Februari 2025, saya berkesempatan mengikuti Program for Cultural Leaders, undangan The Japan Foundation. Saya difasilitasi untuk bertemu dan berdiskusi dengan individu-lembaga dan lembaga-lembaga yang selaras dengan tema fokus saya.
Saya bersemangat menerima undangan ini karena sejak lama saya tertarik dengan sejarah dan kultur bangsa Jepang. Tepatnya, sejak membaca novel Musashi karya Eiji Yoshikawa. Musashi si pendekar yang gigih mencari makna hidup dan mengekang segala dorongan egonya.
Yoshikawa memperdalam ketertarikan itu melalui serial novel Taiko yang menggambarkan dinamika Toyotomi Hideyoshi, Oda Nobunaga, dan Tokugawa Ieyashu di masa para Daimyo membuat kisruh kekuasaan Shogun. Kultur elite Jepang tergambar sangat sophisticated di sini.
Tahun 1997, saya meriset muatan bias jender dalam komik Jepang yang sedang mewabah di Indonesia, yaitu Sailor Moon, Candy-Candy, dan Doraemon. Saya kembali mendalami penggal sejarah yang berbeda: budaya Jepang modern yang diwarnai dengan pesatnya industri manga dan anime.
Terakhir, melalui komik Natane (Nijiiro Tougarashi) karya Mitsuru Adachi, saya terlempar kembali ke masa Jepang kuno, saat pengaruh dunia Barat mulai masuk ke Edo di akhir masa Shogunate. Komik ini sangat cerdas menjabarkan konteks masa itu.
Maka, undangan The Japan Foundation pun saya manfaatkan untuk mendalami bagaimana Jepang berkali-kali mengalami transformasi sosial yang masif dan terus berjaya hingga saat ini. Dari kerajaan kuno, masa Shogun, masa Daimyo, masa Restorasi Meiji, masa Perang Dunia, sampai menjadi Jepang modern yang unggul dalam bidang ekonomi dan teknologi, setiap penggal sejarahnya membawa perubahan signifikan.
Keseluruhan proses ini terjadi dalam delapan abad saja apabila dihitung sejak masa Shogunate di akhir abad ke-12. Bahkan di beberapa penggal sejarah, perubahan sosial politik ekonomi signifikan dirasakan dalam 25 tahun seperti durasi Restorasi Meiji dan rekonstruksi pasca-Perang Dunia II.
Dari imperialis dengan Kaisar berkuasa penuh, Jepang mengalami desentralisasi di masa Shogun dan Daimyo yang berujung pada perang lokal antar-Daimyo seperti Tokugawa dan Ieyashu. Di masa ini, pengaruh dunia Barat dipandang dengan skeptis, Jepang mengambil sikap protektif dan memilih isolasi diri, sampai akhirnya Kaisar Jepang meluncurkan Restorasi Meiji yang progresif dan terbuka terhadap perubahan.
Dalam sejarah peradaban modern, Restorasi Meiji adalah salah satu contoh rekayasa sosial yang paling menakjubkan. Dari menutup diri, menjadi terbuka penuh dan mengadopsi budaya baru yang ditawarkan masyarakat Eropa dan Amerika Utara. Sistem politik elite dihapuskan sehingga rakyat biasa pun mulai memiliki hak politik yang setara dengan para samurai dan klan-klan Daimyo.
Perubahan sosial dikendalikan penuh oleh Kekaisaran, dengan penguatan fondasi perubahan seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Jepang secara serius berinvestasi pada pendidikan (mirip yang dilakukan oleh Kerajaan Arab Saudi dalam dekade terakhir).
Restorasi Meiji menggeser Jepang dari negara feodalistik yang bertumpu dari ekonomi agraria menjadi negara industrial modern dengan fokus pada pembangunan kekuatan militer dan ekonomi. Fokus ini yang kemudian menggoda Jepang untuk membangun imperialisme Asia.
Ambisi ini kemudian menjerumuskan Jepang dalam Perang Dunia II yang kelam, di mana Jepang mengalami kekalahan dan kehancuran total. Namun, tiga dekade sejak bom atom 1945, Jepang telah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor dua tertinggi di dunia. Negara Jepang dinyatakan merdeka pada tahun 1952, dengan sistem demokrasi penuh dan kaisar menjadi simbol budaya dan sejarah.
Rekonstruksi Jepang pasca-1945 dilandaskan pada kekuatan ekonomi nonmiliteristik, menggunakan pendekatan Edward Deming (1951) yang berfokus pada industri produk berkualitas. Sejak itu, Jepang dikenal sebagai pusat dunia untuk produk teknologi berkualitas, produk mobil berkualitas, dan industri lain yang memimpin sektornya di dunia.
Perjalanan sejarah Jepang menunjukkan kekuatan dari visi para pemimpinnya. Di setiap penggal sejarah Jepang, pemimpin merumuskan visi dan strategi perubahan. Setiap dimensi perubahan yang fundamental mendapatkan prioritas, dan dirangkai secara komprehensif. Investasi pada perubahan kultural juga dilakukan, memudahkan warga Jepang untuk mengadopsi watak baru dari era baru saat itu. (Sesuatu yang sangat berbeda dengan pengalaman di Indonesia modern, di mana warga seperti memproses dirinya sendiri).
Komitmen para pemimpin ini dibarengi dengan resiliensi warga Jepang. Mereka tidak terjebak pada kubangan kesalahan dan kegagalan bangsa, tetapi langsung berfokus pada masa depan. Sejarah kelam tidak disembunyikan atau dibiarkan tanpa penyelesaian, tetapi diakui dan segera move on. Saat berkunjung ke Museum of World Peace di Ritsumaken University, banyak memorabilia dan tampilan dari wilayah-wilayah yang menjadi korban imperialisme Jepang.
Kemampuan mereka beradaptasi pada hal baru dibarengi dengan tetap kuatnya akar kultural warga Jepang. Walaupun gaya hidup modern sangat dominan, budaya Jepang masih sangat kuat. Mengambil kaidah islami yang sangat terkenal di lingkungan pesantren, perubahan sistemik Jepang menjadi wujud mempertahankan tradisi lama yang baik sambil menyerap kemajuan yang lebih baik (al-muhafadzah ala al-qadim as-shalih wa akhdzu bi al-jadid al-ashlah). Kaidah ini membuat kita mampu mengikatkan diri pada akar jati diri kita tanpa bersikap apriori kepada modernitas, dari mana pun datangnya.
Satu-satunya yang konstan dalam kehidupan adalah perubahan. Tetapi bagaimana kita mengelola perubahan tersebut, akan sangat menentukan bagaimana dampak dari perubahan tersebut.
Rasanya Indonesia perlu belajar tentang perjalanan perubahan Jepang. Begitu banyak beban sejarah yang belum usai dan begitu banyak pekerjaan rumah untuk mendorong transformasi Indonesia. Semoga.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 25 Mei 2025