Di tengah ramainya revisi Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang masuk prolegnas, terlebih setelah adanya Surat Presiden (Surpres) kepada Ketua DPR, setidaknya ada dua RUU yang juga sangat mendesak dan segera butuh pengesahan, yaitu RUU Perampasan Aset dan RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) yang kian tersingkirkan. Dalam tulisan ini, saya akan membahas mengenai RUU PPRT.
Sedari dulu, perjuangan perempuan untuk mendapatkan keadilan memang selalu berliku, ibarat menyusun batu bata satu per satu agar menjadi sebuah bangunan (law & policy) yang kokoh. Bahkan hak untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki, hak untuk memilih dan dipilih, sampai hak untuk mendapatkan upah yang sama dengan pekerja laki-laki saja butuh waktu yang sangat lama dan sejarah yang panjang.
Saat ini para pekerja rumah tangga belum mendapatkan perlindungan hukum yang jelas, itu karena status dan kedudukan mereka sebagai pekerja tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meski berdasarkan Pasal 1, PRT dapat dikategorikan sebagai pekerja atau buruh karena mereka juga bekerja dan mendapatkan upah.
Namun, dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini hanya mengatur mengenai hak dan kewajiban pekerja atau buruh yang terikat dengan perusahaan atau instansi saja. Akibatnya mereka menjadi pekerja yang berada dalam posisi rentan sehingga sering mengalami kekerasan dan eksploitasi. Untuk itu dibutuhkan peraturan yang khusus mengatur mengenai PRT.
Pentingnya payung hukum untuk melindungi PRT sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan dipertegas kembali dalam Pasal 28D ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Itu artinya, bahwa setiap orang yang bekerja berhak mendapatkan perlindungan hukum, perlakuan yang adil serta imbalan yang layak tanpa terkecuali, termasuk PRT.
Meski sebelumnya sudah ada Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, namun hal itu bukan merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Ketenagakerjaan dan malah merupakan turunan dari UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan, jika ditinjau dari hak-hak yang didapatkan PRT yang diatur dalam Permen berbeda dengan hak pekerja yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Dalam Permen tersebut hanya diatur sebatas hak-hak general dan buka hak-hak mendasar seperti halnya diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan seperti pengaturan hubungan kerja, jaminan sosial, jaminan kesehatan, hak untuk cuti dan libur, perlindungan upah, hak pekerja khusus perempuan (seperti cuti haid), dan bahkan perlindungan atas tindakan pemutusan hubungan kerja.
Karena selama ini, PRT tidak mempunyai jam kerja yang jelas bahkan mereka kadang dituntut untuk selalu siap sedia jika sewaktu-waktu sang majikan membutuhkan tenaga mereka. Bahkan di saat hari raya masih banyak PRT yang tetap diminta untuk tidak pulang ke kampung halaman mereka, padahal mereka berhak untuk mendapatkan cuti hari raya dan berkumpul bersama keluarga.
Bahkan, tetangga saya yang juga seorang PRT ketika izin cuti pulang ke rumah baru satu hari dan saat jam dua pagi terus dihubungi oleh sang majikan dengan alasan anaknya terus menangis dan ingin bertemu dengan tetangga saya tadi. Hingga dia terpaksa berangkat kembali di pagi buta hanya demi menenangkan anak asuhnya yang terus menangis. Hal ini memberikan gambaran bahwa mereka tidak mempunyai jam kerja yang jelas dan tenaga mereka sering di eksploitasi.
Berbagai kasus kekerasan juga sering dialami oleh PRT terlebih yang menjadi pekerja migran. Bukan sekali dua kali, mereka bahkan ada yang terjerat kasus dengan majikannya hingga dikenai sanksi hukuman mati. Kenapa demikian? Karena tidak adanya perlindungan hukum yang jelas dan tegas hanya karena mereka bekerja di sektor informal. Dan kini nasib RUU PPRT masih dalam status gantung selama 20 tahun.
Mengapa terhadap RUU yang lain bisa selesai dan disahkan hanya dalam waktu 7 jam tapi tidak berlaku untuk RUU PPRT? Padahal anggota dewan perempuan cukup banyak dan ketuanya pun seorang perempuan. Kenapa cara kilat dalam menyusun revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan RUU Pilkada yang hampir saja kecolongan itu tidak berlaku juga terhadap RUU PPRT?
Apakah para politisi yang duduk di senayan itu selama ini hanya diam saja dan melupakan janji-janji manis kampanye mereka yang mengatakan pilihlah calon perempuan karena pasti akan memperjuangkan kepentingan perempuan? Perlu kita akui bersama bahwa segala kebijakan yang diputuskan dalam berbagai sidang paripurna itu tidak datang begitu saja dari ruang hampa, banyak dinamika yang terjadi termasuk konflik kepentingan antarfraksi.
Tapi, memangnya kepada siapa lagi harapan itu kita titipkan jika bukan kepada mereka? Karena faktanya hukum memang produk politik. Seperti kata Prof. Mahfud MD bahwa hukum hanya bisa dijelaskan oleh kekuasaan. Dalam hal ini memang terlihat sekali meski politisi perempuan belum tentu mereka memperjuangkan kepentingan perempuan, tetapi kepentingan kelasnya. Itu sebabnya pentingnya analisis kelas.
Mereka yang menjadi bagian dari elite sulit memahami penderitaan kelas menengah bawah. Itu sebabnya masalah gas elpiji kemarin bagi Bahlil tak lebih dari masalah sepele yang dibesar-besarkan. Buktinya Bahlil masih bisa menjadikan protes rakyat sebagai lelucon saat menyampaikan sambutan di acara Golkar yang kemudian disambut gelak tawa sebagian anggotanya.
Hari-hari ini memang para elite yang berada dalam lingkaran istana mengalami masalah niretika, sehingga gampang saja bilang “Ndasmu”, “Kau yang gelap”, “Bocil-bocil peak” yang kerap menganggap kritik sebagai ancaman dan perlu ditanggapi dengan sindiran dan pernyataan defensif. Indonesia memang semakin gelap.