyat.
Media Austria Zeit im Bild turut membagikan momen ketika diaspora Suriah dan para simpatisan berkumpul di pusat Kota Wina untuk melakukan demonstrasi merayakan jatuhnya Assad. Di depan gedung parlemen Kota Wina, ribuan bendera bintang tiga Suriah (tanda perlawanan bagi rezim Assad) berkibar.
Melihat perayaan masif di berbagai negara itu membuatku terbayang betapa hebatnya perayaan seluruh warga dunia jika nanti akhirnya perang Israel-Palestina benar-benar selesai atau keduanya sepakat berdamai. Bukan hanya warga yang berkonflik yang akan merasakan kelegaan luar biasa, aku yakin aktivis pro-Palestina di setiap inci bumi akan menangis bahagia, melihat apa yang selama ini mereka cita-citakan akhirnya menjadi kenyataan.
Berita-berita tentang Suriah mengingatkanku pada pertemuan dengan seorang Suriah kira-kira setahun yang lalu. Dia kabur mencari suaka ke Austria sebab kecamuk konflik di negaranya. Ibu dan saudara-saudara kandungnya ia tinggalkan demi mencari keamanan dan penghidupan yang lebih baik. Padaku ia bercerita, ayahnya entah di mana, tidak tahu apakah masih hidup atau sudah gugur dalam perang saudara. Di Wina ia tinggal bersama kakaknya yang sudah datang lebih awal.
Saat diajak ke apartemennya, aku melihat di ruang tengah dengan penuh kebanggaan ia memajang bendera bangsanya, hijau-putih-hitam dengan tiga bintang merah berjajar garis putih. Ya, bendera itulah yang mungkin jauh-jauh ia bawa melintasi benua. Hebat, meski negerinya kacau balau sampai mengusirnya ke negeri yang jauh, nasionalismenya masih membara.
Mungkin 8 Desember kemarin menjadi momen penting untuk menurunkan bendera itu dari dindingnya. Keluar dari apartemennya, menaiki S-Bahn maupun U-Bahn menuju pusat kota demi turut bersorak sorai bersama lebih dari 30.000 orang kerumunan. Dengan gagah ia melambaikan bendera itu sambil ramai-ramai berteriak “Free Syria!” semata untuk merayakan runtuhnya kekuasaan keluarga Assad yang telah berkuasa lebih dari setengah abad.
Tiga puluh ribu, kedengarannya banyak. Selain jumlah itu juga termasuk simpatisan dan para wartawan, aslinya warga Suriah yang turut memadati populasi Wina selama ini juga tidak bisa dibilang sedikit. Data di website resmi Kota Wina menyebutkan, dari sekitar 2 juta warga Wina, 40 ribu di antaranya memiliki latar belakang kebangsaan Suriah.
Wina merupakan kota yang mendapatkan sangat banyak pendatang asing dari berbagai negara. Tercatat per Januari 2024, sejumlah 35,4% penduduk Wina memiliki akar kewarganegaraan asing. Keberadaan mereka hampir mewakili setiap benua, menjadikan Wina sebagai kota yang sangat multikultural.
Ngomong-ngomong soal multikultural di Wina, ini tentu memiliki sisi positif dan sisi negatif. Tapi membahas sisi negatifnya sepertinya lebih menarik. Ya, kondisi multikultural Kota Wina menjadi tantangan tersendiri bagi berbagai pihak dan dalam berbagai bidang.
Aku ingin melihatnya dari sisi sosial. Banyaknya diaspora yang memadati Wina berimplikasi pada permasalahan serius terkait kebencian antarkelompok. Ilmuwan-ilmuwan sosial punya sangat banyak nama untuk mendefinisikan keadaan ini. Sebut saja islamofobia untuk kebencian pada kelompok Muslim, anti-semit untuk kebencian terhadap kelompok Yahudi, rasisme untuk diskriminasi berdasar ras/warna kulit, xenofobia untuk kebencian terhadap orang dari negara asing dan masih banyak istilah anti-anti yang lain.
Sebenarnya, istilah-istilah itu pada ujungnya didedikasikan untuk mengungkapkan sikap yang tidak suka, tidak mau berkawan serta permusuhan terhadap orang-orang yang “dianggap” tidak sama dengan dirinya atau tidak sama dengan kelompoknya sendiri. Umumnya kebencian ini juga ditopang stigma dan stereotipe tak berdasar yang ditujukan pada orang/kelompok yang tidak disukai.
Sikap-sikap semacam itu sangat kentara baik di kehidupan nyata warga Wina maupun yang diekspresikan lewat media digital. Misalnya saja dalam pemberitaan demonstrasi tanggal 8 Desember lalu, mudah sekali untuk menemukan ungkapan-ungkapan pedas di kolom komentar yang dilayangkan untuk orang-orang Suriah.
Ada yang berkomentar, setelah konflik di Suriah selesai, sebaiknya para diaspora ini kembali ke negaranya. Komentarnya cukup halus tapi pesannya sebenarnya jelas: “Hai orang-orang Suriah, pergi kau dari Wina, kami tidak menginginkanmu di sini,” seperti itu kira-kira. Komentar lain mengatakan, “Nun können alle wieder zurück” (sekarang semua orang boleh pulang), orang-orang Suriah digiring untuk keluar dari Wina.
Andai saja sahut menyahut komentar itu terjadi dunia nyata, maka itu bisa terlihat seperti debat kusir yang suasananya bisa sepanas konflik Suriah sebelum Assad tumbang. Itu hanya sekelumit dari banyaknya ungkapan-ungkapan xenofobik terhadap warga Suriah Wina di momen ini.
Sebelum jauh membahas mengenai masalah kebencian ini, hal menarik lain datang dari pemerintah Austria. Rupa-rupanya respons “memulangkan Suriah” tak hanya datang dari akar rumput. Reaksi pemerintah Austria juga cukup senada dengan netizen yang menginginkan orang-orang Suriah pergi. Kanselir Austria Karl Nehammer telah memerintahkan menteri dalam negeri untuk menangguhkan semua permohonan suaka yang sedang berlangsung dari warga Suriah untuk sementara waktu. Selain itu, ia juga tengah menyiapkan program repatriasi dan deportasi warga Suriah. Menarik!
Oke, balik lagi ke masalah kebencian. Dalam gambaran yang lebih besar kebencian atas dasar perbedaan ras, agama, warna kulit, kebangsaan dan sebagainya, yang terjadi di Wina berhasil melahirkan sangat banyak kelompok rentan. Rasisme dan diskriminasi terjadi di jalan-jalan, di lingkungan rumah, di tempat-tempat hiburan, di sekolah, di lingkaran pergaulan, di tempat kerja; pokoknya di mana-mana. Pelakunya dari tingkat individu hingga diskriminasi struktural melalui kebijakan pemerintah yang menguntungkan suatu kelompok namun merugikan kelompok-kelompok lain.
Pernah suatu kali aku berbincang dengan seorang perawat muslimah cum hafidzah asal Somalia. Dia bercerita rekan kerjanya mengejek sebab ia mengenakan hijab, “Kenapa kamu menutup kepalamu, apakah rambutmu jelek?”. Seorang ibu asal Indonesia yang sudah bertahun-tahun di Wina juga bilang, “Dulu orang meludah di depan kita itu sangat biasa”. Seorang pemuda Muslim Bosnia juga diejek kawannya lantaran ia bekerja di industri sertifikasi produk halal.
Teror kaki babi yang ditaruh di pintu masjid. Pamflet kampanye politik anti-Islam. Vandalisme. Pelarangan orang kulit hitam mengakses klub malam. Pelamar kerja yang ditolak atau karyawan dipecat hanya karena pakai hijab. Serbuan dan intimidasi di pagi buta oleh gerombolan polisi terhadap para muslim, peristiwa ini terkenal dengan nama Operation Luxor. Migran dan kulit hitam yang sulit mendapatkan tempat tinggal dengan harga rata-rata, dan lain-lain. Fenomena rasisme ini sangat sistemik dan mendarah daging dalam masyarakat.
Tidak mengherankan jika di Wina menjadi basis bagi banyaknya organisasi non-pemerintah (NGO) anti-rasis, organisasi migran dan organisasi-organisasi serupa yang memperjuangkan kesetaraan hak bagi setiap orang apapun agamanya, asal negaranya, warna kulitnya, sukunya dan jenis-jenis identitas lainnya.
Ini memang persoalan pelik yang terus bereproduksi mengikuti perkembangan isu di masyarakat dan di dunia. Tidak heran kalau penyelesaiannya pun tak kunjung tuntas. Sekalipun sekian teori-teori sosial telah terperas dari pikiran cendikia-cendikia cerdas dan kerja keras organisasi-organisasi sosial dalam merespon problem rasisme ini selama berpuluh-puluh tahun, solusi final masih belum ditemukan.