Dulu, saat masih sekolah, makanan saya sederhana, tapi cukup bikin kenyang. Sup bening, tongkol kalau sedang beruntung, tahu-tempe, sambal, dan nasi hangat. Minumnya? Air PDAM yang sudah direbus ibu. Kalau ibu telat masak atau sedang sibuk, biasanya saya dibekali uang jajan lebih untuk makan di warung depan sekolah. Tahun itu, 500 rupiah cukup buat beli nasi dan lauk. Sekarang? Dengan 5.000 rupiah, paling dapat ayam geprek dengan sambal yang porsinya lebih banyak dari ayamnya.
Anak-anak sekolah sekarang lebih beruntung, katanya. Mereka dapat Makanan Bergizi Gratis (MBG), program nasional yang dijanjikan presiden saat kampanye. Gratis sih, tapi bayar. Eh, gimana maksudnya?
Jadi begini, MBG yang diberikan ke anak-anak sekolah ini membuat negara harus melakukan efisiensi anggaran. Kalau sekadar efisiensi untuk memastikan program berjalan baik, tentu tidak ada masalah. Tapi kalau hasilnya adalah PHK besar-besaran bagi pekerja kontrak di instansi pemerintah, tentu ada harga yang harus dibayar. Belum lagi, MBG juga meninggalkan jejak sampah yang tidak main-main: sisa makanan dan plastik sekali pakai yang jumlahnya luar biasa.
Efisiensi Anggaran, Tapi Siapa yang Dikencangkan Ikat Pinggangnya?
Untuk menjalankan MBG, negara harus menggelontorkan Rp460 triliun rupiah per tahun. Angka yang besar ini tentu membutuhkan strategi khusus agar anggaran tetap bisa dialokasikan dengan baik. Solusinya? Pemangkasan anggaran di berbagai sektor dan efisiensi di kementerian serta lembaga negara.
Dampaknya? PHK massal di berbagai instansi pemerintah. TVRI dan RRI menjadi contoh yang paling banyak diperbincangkan. Pegawai kontrak di berbagai kementerian juga banyak yang kehilangan pekerjaan karena kebijakan ini. Yang menarik, sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan tidak ada rencana PHK bagi tenaga honorer di lingkungan pemerintah. Tapi nyatanya? Banyak yang tetap kehilangan pekerjaan. Jadi kita belajar sesuatu dari sini: yang benar-benar bisa dipercaya hanyalah Tuhan dan diri sendiri. Dan ini baru satu sisi dari program MBG.
Gratis Katanya, Tapi Bumi yang Bayar Mahal
Bulan Ramadan tiba dan program MBG tetap berjalan. Masalahnya, makanan yang dibagikan harus tahan lama agar tidak cepat basi. Solusinya? Makanan instan dalam kemasan plastik. Praktis, mudah didistribusikan, dan tentu saja: menambah gunungan sampah plastik yang sudah jadi masalah akut di negeri ini.
Coba kita hitung. Tahun 2024, produksi plastik dunia mencapai 400 juta ton per tahun, dan Indonesia dengan bangga menempati posisi penghasil polusi plastik terbesar ketiga di dunia, dengan angka 3,4 juta metrik ton per tahun. Dari jumlah ini, hanya 9% yang berhasil didaur ulang. Sisanya? Mengotori laut, menyumbat sungai, atau menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang masih menggunakan sistem open dumping.
Mikroplastik dari sampah yang terurai bahkan sudah ditemukan di otak manusia, menurut penelitian terbaru yang dikampanyekan oleh Ecoton. Tapi alih-alih mengurangi plastik, pemerintah malah menambah penggunaannya melalui MBG.
Dari program ini saja, satu siswa menghasilkan sekitar 50 gram sampah plastik per hari. Jika dikalikan dengan 6 juta siswa penerima MBG, maka setiap harinya ada 300 ton sampah plastik baru yang dihasilkan hanya dari program ini. Selama bulan Ramadan? 4.200 ton. Dalam setahun? 76.500 ton plastik sekali pakai. Dan ini baru dari plastiknya saja.
Sampah Makanan: Bukan Sekadar Sisa, Tapi Pemicu Krisis
Masalah lain yang tidak kalah serius adalah sampah makanan. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN), 39% dari total 70 juta ton sampah di Indonesia adalah sisa makanan. Artinya, hampir separuh dari sampah yang kita hasilkan berasal dari makanan yang terbuang sia-sia.
Kalau setiap siswa MBG menyisakan 50 gram makanan per hari, maka dalam setahun program ini menghasilkan 76.500 ton sampah makanan yang membusuk. Sampah ini bukan hanya jadi masalah logistik, tapi juga masalah iklim.
Sampah makanan yang membusuk akan menghasilkan gas metana (CH4), salah satu gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat dari karbon dioksida (CO2) dalam menjebak panas di atmosfer. Dengan kata lain, semakin banyak makanan yang terbuang, semakin cepat kita mempercepat pemanasan global. Tapi masalahnya tidak berhenti di situ.
Untuk memastikan pasokan makanan dalam MBG tetap stabil, kita butuh lebih banyak produksi pangan. Apa dampaknya? Deforestasi semakin masif. Hutan dibabat untuk ladang pertanian, habitat satwa liar hilang, dan emisi karbon meningkat. Alih-alih mengurangi dampak perubahan iklim, kita justru mempercepatnya. Dan ini semua demi program makan siang gratis?
Krisis Iklim dan Ketimpangan Sosial: Siapa yang Sebenarnya Menanggung Beban?
Program MBG memang mengenyangkan perut anak-anak sekolah. Tapi siapa yang harus membayar dampak sosial dan ekologisnya?
Di satu sisi, kita melihat masyarakat bawah yang kehilangan pekerjaan akibat efisiensi anggaran. Di sisi lain, kita melihat lingkungan yang semakin rusak akibat kebijakan populis yang tidak berpikir panjang.
Sementara pemerintah sibuk bertepuk tangan untuk program populisnya, krisis iklim semakin menjadi, ketimpangan sosial makin melebar, dan bumi semakin kelelahan menanggung beban.
Jadi, ini masih bisa disebut makanan bergizi? Atau justru makanan bencana bagi lingkungan dan masyarakat?