Ahmad Tohari: Gus Dur Pernah Menyelamatkan Hidup Saya

Ahmad Tohari nyaris kehilangan nyawa karena Ronggeng Dukuh Paruk. Kisahnya dengan Gus Dur, sastra, dan sejarah 1965 menjadi saksi perjalanan panjangnya.

***

Hujan deras mengguyur Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, siang itu, 18 Februari 2025. Langit meredup di balik tirai air, sementara di sebuah rumah sederhana, sejarah hidup seorang sastrawan tengah dikisahkan. Ahmad Tohari, penulis Ronggeng Dukuh Paruk, duduk di antara saya dan dua dosen dari UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri.

Di bawah atap rumahnya yang bersahaja, kami berbincang tentang sastra, literasi, dan perjalanan panjangnya dalam dunia kata-kata.

“Banyak anak muda sekarang tidak tertarik membaca buku,” katanya, serius menatap wajah saya, seolah mencari jawaban di balik rintik hujan. “Mungkin karena ini.” Ia menunjuk gawai yang tergeletak di depan kami. “Atau mungkin karena rasa ingin tahunya rendah.”

Obrolan siang itu mengalir, setidaknya menenangkan pikiran saya. Saya, yang tengah riuh mengurus Kosa Kota Festival, menelusuri perjalanan panjangnya sebagai wartawan, mulai dari meninggalkan jabatan Redaktur Budaya di Harian Merdeka, Jakarta, hingga godaan yang membawanya ke dunia sastra.

Dari sana, kami membahas bagaimana satu novel yang lahir dari keresahan, Ronggeng Dukuh Paruk, membuatnya berhadapan dengan sejarah kelam bangsa dan nyaris membawanya ke ujung maut.

Hujan tak kunjung reda, malah semakin deras menghantam atap, menciptakan irama monoton yang menggema di dalam ruangan. Langit kelabu menggantung rendah, seolah menekan bumi. Kabut tipis mulai merayap dari halaman, bercampur dengan uap tanah basah yang menyelusup lewat celah-celah jendela.

Di kejauhan, siluet pepohonan bergoyang tertiup angin, samar dan berbayang di balik tirai hujan.

Cuaca semakin pekat, seolah dunia menyempit hanya dalam batasan temaram ruangan ini, di mana kata-kata seorang maestro mengalir, menembus gerimis di hati yang mendengarkan.

Hujan masih deras, menyatu dengan sore yang semu. Ahmad Tohari duduk tenang di kursinya, sesekali menatap ke luar jendela, seolah mencari sesuatu di balik tirai air yang terus mengguyur. Di antara riuh suara hujan, ia berkata dengan nada datar dan terbatuk-batuk, seakan itu hanya fakta sederhana, bukan capaian besar yang mengantarnya menjadi salah satu maestro sastra Indonesia.

“Barangkali buku saya ada delapan di Gramedia. Nggak banyak sebetulnya,” tuturnya. “Cuma ada satu yang laris banget, Ronggeng Dukuh Paruk.”

Ia lalu menoleh ke arah saya. Mungkin penasaran kenapa saya, yang sibuk mengurus festival literasi, masih saja bersikeras mengajak orang membaca.

“Apakah buku masih laku?” tanyanya. Saya tersenyum. “Ya, kita coba saja dulu!”

Ia menghela napas, lalu mengangguk pelan. “Memang memprihatinkan,” katanya lirih.

Hujan semakin deras, seolah menekan suasana. Tohari lalu kembali ke cerita yang membawanya ke dunia sastra, perjalanan panjang yang berawal dari kegelisahan.

Ronggeng Dukuh Paruk terbit pertama kali tahun 1986, katanya. Waktu itu, ia sudah lama menyimpan gagasan untuk menulis novel ini, tapi butuh waktu puluhan tahun hingga akhirnya berani menuangkannya ke dalam kata-kata.

Gagasannya berakar pada peristiwa tahun 1965.

“Tahun 1965 saya sudah SMA kelas dua, jadi sudah bisa merasakan dan menyaksikan geger PKI itu,” kenangnya. “Saya beberapa kali melihat eksekusi itu, jadi itu yang menggelisahkan saya betul. Melihat orang ditembak.”

Namun, menuliskannya bukan perkara mudah. Di bawah rezim Orde Baru, membicarakan tragedi 1965 adalah hal yang berbahaya. Tohari tahu risikonya.

“Pak Harto garang banget. Bisa dibunuh kalau menulis tentang PKI.”

Tapi kegelisahan itu tak bisa diredam. Ia mulai menulis, meski tahu bahwa karyanya akan diawasi ketat. Benar saja, ketika ia mengajukan Ronggeng Dukuh Paruk ke Gramedia, beberapa bagian harus dipotong.

“Mereka nggak berani menerbitkan secara utuh.”

Buku itu tetap terbit dan menjadi karya besar, tapi bagi Tohari, ia tahu bahwa karyanya belum sepenuhnya bebas. Baru pada tahun 2002, edisi lengkapnya bisa diterbitkan. Tapi bahkan saat itu, ia masih harus menghadapi tekanan.

“Saya dipanggil ke Komkamtibmas,” katanya, menyebut lembaga keamanan yang kala itu punya kuasa besar. “Mereka menuduh saya simpatisan PKI. Saya diinterogasi lima hari, nggak boleh pulang.”

Di titik itu, ia nyaris tak bisa berbuat apa-apa. Hingga salah satu pertanyaan dari para pemeriksa justru menjadi celah penyelamatannya.

“Kalau kamu bukan PKI, siapa yang bisa menjamin?”

Tohari meminta selembar kertas dan menuliskan satu nama berikut nomor teleponnya: Abdurrahman Wahid.

Para tentara terdiam. Tak satu pun dari mereka berani menghubungi sosok yang pernah menjadi presiden itu. Sejurus kemudian, Tohari diperbolehkan pulang.

Ia tertawa kecil mengenang momen itu.

“Saya ditolong Gus Dur, tanpa sengaja. Dan dia sampai sekarang nggak tahu kalau dia pernah menolong saya, karena saya nggak pernah mengadu.”

Penasaran, saya bertanya dari mana awal perkenalan Tohari dengan Gus Dur.

Ia tersenyum tipis, menatap keluar jendela sejenak sebelum menjawab. Bukan karena NU, katanya, tapi karena sastra.

Ceritanya, tahun 1980-an, situasi politik memanas. NU mendapat tekanan besar untuk menerima asas tunggal Pancasila. Di Jawa Timur, para kiai menghadapi ancaman misterius, pembunuhan demi pembunuhan terjadi tanpa jejak. Di tengah ketegangan itu, Gus Dur mengambil langkah besar, mengumpulkan para kiai di Situbondo untuk mencari jalan tengah.

Ahmad Tohari ada di sana, bukan sebagai tokoh agama, melainkan seorang penulis yang mengikuti situasi dengan gelisah.

Ternyata, Gus Dur sudah mengenalnya lebih dulu. Bukan secara langsung, tapi lewat buku-bukunya. Ronggeng Dukuh Paruk sudah sampai ke tangan Gus Dur, begitu juga Kubah. Begitu mereka bertemu, obrolan mengalir begitu saja. Seperti dua kawan lama yang baru saja bertatap muka kembali.

Tohari melihat, Gus Dur bukan hanya seorang pemimpin agama, tapi juga seorang pembaca yang rakus.

Bukan hanya sastra, buku bertema keislaman, tapi juga karya-karya yang kerap dicap ‘berbahaya’ di masa itu. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer yang bukunya dilarang di mana-mana juga ada dalam daftar bacaan Gus Dur.

Dari sana, hubungan mereka semakin dekat. Jika ada acara di daerah Tohari, Gus Dur tak jarang menginap di rumahnya.

Obrolan mereka pun tak melulu soal politik atau agama.

Tohari mengingat dengan jelas bagaimana Gus Dur selalu merangkul siapa saja, tanpa melihat latar belakang agama atau keyakinan.

Saya tidak terlalu yakin, tapi mungkin nilai itulah yang kelak menginspirasi Tohari untuk mendirikan Forum Kerukunan Umat Beriman (FKUB) pada 1995 di daerahnya, jauh sebelum gagasan itu diadopsi oleh pemerintah.

Sering kali, orang bertanya pada Tohari, bagaimana ia bisa begitu akrab dengan orang-orang Katolik, Kristen, Buddha, atau beragam keyakinan lainnya.

Ia selalu menjawab dengan pertanyaan balik, “Kamu Islam, tahu tokoh Abu Talib? Paman Nabi itu tidak masuk Islam, tetap kafir sampai akhir hayatnya. Tapi Nabi tetap akrab, sangat menghormati, tidak pernah memusuhinya. Kalau saya sekarang bersikap seperti itu, apa salah?”

Biasanya, setelah mendengar itu, lawan bicaranya terdiam sejenak. Seperti baru memahami sesuatu yang selama ini luput dari perhatian mereka.

Bagi Tohari, Islam bukan sekadar identitas, melainkan ajaran yang merangkul, bukan memusuhi. Ia mengutip satu dalil dari GUSDURian yang selalu ia pegang teguh, “Orang Islam yang baik itu yang toleran, yang mau menerima siapa pun, dan bisa diterima oleh siapa pun.” Itu baru Islam yang maju, katanya.

Maka, ia tak ragu berteman dengan siapa saja, berbicara dengan siapa pun, bahkan dua kali ia pernah salat di emperan gereja. Yang membuatnya terkejut justru ketika seseorang datang mengantarkan sajadah. “Ini gereja, tapi ada sajadah? Jangan-jangan mereka juga toleran,” gumamnya saat itu.

Tohari terkekeh pelan, mengingat bagaimana latar belakang keluarganya yang campur antara NU dan Muhammadiyah.

“Saya NU,” katanya, “tapi di musala ini yang salat lebih banyak anak-anak Muhammadiyah daripada NU. Tapi ya, musala ini tetap ikut qunut.”

Ia bercerita, setiap bulan Ramadan, jamaah di musalanya selalu terbelah dua.

“Yang tarawih 8 rakaat silakan di belakang, yang mau 20 rakaat di depan. Biar nanti keluarnya nggak bikin ribut,” candanya.

Tohari lahir dari keluarga yang unik. Bapaknya berasal dari garis Muhammadiyah, sementara paman, bibi, dan sepupu-sepupunya juga banyak yang Muhammadiyah. Tapi anehnya, bapaknya sendiri justru menjadi NU.

Ia tak pernah berani bertanya alasan di balik itu, tetapi dalam benaknya, ia mencoba menerka-nerka. Dulu, para pemuda banyak yang belajar silat, termasuk bapaknya. Saat mencapai tingkat lanjut, ada doa-doa tertentu yang harus dibaca. Di Muhammadiyah, tradisi semacam itu kurang dikenal.

Mungkin, bapaknya memilih NU karena di sana, silat dan doa berjalan berdampingan. Sambil mengingat hal itu, Tohari tertawa kecil.

Tohari tiba-tiba menatap saya dan bertanya, “Baca Pramoedya enggak?”

Ia lalu bercerita tentang bagaimana Pramoedya Ananta Toer memiliki banyak penentang, termasuk Mochtar Lubis dan Taufiq Ismail. Mochtar Lubis bahkan sampai mengembalikan hadiah yang pernah ia terima dari Filipina setelah beberapa tahun kemudian Pramoedya menerima penghargaan yang sama. Seolah-olah, melihat Pramoedya diberi penghormatan adalah sesuatu yang tak bisa ia terima.

“Alasannya politis,” ujar Tohari. Ia pernah bertanya langsung kepada Taufiq Ismail, yang menjawab, “Pramoedya dalam bersastra membelah manusia menjadi golongan kiri dan kanan, dan dia memuja golongan kiri. Sastra mestinya netral.”

Tohari setuju dengan pendapat itu. Dalam menulis Ronggeng Dukuh Paruk, ia memasukkan unsur PKI, tetapi dalam posisi netral, bukan untuk mengajak orang menjadi PKI.

Lalu ia menceritakan kisah keluarganya. Tohari bercerita tentang saudaranya, seorang penjual kambing di Pasar Karangpucung, Majenang. Hanya lulusan SD, hidupnya sederhana. Tapi suatu hari, ia bersama seorang temannya ditangkap tentara, dituduh sebagai mantan PKI.

Mereka dibawa ke daerah Tinggarjaya, ke belakang pasar, dekat kuburan. Sebuah jip berhenti di depan pasar, lalu seorang pensiunan tentara dipanggil. Kepadanya, dua peluru diserahkan.

“Selesaikan mereka,” begitu perintahnya.

Dua orang, dua peluru. Tapi tembakannya dari jauh, tidak langsung mengenai titik vital. Sekaratnya lama sekali.

“Di desa ini, terjadi seperti itu,” ujar Tohari lirih.

Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan. “Kenapa Pak Harto sekejam itu? Saya kira, dia hanya antek. Antek siapa? Amerika.”

Waktu itu, Amerika sedang bersiap menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk-produk mereka. Kapitalis Amerika datang dengan modal luar biasa besar. Sekarang, kita ada di tangan mereka, dari gunung sampai laut.

Ia menghela napas panjang.

“Pertanyaannya, generasi muda sekarang, bisakah mereka bangkit? Atau justru tumbuh tanpa menyadari bahwa mereka hidup dalam cengkeraman kekuatan kapitalis?”

Ketika sore tiba dan batuknya makin sering, kami terpaksa mengakhiri obrolan. Namun, saya sadar: ada banyak cerita yang belum selesai. Mungkin di situlah kekuatan sastra, ia tak benar-benar berakhir. Ia terus mengalir, melintasi generasi, bertahan dalam ingatan siapa pun yang pernah mendengarnya.

Sore itu, di rumah Ahmad Tohari yang sederhana, saya mengerti satu hal: kisahnya bukan sekadar tentang masa lalu, tapi juga pengingat agar kita tak lupa.

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *