Judul : Kristen Madura
Penulis : Akhmad Siddiq
Penerbit : Cantrik Pustaka
Cetakan : April, 2023
Tebal : 188 halaman
ISBN : 978-623-1390-04-2
Sebagai salah satu identitas suku di Indonesia, mengkaji sejarah dan bagaimana pergulatan Kristen di Madura terbilang menarik dan unik. Pasalnya, mayoritas orang Madura dikenal dengan identitas keislaman dan keberislaman yang kokoh. Meski begitu, di Madura ternyata ada beragam komunitas Kristen yang belum tersentuh peneliti. Sebab, mayoritas peneliti hanya memotret Madura dengan agama Islam dan masyarakat Muslimnya semata.
Berangkat dari hal itu, Akhmad Siddiq melalui buku ini memiliki kegelisahan akademik bahwa ada realitas lain yang berkaitan dengan Madura. Sebab menurutnya, mengabaikan proses multikultural bisa menyebabkan problem sosial politik yang berpotensi memecah belah jika tidak dikelola dengan tepat. Akan tetapi, meskipun orang Kristen menjadi minoritas dari umat Islam, masyarakat Muslim Madura relatif mampu membangun persaudaraan harmonis dengan komunitas agama lain.
Menurut data yang ditulis di buku ini, di Kabupaten Pamekasan setidaknya ada tujuh gereja yang eksis sampai sekarang. Sumenep ada lebih dari lima gereja. Sementara, di Bangkalan ada sekitar 2.787 umat Kristiani yang terhimpun di lebih dari sepuluh gereja. Sedangkan di Sampang, satu-satunya Kabupaten dalam statistik BPS tidak memiliki gereja resmi tetapi terdapat sekitar 310 umat Kristiani yang tersebar di beberapa kecamatan (hlm. 26).
Sebagai golongan minoritas di kalangan masyarakat Madura, orang orang Kristen ini mendapatkan beberapa tantangan terutama ketika dibenturkan dengan paradigma masyarakat Madura yang kental dengan kultur Islam. Salah satunya seperti yang diceritakan oleh Emma, perempuan yang dilahirkan dari keluarga Muslim menceritakan kisahnya menjadi Kristen dimulai dengan cerita penolakan dan perlawanan. Keluarga dan tetangganya menolak tinggal di tempat kelahirannya sendiri, mereka memaksanya pergi. Mereka mengucilkan Emma dan tidak mengakuinya sebagai orang Madura karena dia bukan lagi seorang Islam (hlm.82).
Bagi orang Madura, Islam adalah elemen budaya yang sangat penting terkait dengan identifikasi etnis. Ajaran-ajaran islam melebur dalam praktik budaya dan tradisi lokal. Maka tidak heran jika kemudian sebagian orang menganggap masyarakat Madura yang memeluk agama Kristen sebagai “kurang Madura” dan dipandang telah keluar dan melampaui batas-batas kesukuan.
Paradigma seperti ini yang mengakibatkan orang Madura yang beragama Kristen lebih memilih tinggal di luar Madura untuk mendapatkan lingkungan yang mereka anggap lebih nyaman untuk pertumbuhan iman Kristen mereka sehingga etnisitas Madura juga dapat terjalin secara sosial dengan agama Kristen. Hal ini misalnya bisa dilihat dari kehidupan kehidupan Kristen Madura di Sumber Pakem Jember dibandingkan dengan kehidupan di pulau Madura yang cenderung menepikan agama Kristen sebagai anasir budaya etnis Madura, komunitas Kristen Madura di Sumber Pakem mampu mengimani kekristenan mereka tanpa melepaskan identitas kemaduraan mereka (hlm.83).
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa sebagian orang Kristen memilih tetap tinggal di Madura. Ada yang mengatakan perpindahan dirinya terhadap agama Kristen merupakan pilihan pribadi dan atas kesadaran diri sepenuhnya. Meski tidak mudah mengambil keputusan menjadi seorang Kristen yang tinggal di Madura. Ada juga orang Madura lainnya yang memeluk agama Kristen karena faktor pernikahan.
Membaca buku Kristen Madura ini seakan mengajari kita agar membuka kran toleransi terhadap perbedaan agama di tengah pergulatan budaya, pergulatan sosiokultural yang kental dengan etnisitas. Dari buku ini, kita bisa menghilangkan fanatisme kelompok secara perlahan demi perlahan karena menjadi golongan mayoritas dan menghargai kelompok minoritas untuk membangun multikulturalisme di Indonesia.