Masihkah Narasi Keagamaan menjadi Alat untuk Menjegal Kepemimpinan Perempuan?

Zaman yang semakin canggih ini sangat memudahkan kita untuk kembali melihat kejadian di masa lalu. Jika saat kecil kita sering menonton serial kartun Doraemon yang memiliki kantong ajaib, dan salah satu keistimewaannya dapat mengembalikan kita ke masa lalu, maka di zaman yang serba modern ini kita cukup berselancar di media sosial untuk melihat kembali peristiwa yang terjadi di masa lampau. Jejak digital di sana seolah kantong Doraemon yang penuh dengan keajaiban.

Seperti halnya video debat Cagub (calon gubernur) dan Cawagub (calon wakil gubernur) Provinsi Banten, Dimyati Natakusuma cawagub nomor urut dua yang sempat menghebohkan jagat maya dengan pernyataannya yang bias gender. Ia menjawab pertanyaan dari Cawagub nomor urut satu yakni Ade Sumardi perihal penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan pelecehan seksual terhadap anak yang telah marak terjadi di masyarakat. Dimyati menyatakan bahwa perempuan harus mendapatkan perhatian dan perlindungan dari laki-laki, maka dari itu tidak boleh diberikan beban berat seperti menjadi seorang pemimpin dilengkapi dengan narasi keagamaan untuk melegitimasi pendapatnya. Pernyataan ini diarahkan kepada Airin yang menjadi Cagub perempuan Banten satu-satunya.

Pernyataan seksis Dimyati pada debat itu mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak, selain bias gender terhadap kepemimpinan perempuan yang dijustifikasi dengan narasi keagamaan, Dimyati dinilai hipokrit mengingat istrinya Irna Narulita merupakan Bupati Pandeglang selama dua periode. Di kontestasi politik kita yang masih maskulin dan didominasi politik dinasti, kampanye buruk yang membawa tafsir agama yang bias dan tak kontekstual kerap dijadikan alat untuk menjegal kepemimpinan perempuan.

Tafsir agama yang disalahpahami dalam hal melarang kepemimpinan perempuan memang sudah terlanjur menjadi mindset ekstrem di masyarakat kita, sehingga sulit untuk mengubahnya. Padahal, perempuan merupakan makhluk potensial yang mampu untuk berperan dan bekerjasama dengan laki-laki. Mereka bisa menjadi seorang pemimpin di ruang publik maupun domestik.

Jika kita melihat jejak kepemimpinan perempuan dalam Islam ada beberapa nama yang sudah sangat masyhur di kalangan umat muslim. Pertama ialah Siti Khadijah Al-Kubro, beliau merupakan istri nabi sekaligus pengusaha perempuan sukses di zamannya, andil beliau sangatlah besar dalam membantu dakwah Nabi Muhammad SAW. Kedua Siti Aisyah, beliau seorang perempuan cerdas dan menjadi kepercayaan Nabi, berwawasan luas dan kritis. Sepeninggal Nabi Muhammad banyak para sahabat laki-laki yang belajar berbagai ilmu kepada Siti Aisyah. Dari Aisyah pula telah lahir banyak intelektual-intelektual Muslim besar. Siti Aisyah juga pernah memimpin pasukan perang Jamal saat melawan pasukan Ali bin Abi Thalib. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh perempuan berpengaruh pada saat itu.

Musdah Mulia dalam bukunya yang berjudul Muslimah Reformis menjelaskan bahwa secara normatif, Al-Quran melukiskan figur ideal seorang perempuan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan, terutama kemandirian dalam bidang politik (al-istiqlal as-siyasah), seperti figur Ratu Bilqis. Al-Quran menyebutkan sebagai kerajaan super-power yang dikenal dengan Kerajaan Saba. Bahkan, Al-Quran mengimbau perempuan agar berani menyampaikan kebenaran sekalipun harus menentang pendapat publik, dan berani melakukan gerakan oposisi terhadap pemerintahan yang tiranik. Ringkasnya, dalam jaminan Al-Quran, perempuan dapat dengan leluasa memasuki semua sektor kehidupan di masyarakat seperti politik, ekonomi, dan sektor publik lainnya tanpa pembatasan sedikitpun.

Sayangnya ajaran Islam yang luhur tidak diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan umat Islam. Pemaknaan agama secara tekstual membuat umat Islam mengabaikan aspek kontekstualnya, karena perbedaan tingkat intelektualitas manusia, dan karena pengaruh latar belakang sosiokultural dan sosiohistoris manusia yang menafsirkannya. Dan bahayanya adalah para pendukung pandangan diskriminatif ini menganggap bahwa produk tafsir mereka adalah yang paling benar dan menganggap sebagai klaim Tuhan yang tidak bisa diubah. Padahal itu hanyalah penafsiran dan hasil ijtihad (perumusan hukum) para pemuka agama dalam kurun waktu tertentu. Penafsiran dan ijtihad yang dilakukan oleh manusia bisa benar bisa juga salah. Karena itu jangan memutlakkan sebuah penafsiran atau hasil ijtihad manusia.

Salah satu dampak negatif dari tafsir bias gender ini sering dijadikan alat untuk membatasi ruang gerak perempuan di ruang publik seperti berpartisipasi di ranah politik dan lainnya. Seolah-olah perempuan hanya boleh bergelut di ranah domestik yang ruang kerjanya terbatas. Menurut Husein Muhammad dalam bukunya berjudul Islam Agama Ramah Perempuan, ”Pandangan seperti ini tentu saja bertentangan dengan teks-teks Al-Quran yang menegaskan akan adanya balasan yang sama antara laki-laki dan perempuan bagi pekerjaan-pekerjaan politik tersebut. QS. Ali-Imran ayat 195, QS. An-Nahl ayat 97, dan QS. At-Taubah ayat 71. Beberapa ayat Al-Quran ini dan masih ada ayat yang lain cukup menjadi dasar legitimasi betapa partisipasi politik perempuan tidak dibedakan dari laki-laki.

Dari pernyataan yang dikemukakan oleh dua tokoh Muslim di atas yakni Musdah Mulia dan Husein Muhammad, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa perempuan punya kesempatan yang sama dengan laki-laki dan berhak untuk memilih apakah dirinya siap untuk berkiprah di ranah politik, atau lebih memilih bekerja di ranah domestik saja, itu dikembalikan kepada pilihan perempuan itu sendiri.

Penggerak Komunitas GUSDURian Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *