Solichah

Tanggal 29-30 Juli 1994, ribuan orang memadati kediaman Nyai Solichah Wahid Hasyim di Jakarta, memberikan penghormatan terakhir sebelum jenazah almarhumah diberangkatkan ke Jombang untuk dimakamkan. Demikian juga, puluhan ribu orang memadati dua pesantren kediaman Nyai Solichah di Jombang, di pesantren ayahnya di Denanyar dan di pesantren mertuanya di Tebuireng.

Saya, yang masih mahasiswa saat itu, memahami bahwa Nyai Solichah adalah seorang tokoh bangsa. Namun, tak urung saya bertanya-tanya bagaimana seorang perempuan dapat memunculkan penghormatan yang luar biasa besar. Jenazahnya dilepas oleh Menteri Agama RI, dihadiri oleh petinggi negara, politisi, keluarga besar DPR/MPR, kiai dan nyai di lingkungan NU, dan tak terbilang masyarakat tanpa jabatan mentereng yang juga mencintainya.

Nyai Solichah memang istimewa. Ia putri Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Nur Chadidjah. Kiai Bisri adalah salah satu pendiri NU. Ia tak lain istri Kiai Wahid Hasyim dan karenanya menjadi menantu dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, pemimpin besar Nahdlatul Ulama.

Kiai Wahid adalah salah satu pendiri negara Indonesia, menjabat Menteri Negara di awal kemerdekaan dan menjadi Menteri Agama periode 1949-1952. Di masanya, Kiai Wahid menunjukkan keberpihakan kepada kaum perempuan dengan membuka ruang untuk hakim agama perempuan, sesuatu yang sangat sensitif di negara-negara mayoritas Muslim.

Nyai Solichah dikelilingi tiga pria pemimpin besar, tetapi itu tidak menjadikannya sebagai kanca wingking belaka. Ia menorehkan sejarahnya sendiri sebagai pemimpin, baik di lingkungan pesantren, pengabdian masyarakat, maupun sebagai politisi dan pengambil kebijakan publik.

Sejak menikah dengan Kiai Wahid, Nyai Solichah sudah terlibat dalam kerja-kerja di ruang publik. Di masa revolusi, ia mengurus dapur umum di seputar Jombang, menyelundup mengantarkan dokumen-dokumen rahasia, dan ikut bergerilya, bahkan sempat secara terpisah dengan suaminya.

Pada usia 30 tahun, Nyai Solichah harus memulai babak baru menjadi single parent bagi keenam putra-putrinya setelah Kiai Wahid wafat di tahun 1953. Saat itu, Gus Dur putra sulungnya baru berusia 12 tahun dan anak bungsunya masih dalam kandungan.

Sambil membesarkan anak-anaknya dan membanting tulang mencari nafkah untuk keluarganya, Nyai Solichah melanjutkan khidmahnya di ruang publik sebagai pengurus Muslimat Nahdlatul Ulama. Ia juga meneruskan perjuangan Kiai Wahid di Partai Nahdlatul Ulama dan menjadi anggota parlemen dari partai tersebut. Perjuangannya berlanjut di Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan fusi berbagai partai politik berbasis Islam. Ia berkhidmah sebagai anggota DPR sampai tahun 1992.

Nyai Solichah melawan berbagai stereotipe masyarakat terkait perempuan. Ia membuktikan bahwa perempuan dapat menjadi kepala keluarga yang baik. Semua putra-putrinya tumbuh menjadi pemimpin yang diakui publik. Ia membuktikan bahwa perempuan tidak harus memilih antara ruang domestik dan ruang publik, antara meniti aktualisasi diri dengan menjadi ibu, serta antara menjadi ibu rumah tangga dengan perempuan karier. Bahkan, setelah menjadi orangtua tunggal, ia mampu menjaga keseimbangan peran-perannya.

Ia juga membuktikan bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin yang berdaya dan berpengaruh. Muslimat NU maju pesat dengan berbagai kiprahnya dan menyumbang pada suksesnya program KB Indonesia. Ia mendirikan sejumlah organisasi, termasuk Yayasan Bunga Kamboja yang di Jakarta terkenal sebagai layanan kematian.

Nyai Solichah sangat dihormati oleh para kiai NU, bukan hanya sebagai seorang nyai, melainkan juga sebagai seorang politisi. Nyai Solichah memberi warna dalam berbagai kebijakan internal NU karena kepemimpinannya yang piawai.

Ini bukan hal mudah di lingkungan NU yang, sebagaimana mayoritas organisasi agama lainnya di dunia, masih didominasi kepemimpinan laki-laki. Kehadiran perempuan memang membesar, tetapi tingkat kepemimpinan dan pengaruhnya belum tentu signifikan. Perempuan masih dikungkung oleh stereotipe dan stigma sosial yang menganggap bahwa perempuan kurang layak untuk memimpin dibandingkan dengan laki-laki.

Nyai Solichah bisa mencapai level tersebut karena proses perkembangan pribadinya. Lingkungan awalnya menjadi enabling environment (lingkungan yang memampukan), yaitu didikan kedua orangtuanya. Kiai Bisri sangat berpihak pada pendidikan perempuan, dibuktikan dengan mendirikan pendidikan perempuan berbasis pesantren pertama di Indonesia di tahun 1919.

Demikian pula mertuanya, KH Hasyim Asy’ari, yang memberikan ruang besar kepada putrinya, Nyai Khoiriyah, untuk berceramah di hadapan umum dan di kemudian hari didorong memimpin pondok pesantren Seblak.

Lingkungan yang mendukung (enabling environment) akan menunjukkan bahwa pada dasarnya perempuan memiliki potensi yang setara dengan lelaki dan bahwa perempuan bukanlah makhluk yang lemah, tak berdaya, dan tidak akan cakap menjadi pemimpin. Ketegasan, keberanian, kematangan diri, integritas, dan kemampuan mengorganisasi tidaklah melekat pada tubuh lelaki, tetapi juga dapat berkembang pada diri perempuan.

Tidak semua perempuan memiliki kemampuan menjadi pemimpin, sama halnya dengan tidak semua lelaki memiliki kemampuan menjadi pemimpin. Namun, ruang hidup yang tidak berkesadaran keadilan hakiki akan memberikan ruang tumbuh melulu kepada para lelaki untuk mengembangkan kepemimpinannya dan melemahkan tunas pemimpin perempuan. Kita membutuhkan ruang tumbuh yang memampukan baik perempuan maupun lelaki.

Di Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) 8 Maret 2025 ini, kita dapat menjadikan pengalaman hidup Nyai Solichah sebagai ruang refleksi. Tema IWD tahun 2025 ini adalah ”Her Rights, Our Future, Right Now”. Ketika hak-hak perempuan diakui, dilindungi, dan dipenuhi, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi ideal yang menyumbang pada perbaikan masa depan peradaban.

Banyak perempuan memiliki potensi seperti Nyai Solichah. Kewajiban kitalah untuk menciptakan lingkungan yang memampukannya menjadi Nyai Solichah berikutnya, bagi bangsa dan dunia.



_______________

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 9 Maret 2025

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *