Yang Harus Dilakukan adalah Diskursus Lintas Iman

“Adati hula-hulaa to syara, syaraa hula-hulaa to qurani.

Inilah satu semboyan—sering kali disebut falsafah—hidup orang di Gorontalo. Masyarakat di sini bisa dikatakan memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, juga kompleks. Salah satu sebutan lainnya adalah, Kota Serambi Madinah. Aku ingin mempercayai sebutan itu sebagai suatu cita-cita yang luhur, di mana terciptanya masyarakat plural dan dinamis sehingga tercipta kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur.

Jika kembali mengacu pada falsafah yang ada di atas. Kita bisa menelisik pada seluk beluk masyarakat ini yang—selalu dikatakan—bersendikan kitabullah (Al-Qur’an), atau kitab-kitab keagamaan. Dan bila mengacu pada kitab umat Muslim (yaitu Qur’an), maka akan kita temukan sejumlah ayat yang mengajak manusia untuk saling menghargai, hidup berdampingan.

Tuhan itu sendiri, Allah SWT bahkan telah menekankan pada manusia, bahwasanya mereka telah diciptakan berbangsa-bangsa dan menjadikannya bersuku-suku hanya untuk saling kenal-mengenal (Q.S 49:13). Ayat ini patut untuk direnungi bersama. Kenapa kita harus diciptakan berbeda-beda dan kenapa harus saling kenal-mengenal?

Mungkin ayat ini berkorelasi dengan ayat lainnya tentang Tuhan yang selalu menjadi sebuah misteri bagi umat manusia. Dia ingin dikenal melalui ciptaannya. Kemudian, rasa saling mengenal ini akan menimbulkan pemahaman satu dengan lainnya, hingga terciptanya kerukunan dan penerimaan (acceptence) antar dan/atau intra-umat beragama. Tapi hal ini menjadi PR bagi masyarakat, pemerintah—terutama Kementerian Agama, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lainnya. Sebab, menurut hasil Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) Tahun 2024, Provinsi Gorontalo menjadi 10 provinsi dengan indeks kerukunan umat beragama yang terendah. Mengapa bisa terjadi hal demikian? Apa yang harus kita lakukan? Inilah bahasan yang ingin aku kemukakan di sini.

Bahaya Konflik Laten

Beberapa waktu yang lalu sebuah konflik antarumat beragama terjadi di Gorontalo. Khususnya di Kota Gorontalo. Saat itu aku turun langsung dan menyaksikan perdebatan antara masyarakat Kota Gorontalo—yang mayoritas Muslim, berkonflik dengan Umat Buddha Maitreya.

Perdebatan ini mengangkat tema penolakan pendirian Pusdiklat umat Buddha Maitreya. Masyarakat saat itu merasa khawatir dengan adanya kepercayaan yang menurut mereka baru. Di mana pun manusia berada, hal ini pasti terjadi. Manusia takut akan sesuatu yang baru. Kemudian terjadilah perdebatan yang mengundang unsur pemerintah sebagai stakeholder penengah antara masyarakat dan panitia pendirian pusdiklat.

Ada lagi kasus yang pernah terjadi. Hal ini dikisahkan oleh salah satu temanku. Kala itu, ia selaku umat Kristiani ingin beribadah pada hari Minggu. Sesaat ia ingin naik di bentor dan mengutarakan tujuannya ke rumah ibadah. Pengemudi bentor tadi menolak mengantarnya, dan setelah beberapa meter meninggalkannya, pengemudi itu meludah ke tanah. Kata temanku, seolah jijik.

Ada lagi kasus yang terjadi di Kabupaten Bone Bolango. Sejumlah mahasiswa terpaksa beribadah di atas tanah yang harusnya telah dibangunkan rumah ibadah bagi Umat Hindu. Tanah itu telah direncanakan untuk dibangun rumah ibadah sejak tahun 2018, namun bangunannya tidak juga berdiri akibat adanya penolakan.

Ada banyak lagi kasus-kasus yang riaknya tidak nampak di atas permukaan, tapi itu benar-benar terjadi di tengah kita. Baik antarumat beragama, juga intraumat beragama, seperti Muslim. Konflik inilah yang disebut sebagai konflik laten. Adakalanya masalah yang tidak nampak yang akan menimbulkan akibat fatal, jika itu disepelekan.

Masyarakat Gorontalo tidak boleh dininabobokan oleh kondisi situasi yang aman. Kondisi yang aman belum tentu menjadi jaminan akan terciptanya ketenteraman. Di Sulawesi Utara misalnya, masyarakat di sana sering kali berkonflik. Konflik antarumat beragama, sering kali antara umat Kristen dan Muslim. Masalah yang terjadi juga sama, perihal pendirian rumah ibadah. Tapi hasil dari IKUB Tahun 2024 tadi, mengatakan bahwa Sulawesi Utara bukan provinsi dengan indeks kerukunan yang terendah. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Bisa jadi satu kemungkinan bahwa konflik antarumat beragama yang terjadi di masyarakat Sulawesi Utara adalah konflik yang nampak dan bisa segera ditangani. Tapi berbeda dengan yang terjadi di Gorontalo. Konfliknya bersifat tersembunyi. Hanya dialami oleh sejumlah orang, sehingga tidak nampak di permukaan. Tapi bila terus dibiarkan, suatu ketika akan meledak konflik yang besar yang akan sulit untuk ditangani.

Hal ini hanyalah pendapat dariku yang awam. Para pembaca sekalian bisa merenungkan hal ini sehingga bisa bertindak, setidaknya dari diri sendiri. Atau bisa juga pendapat ini diabaikan saja. Toh, kondisi sekarang masih aman-aman saja. Pasti dia (penulis) ini cuma berkhayal. Di sini semua bebas berpendapat, saya hanya ingin mengutarakan sejumlah pengalaman baik melalui diskusi, bacaan dan lain sebagainya.

Perlu Diskursus Antar dan/atau Intra-Umat Beragama

Persoalan konflik laten ini bisa kita tangani dengan satu resep yang—menurutku—kurang dilakukan oleh masyarakat, khususnya di Gorontalo. Yaitu resep diskursus antar/intra umat beragama. Diskursus ini penting dilakukan, sebab hasil akhirnya dapat menimbulkan saling memahami dengan kondisi dari mereka yang berbeda dengan kita. Aku sendiri telah merasakannya.

Mengapa hal ini aku utarakan. Kita harus menelisik kondisi atau gejala di tengah masyarakat dengan sebuah tools analisis yang baik. Tools yang sering kali digunakan adalah Iceberg Analysis atau Analisis Gunung Es. Analisis ini menganalogikan permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat seperti sebuah gunung es, yang di atas permukaan laut nampak kecil, tapi di bawahnya—yang tidak nampak—begitu besar. Seperti itu juga yang terjadi di masyarakat.

Saya tidak akan menjelaskan lebih rinci tentang analisis ini, tapi ujung paling bawah atau akar yang bisa diambil dari analisis ini adalah Mental Model, atau perspektif dari berbagai unsur seperi pemerintah, masyarakat, adat, kebiasaan dan lain sebagainya. Seringkali masyarakat atau kita selaku orang awam kurang menganalisis sudut pandang kita sendiri.

Kita terlalu sering mengukur persoalan dengan kacamata kita yang sempit, tanpa mengindahkan adanya kacamata yang lebih besar untuk kita bisa saling memahami.

Aku teringat dengan suatu pesan dari Habib Husein Ja’far Al Hadar atau dikenal Habib Ja’far. Pesan itu disampaikannya melalui kanal Youtube, yang mengajak kepada umat beragama untuk saling memahami dan tidak berkonflik. Salah satu kisah yang diangkatnya adalah kisah sahabat Rasulullah yang ketika berkonflik, akan terus mencari suatu kesamaan antara yang berkonflik.

Mereka yang berkonflik itu, tutur habib, akan ditanyai apakah mereka sesama umat Muslim? Jika tidak maka akan ditanyai lagi, apakah mereka berasal dari satu suku yang sama? Jika tidak maka akan ditanyai lagi, apakah mereka berasal dari satu wilayah/negara yang sama? Jika tidak maka akan ditanyai lagi, apakah mereka sama-sama manusia? Hingga akhirnya terjadi suatu kesamaan yang mampu menyelesaikan konflik.

Hal ini yang juga perlu diangkat dalam diskursus antar/intra umat beragama di Gorontalo. Pemerintah, unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, dan stakeholder lainnya (bila dikenankan aku katakan wajib) untuk menjaga kerukunan umat beragama dengan memberi ruang-ruang kondusif untuk saling bertukar pikiran bagi umat beragama. Sehingga hasil Indeks Kerukunan Umat Beragama yang tadinya 10 terendah di Indonesia akan naik.

Seperti yang aku kemukakan di awal, dengan falsafah berdasarkan kitab tadi, masyarakat bisa berdiskursus dengan dalil agama masing-masing, dengan tujuan mendapat kesepahaman untuk hidup rukun, adil dan damai. Seperti yang dikemukakan oleh Gus Dur, “Perdamaian tanpa Keadilan, adalah ilusi.” Jangan sampai, kita saat ini hidup di atas ilusi-ilusi kita. Tidak mengindahkan konflik-konflik yang terjadi di dekat kita.

Penutup

Tahun 2045 yang digadang-gadang menjadi 100 tahun merdekanya negeri ini, akan menjadi tahun untuk generasi emas. Jika kita menelisik analogi emas adalah suatu mineral yang bernilai tinggi di antara mineral-mineral yang lainnya, sehingga bagaimana kita akan membuat kualitas generasi ini setinggi nilai emas itulah yang harus dipikirkan bersama.

Tidak hanya dalam tingkat kualitas intelektual, tapi juga emosional dan spiritual. Ketiga tingkat kecerdasan ini harus berjalan berbarengan dalam diri setiap individu emas di tahun 2045 nanti. Jangan sampai kekhawatiran oleh publik dengan memplesetkan Indonesia Emas menjadi Indonesia (C)emas akan terwujud.

Seperti Gus Dur, kita harus selalu memiliki optimisme di tengah badai masalah. Seperti yang dilakukannya pada masyarakat Papua dan lainnya. Sikap tenang dan optimismenya selalu di kedepannya. Sikap percaya ini yang ingin atau harus kita teladani baik dalam kehidupan individu, berkelompok, organisasi atau bernegara. Lahul fatihah untuk beliau. Sekian.

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *