Pancasila Hari Ini: Masih Teori atau Sudah Implementasi?

Tangis pasangan suami istri, Gimson Beni Butarbutar dan Yusniati Sibarani pecah saat anaknya dinyatakan meninggal dunia. Anak berusia delapan tahun yang menjadi aset di keluarganya dengan ribuan harapan yang disematkan orang tuanya itu harus meregang nyawa usai dikeroyok oleh kakak kelasnya. Bukan karena kejahatan, bukan pula karena kesalahan yang sepele, bocah tersebut kerap kali menjadi korban bully dari kakak kelasnya karena dengan alasan suku dan agamanya berbeda.

Intoleransi bukan hanya terjadi di kalangan orang dewasa dengan perilaku membubarkan ibadah atau menolak pendirian rumah ibadah. Intoleransi yang merebak di tanah air sudah sampai pada perilaku anak-anak di bawah umur. Teks Pancasila yang sering kita temui saat masih sekolah di ruang kelas yang terpampang bersama foto kepala negara tidak lebih hanya sebagai hiasan kelas belaka.

Tepat delapan puluh tahun yang lalu, Soekarno berpidato di sidang BPUPKI untuk merumuskan dasar negara yang menjadi pandangannya. Sang proklamator memberikan nama Pancasila. Terlepas dari kontroversi Hari Lahir Pancasila yang menjadi perdebatan hingga saat ini, Pancasila menjadi harapan dari para pendiri bangsa supaya seluruh Bangsa Indonesia dapat menjalankan kehidupan dalam harmoni yang indah. Tidak hanya sampai di sana, semboyan Bhineka Tunggal Ika juga menjadi kebanggaan bangsa Indonesia yang bisa mempersatukan ribuan keragaman, baik suku, agama, ras, budaya dan kelompok.

Selama berdirinya negeri ini dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai kebanggaan tentu tidak mudah dilalui tanpa rintangan. Berbagai macam konflik bahkan sampai terjadi kekerasan mungkin sudah dirasakan di dalam negara ini  menjadi tantangan tersendiri sebagai negara yang majemuk. Tercatat beberapa konflik terjadi yang menyangkut perbedaan, misalnya Tragedi 1965, Konflik Poso, Konflik Ambon, Konflik Dayak-Madura, Peristiwa Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Papua Merdeka, Peristiwa ‘98, dan masih banyak lagi.

Agama menjadi salah satu alasan yang mudah untuk dipecah belah saat ini. Berbagai macam tindakan yang membawa pada kebencian, konflik bahkan kekerasan terjadi akibat penganut agama yang tidak bisa menghormati penganut agama lainnya. Mengapa agama menjadi alasan untuk sekelompok orang melakukan kekerasan terhadap kelompok yang berbeda? Apakah ajaran agama yang penuh kasih, rahman-rahim, serta ajaran kebaikan itu tidak diamalkan dengan baik?

Tentu semua agama pasti mengajarkan kebaikan, walau kebenarannya bersifat subjektif. Ajaran agama yang menebarkan kebaikan itu tidak selamanya diamalkan secara baik karena tingkat kecerdasan dan toleransi di dalam pemikiran masyarakat juga berbeda-beda. Sangat disayangkan, pengamalan ajaran yang baik itu tidak bisa dimiliki oleh setiap penganut mayoritas di suatu negara. Tidak semua Muslim di Indonesia memiliki sikap saling bertoleransi, tidak semua masyarakat Buddha Thailand memiliki sikap toleransi, dan tidak semua masyarakat Hindu India memiliki sikap toleransi. Ini menjadi permasalahan yang serius karena sikap intoleran dimiliki justru oleh kalangan mayoritas sehingga konflik-konflik yang ada susah untuk diatasi.

Di Indonesia bukan tidak diatur mengenai agama itu sendiri. Bahkan saking seriusnya negara memperhatikan agama, konstitusi (UUD 1945) mengamanatkan tersendiri dalam Pasal 29, serta pelaksanaannya dilihat dalam hadirnya Kementerian Agama yang mayoritas negara di dunia tidak memilikinya. Hal ini juga yang menjadikan Indonesia dinobatkan sebagai negara yang paling religius di dunia. Tapi sayangnya dengan religiusitas ini jatuh kepada fanatisme agama.

Pembubaran ibadah, penolakan pembangunan tempat ibadah, diskriminasi kalangan minoritas kerap kali terjadi beberapa tahun terakhir. Dengan banyaknya kasus-kasus yang serupa, rasanya belum ada tindakan yang serius yang dilakukan oleh pemangku kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Bukan aturannya tidak ada, tetapi bisa jadi atensi dari pemerintah belum bisa menangani hal ini dengan serius, atau bahkan perlu ketegasan yang terdapat dalam aturan itu sendiri sehingga aturan yang sudah ada perlu untuk ditinjau kembali.

Sangat disayangkan, perilaku intoleransi kerap kali dilakukan juga oleh anak-anak di bawah umur, penghinaan, perundungan bahkan menyebabkan nyawa melayang telah kita saksikan bersama baru-baru ini. Entah dari mana perilaku intoleransi itu ada pada anak-anak bangsa Indonesia, apakah datang dari kurikulum sekolahnya, atau dari pendidikan keluarganya atau bahkan pengaruh tontonannya di media sosial?

Hemat penulis, dari mana pun sumbernya harus menjadi perhatian serius dari para pemangku kebijakan dan masyarakat umum serta para guru yang ada di sekolah. Negara harus bisa memberikan batasan dan aturan tegas untuk para penceramah yang menyebarkan khotbah-khotbah berbau provokasi. Negara tidak boleh membatasi hak warga negaranya dalam berpendapat dan berekspresi. Sebaliknya, perlindungan terhadap keselamatan jiwa raga warga negaranya adalah nomor satu daripada sekedar hak untuk berbicara semata. 

Kalangan yang aktif menyuarakan perdamaian juga perlu berusaha memberikan arahan kepada keluarga yang dinilai eksklusif dalam beragama, setidaknya dapat memengaruhi anak-anaknya supaya dapat diarahkan menjadi pribadi yang inklusif dalam beragama karena tidak menutup kemungkinan pula lingkungan pertemanannya juga membawa pengaruh yang besar terhadap pola pikir dan tindakannya. Pembatasan pada perilaku anak juga perlu dilihat dalam hal penggunaan media sosial. Tindakan yang tegas dalam menggunakan media sosial perlu diterapkan oleh negara, karena melindungi anak tidak harus melalui perlindungan dari bahaya kekerasan fisik dan mental saja, tetapi bahaya anak dari paparan negatif media sosial juga merupakan upaya perlindungan anak.

Lingkungan sekolah juga perlu memperhatikan bagaimana perkembangan anak-anak peserta didiknya di sekolah tersebut. Jangan sampai hal-hal kecil yang dapat menjadikannya hal besar terjadi akibat ketidakprofesionalitasan tenaga pengajar. Tenaga pengajar tidak boleh mewajarkan tindakan perundungan sekecil apa pun tindakan tersebut, apalagi sudah menyinggung SARA.

Terakhir, bagi siapa saja yang membaca tulisan ini, sadarlah bahwa kita ini hidup di zaman yang sudah berbeda. Bukan ayat kitab suci yang perlu diubah, tetapi interpretasi terhadap ajaran kitab suci itu yang harus adaptif, supaya bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang pasti terjadi. Karena kitab suci itu turun di tengah masyarakat yang tidak hampa terhadap ruang budaya, maka untuk menghadapi masyarakat dan budaya yang ada diperlukan ajaran-ajaran yang inklusif, dan terbuka terhadap perbedaan.

Delapan puluh tahun pasca-kelahirannya dalam Sidang BPUPKI, Pancasila harus menjadi solusi untuk bisa kita banggakan di hadapan bangsa-bangsa di dunia ini. Pancasila diharapkan benar-benar hidup dalam lingkungan masyarakat serta hati sanubari bangsa Indonesia, bukan hanya sekedar hiasan tembok belaka,

Selamat Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2025.

Penggerak Komunitas GUSDURian Bandung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *