Tahun ini genap sembilan tahun saya merantau di Jakarta. Meski belum terlalu lama, saya cukup menyaksikan perubahan signifikan di ibu kota tercinta ini, terutama dalam hal transportasi publik. Ketika pertama kali tiba pada 2016, pilihan transportasi umum masih sebatas: angkot, bus Transjakarta, dan KRL. Kini, deretannya bertambah—MRT, LRT, hingga mikrotrans turut hadir. Penambahan ini demi menjawab kebutuhan mobilitas warga, sekaligus menjawab persoalan klasik yang selalu jadi janji kampanye pemilihan gubernur: kemacetan.
Namun, sejauh yang saya amati, kemacetan tak juga berkurang. Jalanan justru kian sesak oleh sepeda motor dan mobil pribadi. Padahal, pilihan transportasi umum kini jauh lebih beragam dan modern.
“Beli mobil listrik menarik juga, ada insentif pajaknya,” ujar rekan kerja saya suatu kali. Ia sudah memiliki satu mobil, dan kini tergoda menambah satu lagi—kali ini mobil listrik—agar bisa bebas aturan ganjil-genap. Sebelumnya, ia bahkan sempat mempertimbangkan membeli mobil bekas dengan pelat nomor berbeda agar bisa bergantian digunakan tiap hari.
Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya membeli kendaraan bermotor di negeri ini. Cukup KTP dan syarat administratif lain, mobil bisa dipesan dan diantar langsung ke rumah. Bahkan atas nama convenience[1], pesan mobil dan motor sudah bisa lewat toko daring! Semua kemudahan ini hadir tentu karena dukungan negara. Tapi pertanyaannya: benarkah negara serius ingin mengurai kemacetan? Bukankah kemudahan menambah kendaraan pribadi justru bertentangan dengan semangat menggalakkan transportasi publik?
Sering kita dengar, masalahnya ada di mindset (pola pikir) warga yang enggan beralih ke transportasi umum. Tapi, tidakkah kita bertanya lebih dulu: mengapa warga enggan menggunakannya? Apakah halte atau stasiun menjangkau semua kawasan, bukan hanya kantor-kantor elite? Apakah tarifnya benar-benar terjangkau untuk semua kalangan? Dan bukankah tugas pemangku kebijakan juga membujuk dan mengarahkan warganya, bukan sekadar menyalahkan kebiasaan?
Sedangkan dalam beberapa tahun belakangan, kita dibuat bertanya-tanya, seberapa serius pengembangan transportasi publik di negara ini? Yang terlihat negara secara tak langsung merangsang masyarakatnya membeli banyak kendaraan pribadi, alih-alih membiasakan diri menggunakan transportasi umum. Lihat saja, proyek-proyek infrastruktur kita diwarnai peresmian jalan tol.[2] Padahal jalan tol bersifat komersial dan tak semua warga mampu mengaksesnya.
Sementara itu, konektivitas antarpulau dan antarprovinsi lewat moda publik seperti kereta api atau kapal laut masih banyak pekerjaan rumahnya. Tidak ada penambahan jalur rel kereta baru yang signifikan di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Selain hanya menambah dan memperkuat jalur rel yang eksisting. Kita lebih suka membangun bandara internasional, yang tentu saja tidak murah bagi masyarakat kecil, ketimbang memperbanyak armada laut yang lebih terjangkau dan inklusif.
Saya pun tak bisa tidak merasa iri pada ibu kota ini. Di kota kelahiran saya di Dumai, angkot sudah “mati segan, hidup tak mau”. Ayah saya seorang supir angkot sudah merasakannya saat saya SMA. Perlahan penumpang mulai sepi. Para supir menyalahkan kemudahan mengkredit motor, sehingga banyak orang memilih menggunakan kendaraan pribadi itu. Setelah angkot meredup, tak ada pengembangan transportasi semasif Jakarta. Jangan harap ada kereta api. Itu cuma kemewahan yang dimiliki di beberapa ibu kota provinsi saja.
Banyak orang menganggap investasi di transportasi publik terlalu mahal dan terkesan tidak rasional secara ekonomi. Kita takut kereta yang dibangun akan sepi penumpang. Tapi mengapa kita tidak khawatir saat banyak jalan tol di daerah di luar Jawa justru sepi pengguna? Kita seolah lebih senang mendorong masyarakat membeli kendaraan pribadi demi mobilitas dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Tapi, benarkah itu solusi jangka panjang?
Di Jakarta, justru penumpukan kendaraan pribadi itulah yang menghambat mobilitas. Sementara itu, sektor ekonomi yang diuntungkan hanya industri otomotif dan turunannya. Berapa banyak waktu yang hilang akibat kemacetan? Berapa besar kerugian logistik akibat keterlambatan distribusi barang?
Belum lagi dampak lingkungannya. Semakin banyak kendaraan bermotor berarti semakin tinggi emisi polusi. Kualitas udara menurun drastis. Lalu, jika solusinya beralih ke kendaraan listrik, artinya kita akan menghadapi lonjakan konsumsi listrik. Padahal, listrik yang negara ini hasilkan masih dari pembangkit listrik yang berasal dari energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi,[3] yang membawa pengaruh buruk ke lingkungan hidup.
Banyak negara dan kota di dunia, mulai menghitung kerugian dari penumpukan kendaraan di jalanan. Pelebaran jalan di AS misalnya, justru memicu lonjakan volume lalu lintas baru (induced demand), bukannya malah mengurangi kemacetan.[4] Akibatnya, kota-kota makin tergenang oleh mobil tanpa penyediaan transportasi alternatif. Sementara itu, minimnya penganggaran perbaikan menyebabkan infrastruktur jalan cepat rusak. Lalu di Brasil, kualitas jalan menurun dengan banyaknya jalan berlubang, yang diyakini disumbang dari parahnya kemacetan.[5] Berkaca pada kedua itu, patutlah kita beranggapan bahwa menseriusi pembangunan transportasi publik adalah keniscayaan.
Richard D. Wolff, seorang ekonom Marxis asal AS, pernah mengatakan bahwa menambah kendaraan pribadi adalah tindakan irasional dibandingkan membangun transportasi publik. Baginya, transportasi massal seperti bus dan kereta jauh lebih murah, efisien, dan ramah lingkungan. Sistem kapitalis, kata dia, sering kali mendorong kebijakan yang menguntungkan individu dan korporasi, namun merugikan masyarakat luas dan lingkungan.[6]
Di AS, warganya memang nyaris diwajibkan punya mobil karena buruknya sistem transportasi umum antarnegara bagian. kalau mau lebih nyaman pilihannya ialah pesawat terbang yang sudahlah mahal, pelayanannya sering dapat sinisme oleh warga AS sendiri.[7] Berkaca pada AS, kita tentu tidak ingin mengikuti jalan serupa.
Sudah saatnya kita, warga sipil, mendorong pemerintah kita untuk punya perhatian serius dalam mengembangkan transportasi publik yang nyaman, masif dan inklusif bagi semua orang dan seluruh kelas ekonomi. Banyak dari kita memang memakai kendaraan pribadi, tetapi itu bukan soal “mindset” semata. Itu karena pilihan lain yang nyaman nyaris tidak ada. Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan warga dengan alasan, “ini soal kebiasaan masyarakat”. Justru kita minta negara untuk hadir dan bertanggung jawab menyediakan solusi yang benar-benar nyata.
[1] https://gusdurian.net/2024/12/17/convenience-isme-antara-kemudahan-dan-ketimpangan/
[2] Dari tahun 2015-2023 Indonesia telah membangun 2.050 km jalan tol, lihat: https://ekonomi.bisnis.com/read/20241018/9/1808574/10-tahun-instrumen-apbn-fondasi-kuat-menuju-indonesia-emas-2045
[3] Sebanyak 85% pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan energi fosil, mayoritas batu bara, sisanya minyak bumi. Sumber: https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/61842/energi-fosil-dominasi-85-listrik-ri-pada-2024-ebt-baru-15-gw/2?utm_source=chatgpt.com
[4] Baca lebih lanjut di https://www.theguardian.com/business/2024/feb/29/biden-spending-highways-public-transport-climate-crisis#:~:text=Of%20reported%20funds%20dispersed%20to,cars%20and%20therefore%20more%20congestion. Adapun di Detroit, AS, sistem transportasi publik atau transit sangat terbatas: 65% rumah tangga yang bergantung transit tinggal lebih dari 10 menit untuk jalan kaki menuju halte, dan hanya 22% pekerjaan di wilayah kota yang dapat dicapai dengan transit dengan waktu tempuh 90 menit. Bisa baca lebih lanjut: https://www.transportation.gov/sites/dot.gov/files/docs/MI%20Detroit.pdf#:~:text=In%20no%20other%20mid,a%2090%20minute%20fixed%20route. Akibatnya, sebagian besar penduduk terpaksa menggunakan mobil.
[5] Investasi transportasi di Brazil tahun 2023 hanya sedikit di atas 0,5% PDB, jauh di bawah yang dibutuhkan, sehingga banyak jalan berlubang dan infrastruktur utama rusak. Baca lebih lanjut di: https://www.riotimesonline.com/brazils-24-year-struggle-with-transportation-infrastructure-investment/#:~:text=However%2C%20subsequent%20administrations%20failed%20to,of%20the%20Workers%E2%80%99%20Party%20governments
[6] Berikut cuplikan opini Wolff di: https://www.youtube.com/watch?v=ZIOaAy6IudA. Atau selami pemikiran kerennya di: https://www.youtube.com/watch?v=6srK91We6Ds atau saluran youtube miliknya “Democracy At Work”.
[7] Pengalaman terbang di kelas ekonomi di AS sangat tidak nyaman dan terus menurun kualitasnya. Hal ini disebabkan oleh antrean panjang, bandara yang padat, fasilitas yang semakin berkurang, dan ruang kaki yang semakin sempit. Sementara itu, penumpang kelas atas menikmati fasilitas mewah. Sumber: https://www.businessinsider.com/fly-economy-america-airline-bad-2017-6