Kian hari, lingkungan menghadapi krisis yang semakin parah. Gempuran kerusakan menyerbu air, darat, dan udara. Memasuki bulan Ramadan, sudah saatnya kita tidak sebatas menghayatinya dengan menahan lapar, dahaga, amarah, dan hawa nafsu semata, melainkan memaknainya lebih jauh sebagai momen pertobatan dan tirakat ekologis terlebih di tengah krisis sampah yang mendera Yogyakarta. Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, volume sampah di Yogyakarta meningkat rata-rata 5-10 ton per hari di bulan Ramadan.
Tentu tidak ada harapan untuk mengulang kesalahan yang sama di Ramadan tahun ini. Maka dari itu, untuk kesekian kalinya, GUSDURian Jogja kembali mengangkat topik sampah dalam acara Kongkow Bareng GUSDURian Jogja (Jumat 28/02/2025) yang bertema “Banguntapan Rumah Bersama: Refleksi, Nyadran, dan Puasa Sampah”. Meskipun berdekatan dengan bulan puasa, kegiatan ini tidak hanya melibatkan Muslim melainkan juga saudara-saudara lintas iman. Hal ini dimaksudkan supaya toleransi yang sudah terbangun cukup baik di Jogja itu menjadi modal sosial untuk menggerakkan masyarakat khususnya dalam isu lingkungan.
Kesadaran masyarakat tentang persoalan sampah ini harus terus di bangun sebagai serangkaian upaya untuk mengurai krisis sampah yang ada di Yogyakarta. “Refleksi yang ingin kita bangun pada sore hari ini adalah refleksi nyadran, yakni momentum untuk merefleksikan hubungan kita sebagai manusia dengan alam, dan juga dengan Tuhan tentunya, dan juga refleksi puasa sampah, yakni meminimalisir produksi sampah dari diri kita,” ungkap Hamada Hafidzu dalam sambutannya di acara KBGJ.
Hafi juga menjelaskan, bahwa di GUSDURian sendiri telah memulai praktik-praktik untuk meminimalisir produksi sampah. Sebagai contoh, dalam kegiatan-kegiatan yang dijalankan GUSDURian tidak lagi menggunakan kemasan-kemasan baik kardus maupun plastik dalam penyediaan konsumsi. Di samping itu, GUSDURian juga telah memulai budaya memilah sampah.

Diskusi yang menghadirkan pembicara Sutik Mantoro (pemerintahan Kelurahan Banguntapan) dan Muyassarotul Hafidzoh (Kepala Madin Masjid Az-Zahrotun) ini diawali dengan refleksi dari para peserta terkait dengan pengelolaan sampah. Beberapa peserta berbagi refleksi tentang dinamika pengelolaan sampah yang mereka alami. Para peserta menekankan bagaimana pentingnya edukasi dan bagaimana membangun kesadaran diri untuk bijak dalam persoalan sampah.
Dalam kesempatan ini, Sutik menerangkan tentang persoalan sampah di Banguntapan. Setiap hari setidaknya 22 ton sampah dihasilkan di kelurahan ini dan jumlah itu meningkat ketika ada perayaan hari-hari besar seperti Natal, Idul Fitri, dll. Kelurahan ini menjadi penyumbang sampah nomor satu terbanyak di Kabupaten Bantul. Pemerintahan kelurahan Banguntapan telah melakukan banyak upaya untuk mengatasi permasalahan sampah ini mulai dari penyediaan truk pengangkut hingga tangkap tangan bagi oknum-oknum yang membuang sampah secara sembarangan. Berbagai tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sampah seperti sampah yang tercampur dan basah mempersulit pemrosesannya. Sutik juga menghimbau warga untuk memiliki kesadaran memilah sampah serta menerapkan reduce, reuse, recycle dalam skala keluarga.
Adapun Muyyasarotul Hafidzoh sebagai pengasuh Asrama Kreatif Bil Qalam menjelaskan bahwa permasalahan sampah ini sangat dekat dengan perempuan. Hampir setiap kegiatan perempuan dalam mengurus rumah tangga menghasilkan sampah. Akan tetapi pemahaman dan kesadaran tentang pengelolaan sampah masih kurang. Menurutnya selama setiap pribadi belum melakukan pemilahan, maka pencarian solusi permasalahan sampah tidak akan pernah mencapai titik final. “Karena kalau kita hanya membuang dan diambil sama petugas kebersihan, kita tidak mengerti petugas kebersihan ini memilah dengan baik atau langsung itu dibuang,” ungkapnya.
Dia juga menyampaikan bahwa edukasi sampah sangat perlu untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan anak-anak. Jika sejak usia dini anak sudah teredukasi dengan baik terkait dengan sampah, maka ketika dewasa mereka akan bijak dalam memperlakukan sampah. Dia menambahkan bahwa edukasi tentang sampah yang ada saat ini sebatas pada buanglah sampah pada tempatnya. Maka kalau tempat sampahnya satu, segala jenis sampah akan bercampur menjadi satu. Padahal sampah yang tidak terpilah adalah persoalan yang krusial. Secanggih apa pun mesin pengolah sampah, seluas apapun lahan tempat pemrosesan akhir tidak menjadikan solusi jika tidak diiringi kesadaran masyarakat untuk memilah sampah.
Di samping menyoroti soal kesadaran memilah, edukasi tentang sampah di masyarakat, solusi untuk sampah residu, Muyassarotul juga menyoroti terkait keamanan bagi para pengelola sampah. Dia merefleksikan, jika di negara-negara maju petugas sampah mengenakan atribut keamanan yang sangat lengkap, lain situasinya dengan petugas sampah di Indonesia yang pakaiannya sangat jauh dari standar keselamatan.
“Sedangkan di kita, petugas kebersihannya kadang sepatu boot saja tidak dipakai,” ungkapnya. Tidak mengherankan jika kemudian ada kabar tentang petugas kebersihan yang kakinya terkena tusuk sate yang kotor lalu mengakibatkan penyakit tetanus dan meninggal.

Di akhir forum, Firda Ainun membacakan serta menyerahkan lembar rekomendasi pada stakeholder Kelurahan Banguntapan. Adapun isi dari rekomendasi tersebut antara lain:
1. Mendukung dalam bentuk rekognisi, regulasi, fasilitasi dan dukungan sumber daya keberadaan paguyuban lintas iman.
2. Pemerintah perlu memperkuat keberagaman dan agenda sosial bersama dengan tokoh lintas iman di Banguntapan untuk membangun situasi sosial yang baik di Banguntapan.
3. Mendukung dan mengapresiasi kegiatan anak muda untuk terus berkolaborasi khususnya dalam mencari solusi atas persoalan yang terjadi, misalnya pengelolaan sampah di level rumah ibadah. Maka penting kemudian untuk melibatkan anak muda dari berbagai latar belakang rumah ibadah untuk terlibat dalam musyawarah perencanaan dan pembangunan desa (Musrembangdes)
Berbagai refleksi dan diskusi dalam acara ini menegaskan bahwa persoalan sampah bukan hanya masalah teknis, tetapi juga menyangkut kesadaran, edukasi, dan tanggung jawab bersama. Komunitas lintas iman yang terlibat dalam kegiatan ini menunjukkan bahwa isu lingkungan adalah kepedulian universal yang melampaui batas agama dan identitas sosial. Dengan semangat puasa sampah, diharapkan gerakan ini dapat menjadi langkah nyata dalam mengurangi dampak krisis sampah di Yogyakarta, sekaligus menanamkan kebiasaan baik dalam pengelolaan sampah secara berkelanjutan. Mari menjadikan refleksi ini sebagai awal dari perubahan nyata—karena menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab kita bersama.