Tulisan Zaim: Jembatan Menghidupkan Kembali Gus Dur

Tahun baru sangat identik dengan resolusi. Saya tidak tahu siapa yang pertama kali menghembuskan narasi itu. Bagi saya, tahun baru hanyalah perubahan kalender sebagai penanda waktu yang terus berjalan, dan ternyata kita makin tua saja.

Tapi menarik juga ide itu. Saya sendiri punya niatan untuk menuangkannya dengan menulis kejadian terdekat, yang saya alami. Untuk sekadar menolak lupa. “Oh ternyata saya sudah pernah melewati kejadian atau fase ini, tho.” Berbagi pengalaman dan bacaan.

Saya memulai dengan menulis Gus Dur. Sudah lama sekali saya tidak menulis tentangnya. Tiga hari yang lalu, tepatnya tanggal 30 Desember 2024, saya diundang oleh teman saya untuk menjadi salah satu pemantik diskusi bedah buku “Membaca Gus Dur: Sebuah Catatan Reflektif”. Acara itu sekaligus memperingati haul Gus Dur yang ke-15.

Ada 25 tulisan dalam buku yang ditulis oleh Zaim Ahya ini. Menariknya, tulisan dalam buku Membaca Gus Dur pernah dimuat oleh berbagai media keislaman, seperti alif.id, islami.co, dan NU Online.

Kesimpulan dari diskusi pada malam itu, bahwa buku Membaca Gus Dur ini bisa menjadi jembatan untuk memahami pikiran dan keteladanan Gus Dur. Terutama dari kalangan santri.

Zaim punya latar belakang santri. Bertahun-tahun menimba ilmu di pesantren, bahkan sampai hari ini ia mengabdikan dirinya di pesantren. Mengajar dan mendidik para santri. Ketika buku itu diterbitkan (walaupun belum dicetak banyak), ia sudah memberikan inspirasi bagi para santri, bahwa literasi itu penting. Membaca dan menulis harus dilakukan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Gus Dur.

Gus Dur, selain rekam jejaknya di berbagai aktivitas, dari politik hingga organisasi kemasyarakatan (bener-bener ngurusi wong-wong cilik), dan kemudian diperbincangkan oleh banyak orang, ya karena Gus Dur menulis. Tulisannya lalu menjadi bahan diskusi, bahan tulisan, dan penelitian ilmiah—akhirnya jadi hidup kembali.

Pernyataan klise: menulislah maka engkau akan abadi, ada benarnya juga untuk konteks Gus Dur.

Membaca Gus Dur

Sebelum diskusi dimulai, saya berbincang-bincang dengan peserta yang setelah saya tanya-tanya, ia kelahiran 1999 dan 2000. Ketika Gus Dur wafat, ia masih SD. Tidak banyak pengetahuan tentang Gus Dur kecuali dari potongan-potongan video dan quote-quote Gus Dur yang ada di media sosial.

“Apa yang ada di benakmu tentang Gus Dur saat ini?“ tanyaku penasaran.

“Istimewa,“ jawabnya, setelah berpikir keras mencari-cari jawaban.

“Istimewa yang seperti apa?“ tanyaku lagi.

“Gus Dur itu pandangannya visioner, prediksi-prediksinya jitu, weruh sedurunge winarah,” jawabnya

“Oh oke,” saya menganggukkan kepala.

Setiap orang pasti punya cara pandang tersendiri dalam melihat Gus Dur. Bagi saya, kalau anak-anak generasi sekarang yang tidak mengalami perjumpaan dengan Gus Dur, dari mana ia bisa tahu tentang Gus Dur? Media sosial-lah jawabannya.

Konten-konten medsos sangatlah powerfull. Generasi sekarang sangat dekat dengan itu. Bagaimana kita bisa mengetahui secara holistik pemikiran atau gagasan seseorang yang hanya 15 atau 30 detik, sementara gagasan itu ada konteks yang melatarbelakanginya? Menurut saya itu tantangan kita hari ini.

Nah, buku-buku tentang Gus Dur—baik tulisan langsung dari Gus Dur maupun tulisan reflektif seperti yang Zaim Ahya terbitkan ini—bisa menjadi pemantik diskusi yang efektif. Setiap tahunnya, setahu saya, pasti ada buku baru tentang Gus Dur.

Beberapa hari yang lalu saya mendapati postingan dari Mas Hairus Salim, penerbit Gading mau membukukan tulisan-tulisan Gus Dur yang tersebar di beberapa majalah Islam seperti Kiblat, Panjimas, Wahyu, Amanah, Suara Muhammadiyah dan beberapa majalah lain.Buku-buku seperti ini bisa menjadi jembatan bagi anak-anak generasi sekarang untuk mengenal lebih dalam lagi tentang Gus Dur. Nilai, keteladanan, dan garis perjuangan yang diwariskan. Tidak hanya sekadar meme-quote. Ya, meme mungkin mencuri perhatian, mudah di-share, apalagi yang quotable dengan kondisi Indonesia hari ini. Tetapi ya hanya sebatas itu—ringkas dan mudah terlupakan. Mendiskusikan buku di ruang publik bisa membuka refleksi, apalagi gagasan gagasan besar Gus Dur  tentang cinta dan kemanusiaan yang melampaui zamannya.

Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktivis Jaringan GUSDURian Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *