15 Tahun Gus Dur Berpulang, Apa yang Kita Punya Sekarang?

Saya sedang membaca buku biografi Gus Dur tulisan Greg Barton. Beberapa ‘fakta baru’ saya dapatkan dalam buku itu, seperti fakta bahwa Gus Dur pernah menjadi anggota MPR, bahwa kedekatannya dengan Jenderal Benny Moerdani bukanlah persahabatan melainkan hanya karena saling menguntungkan, atau bahwa Gus Dur pernah bermalam beberapa kali di sel tahanan karena aktivismenya yang membuat Soeharto gusar.

Sedangkan sebagian besar fakta lain tentang Gus Dur sudah saya dapatkan sebelumnya dari cerita para murid, sahabat, dan keluarga Gus Dur (juga buku-buku). Akses tersebut saya dapat sejak saya mulai mendalami pemikiran Gus Dur lewat Jaringan GUSDURian pada 2013 lalu. Dari proses pendalaman itu, saya dapat menyimpulkan bahwa Gus Dur adalah sosok yang dicintai banyak orang karena hidupnya yang bersahaja dan upayanya yang gigih memperjuangkan hak-hak orang lain.

Makamnya, yang bertuliskan “Di Sini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan” di nisannya itu, tak pernah sepi peziarah, bahkan saat pandemi sekali pun. Setiap tahunnya, masyarakat juga selalu memperingati hari kematiannya (dalam tradisi Islam biasa disebut haul) untuk mengenang dan merefleksikan perjuangannya semasa hidup. Saya menghadiri peringatan haul Gus Dur ke-15 beberapa hari lalu, di kediamannya di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Peringatan haul tersebut menjadi tanda bahwa Gus Dur telah meninggalkan kita sepanjang 15 tahun terakhir. Berbagai peristiwa terjadi di masa-masa itu. Setelah ‘kepulangan’ Gus Dur pada 30 Desember 2009 lalu, sebagian orang tak lagi punya tempat mengadu. Mengadu jika hak beribadahnya dirampas gerombolan pandir mabuk agama, mengadu jika hak kewargaannya tidak dipenuhi negara, atau mengadu jika ‘preman’ menggebuknya karena menolak menjual tanah pada perusahaan. Banyak orang merasa kehilangan sosok guru bangsa satu ini. Sosok yang selalu bersedia mendengarkan siapa pun dan membantu orang-orang yang tak dikenalnya sama sekali.

Lalu, setelah 15 tahun kepulangan Gus Dur, apa yang kita punya sekarang?

Setelah kepulangannya, kita masih punya banyak sekali tantangan. Sekarang, kita punya demokrasi yang sekarat. Demokrasi yang dulu diperjuangkan Gus Dur (salah satunya) lewat Forum Demokrasi. Selama dua periode kepemimpinan Jokowi, demokrasi Indonesia berada di titik nadir sejak pasca-runtuhnya Orde Baru. Mulai dari adanya upaya memperpanjang jabatan menjadi tiga periode, represi pada kebebasan sipil, hingga pelemahan lembaga-lembaga pengontrol eksekutif. Banyak akademisi dan pengamat, baik dalam dan luar negeri, sepakat dengan tesis tersebut (bisa dilihat di buku Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi? yang dirilis Public Virtue and Kurawal Foundation).

Kita juga masih punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi KPK yang dulu diinisiasi Gus Dur, ditandatangani Megawati, dan mulai dilaksanakan di era Susilo Bambang Yudhoyono, hari ini berakhir dikebiri. KPK kini berada di bawah ketiak eksekutif, bukan lagi lembaga independen yang ditakuti para koruptor. Para anggota KPK yang berintegritas disingkirkan oleh deretan pertanyaan konyol tentang kebangsaan. Jokowi memilih Firli Bahuri, purnawirawan polisi yang mempunyai riwayat etik buruk, sebagai pemimpin lembaga antirasuah itu. Alhasil, kita telah menyaksikan komedi paling lucu di dunia demokrasi: kepala lembaga antikorupsi memeras menteri dan menjadi tersangka korupsi.

Selain itu, kita punya Dwifungsi ABRI yang perlahan kembali. Militer ke luar dari barak lagi, polisi ke luar dari kantornya. Beberapa wacana kebijakan yang mengarah ke sana mulai diusulkan dan dipertimbangkan. Bahkan, sebenarnya hal ini sudah mulai dijalankan sejak beberapa tahun lalu. Kekuatan bersenjata semakin leluasa memasuki ranah sipil dengan alasan yang bisa diciptakan pemerintah (darurat ini, darurat itu).

Belum lagi, penyelesaian masalah dengan kekerasan yang mereka lakukan. Entah itu dalam penanganan daerah konflik seperti Papua, konflik perebutan lahan antara petani dengan perusahaan, hingga extra judicial killing seperti yang terakhir menimpa Gamma di Semarang. Rasanya, hak asasi manusia seperti barang yang mudah dikesampingkan hari-hari ini.

Padahal dua hal tersebut, dwifungsi ABRI dan pelanggaran HAM yang masif, merupakan dua hal yang susah payah dihapus Gus Dur saat dirinya menjabat sebagai presiden. Gus Dur mencabut dwifungsi, memisahkan TNI dan Polri, dan melepaskan peran sosial-politik para tentara (yang kala itu punya kuasa sangat kuat) di ranah sipil. Gus Dur juga menarik para tentara dari operasinya di Aceh dan Papua, serta mengedepankan dialog dengan masyarakat di sana. Dalam bukunya, Greg beberapa kali menyebut bahwa Gus Dur sangat membenci kekerasan.

Di sisi lain, setelah 15 tahun kepulangannya, kita juga masih punya Kementerian Sosial yang dulu sempat dibubarkan Gus Dur dengan alasan menjadi sarang koruptor. Tak jauh beda seperti yang diprediksi Gus Dur, kementerian ini masih berkutat dengan kasus korupsi, seperti yang dilakukan Juliari Batubara saat mengemplang bantuan untuk masyarakat yang terdampak pandemi kemarin.

Kita juga masih punya ormas-ormas intoleran. Ormas yang suka membubarkan ritual ibadah keagamaan dan mempersekusi penganut agama yang tidak sejalan, seperti yang dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) saat melakukan kegiatan Jalsah Salanah di Kuningan, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Ironisnya, alih-alih pemerintah memberi dukungan pelaksanaan karena hal tersebut dijamin konstitusi, mereka malah melarang pelaksanaannya dengan alasan ketertiban umum. Ini aneh sekali, mengingat cara berpikir seperti ini yang seharusnya perlu ditertibkan.

Dan ya, setelah 15 tahun kepulangan Gus Dur, kita punya presiden baru. Sosok yang dulu selalu dituntut publik agar diadili karena pelanggaran HAM berat yang dilakukannya, barangkali kini fotonya sudah terpampang di kantor Komnas HAM sebagai orang nomor satu republik. Kita juga punya wakil presiden baru, anak dari presiden sebelumnya, yang lolos karena mengakali konstitusi dan dukungan nepotisme yang kuat. Suka tidak suka, memang inilah yang kita punya sekarang.

Semua yang kita punya ini mungkin menyedihkan. Semua yang kita punya sekarang mungkin juga menjadi masalah di era Gus Dur dulu. Apa yang dulu dikatakan Gus Dur, bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi, juga masih terjadi hari ini. Setelah 15 tahun Gus Dur berpulang, ternyata kita masih punya pekerjaan rumah yang cukup banyak.

Gus Dur memang telah tiada. Tapi sang negarawan yang pemberani itu telah mewariskan nilai-nilai dan teladan yang cukup untuk kita. Setidaknya itu pula yang kita punya sekarang. Tugas kita tinggal melanjutkan. Kita juga masih punya teman-teman yang peduli pada masa depan negara ini, pada hak-hak orang lain yang dirampas, juga pada segala sesuatu yang dilakukan para pengambil kebijakan yang sering kali sembrono dan lacur. Entah besar atau kecil, kita masih punya harapan.

Esais. Tinggal di Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *