Maaf

Keramaian Idul Fitri di Indonesia telah hampir usai. Sudah hampir waktu untuk kembali ke rutinitas sehari-hari. Namun karena teknologi informasi, ucapan tahniah dan permohonan maaf masih terus mengalir melalui gawai kita, bahkan dari orang-orang yang tidak berinteraksi dengan kita secara langsung.  

Sebagai perayaan keagamaan terbesar Indonesia, Idul Fitri atau Lebaran menjadi puncak kehidupan masyarakat Indonesia, selain peringatan kemerdekaan. Suasana penuh kegembiraan dan keakraban dapat dirasakan di seluruh penjuru negeri. Sejak malam takbiran, yang menandai akhir bulan Ramadhan, suasana Idul Fitri sudah mulai terasa.

Banyak suku memiliki tradisi khusus untuk merayakan Lebaran, seperti tradisi Kupatan di Jawa dan Lebaran Topat di Lombok, serta Grebeg Syawal di Keraton Yogya dan Solo. Bahkan muncul tradisi-tradisi baru Lebaran seperti Sekura di Lampung atau Lopis Raksasa di Pekalongan. Dan tentunya, tradisi mudik massal yang penuh keriaan walaupun juga penuh tantangan transportasi.  

Berbeda dengan di Indonesia, Idul Fitri tidak dirayakan besar-besaran di tanah kelahiran Islam. Di jazirah Arab, hari raya terbesar adalah Idul Adha, sementara Idul Fitri hanya ditandai dengan shalat Id. Di Arab Saudi, Idul Adha menjadi ritual besar, sebagai bagian ibadah haji yang berpusat di Tanah Suci Mekkah. Di negara-negara Arab lain, Idul Adha menjadi momen berbahagia karena setidaknya pada hari itu semua orang dapat menikmati daging yang dibagikan oleh mereka yang mampu kepada mereka yang tidak mampu.

Perbedaan budaya ini menunjukkan kekhasan ritual keagamaan yang dibentuk oleh budaya lokal, tanpa kehilangan esensi ajaran agama itu sendiri. Walaupun tidak ada dalam tradisi Arab, tradisi Idul Fitri kita untuk berkumpul bersama keluarga, bersilaturrahmi, saling memberi bingkisan, dan saling bermaafan adalah kebiasaan yang membawa nilai-nilai ajaran Islam.  

Keramaian dan tradisi Idul Fitri di Indonesia sebetulnya justru dapat menjawab kebimbangan sementara orang setelah meluasnya pandangan bahwa berislam harus sama persis dengan yang ada di tanah kelahirannya. Pandangan ini mengabaikan konteks di mana kita hidup dan kaidah al-‘adat al-muhakamah (adat/tradisi dapat dijadikan aturan)—tentu saja sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sebagaimana ucapan Gus Dur, kita harus mampu membedakan secara bijak antara ajaran Islam dan budaya Arab. Kebiasaan yang berbeda dalam kedua hari raya menjadi bukti bahwa kita dapat hidup dengan budaya Nusantara yang selaras dengan nilai islami, tanpa harus mempertentangkan keduanya.

Sebagai contoh adalah kebiasaan saling memohon maaf. Meminta dan memberi maaf disebut dalam beberapa konteks dalam kitab suci Al Quran, di antaranya, dalam ayat qishash (hukuman balasan yang setimpal, misalnya dalam kasus pembunuhan). Walaupun tidak menjadi tradisi dalam ritual hari raya di negara-negara Timur Tengah, tradisi khas Idul Fitri di Indonesia tersebut justru menjadi pengamalan nilai islami. 

Walaupun dapat meleset menjadi ritual yang dangkal dan basa-basi belaka dan karenanya sering dianggap remeh, tradisi bermaafan dalam Idul Fitri sejatinya memiliki fondasi proses mental yang dalam. Dibutuhkan kekuatan dan kebesaran jiwa untuk meminta maaf, apalagi untuk memberi maaf.

Dalam artikel Psychology of Forgiveness: 10+ Fascinating Research Findings (2020)Jeremy Sutton mengutip pandangan Direktur the Stanford University Forgiveness Project Dr Frederic Luskin bahwa belajar untuk memaafkan membuat individu menjadi lebih tangguh secara fisik dan psikis.

Luskin memimpin riset yang melibatkan keluarga-keluarga yang kehilangan anggota keluarganya akibat konflik politik di Irlandia Utara. Melalui forgiveness training, para ibu yang bertahun-tahun hidup dengan perasaan tidak berdaya dan luka batin yang dalam akhirnya dapat mengurangi rasa sakit dan depresi yang mereka alami.

Memaafkan dan mengikhlaskan menjadi kunci untuk menutup bab sejarah yang kelam. Kesadaran akan hal inilah yang membuat Nelson Mandela memimpin warga Afrika Selatan berproses melampaui luka sejarah negaranya dengan rekonsiliasi nasional.

Memberi maaf membebaskan diri kita dari kanker emosi yang menggerogoti mental psikologis, sebab sebagaimana kata pepatah: holding a grudge is like drinking poison but expecting others to die–menyimpan luka hati sama halnya dengan kita minum racun, tapi mengharapkan pihak lain yang mati. 

Di pihak lain, banyak juga ahli jiwa yang berpendapat bahwa tidak semua hal dapat dan perlu dimaafkan karena keadaan dapat memburuk. Memaafkan tidak boleh disamakan dengan menerima apa adanya, berdamai, atau melupakan; demikian menurut Peg Steer dalam artikelnya When You Should and Should Not Forgive di laman Psychology Today (2014).

Apabila dipaksakan kepada korban untuk memaafkan, Steer mengutip riset Lucies dan Finkel, yang terjadi kemudian adalah Doormat Effect: korban semakin terpuruk, merasa tidak berharga sebagai manusia, serasa keset karena tidak berdaya menghadapi pelaku.   

Adalah tidak bijak untuk memberi maaf apabila pelaku terus mengulangi perbuatannya, atau apabila itikadnya memang sengaja menyakiti. Keadilan harus menjadi dasar dari proses mengikhlaskan, sebagaimana pendekatan Truth and Reconciliation dari Nelson Mandela.

Saya pun tiba-tiba tersadar. Bagaimana dengan bangsa kita? Di tengah tradisi memaafkan yang tulus, apakah kita perlu memaafkan perilaku-perilaku pejabat publik yang melukai harkat dan martabat kita sebagai bangsa? Akankah kita terus menjadi keset mereka? Oh, tentu tidak! 

Kepada pejabat publik yang diberi mandat oleh rakyat tapi terus mengulangi perbuatan korup dan zalim terhadap rakyat, di waktu yang mulia ini, kita perlu sanggup berkata: Kami mohon maaf lahir dan batin karena kami tidak bisa memaafkan tindakan-tindakan Anda!





_______________

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 6 April 2025

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *