Dalam rangka menyambut Konferensi Pemikiran Gus Dur pada Agustus mendatang, Jaringan GUSDURian menggelar Forum Demokrasi (Fordem) GUSDURian secara daring pada Jumat, 27 Juni 2025 malam. Pada pertemuan kali ini, tema yang diangkat adalah “Gus Dur dan Keadilan Ekologi”.
Acara yang dipandu langsung oleh Inayah Wahid ini menghadirkan narasumber praktisi dan pakar di bidang lingkungan, yaitu Eko Cahyono dari Sajogyo Institute serta Nissa Wargadipura dari Pesantren At-Thaariq Garut.
Inayah, dengan gaya santai dan penuh guyon membuka acara dengan istilah “Wahabi Lingkungan” yang santer dibicarakan di media sosial. Istilah ini menggelitik sebab terjadi perubahan tone dari negatif menjadi positif.
Banyak orang menyebut wahabi lingkungan sebagai orang-orang yang menegakkan keadilan ekologi dan lingkungan. Inayah menyebut Gus Dur dulunya dikenal dengan label kiai liberal, lalu kini bisa menjadi “Imam Wahabi” karena concern dengan penegakan nilai dan isu-isu ekologis.
“Ketika Gus Dur selama ini selalu dapat cap, dapat cap liberal, dapat cap zionis. Kapan lagi Gus Dur bisa dapat cap wahabi? Ya kan?” kelakar putri bungsu Gus Dur tersebut.
Sementara itu, narasumber pertama Eko Cahyono yang biasa disapa Mas Eko memaparkan sosok Gus Dur yang lekat dengan nilai pluralisme dan kemanusiaan, justru masih sedikit dikaitkan dengan isu lingkungan. Ia mengambil contoh kutipan Gus Dur tentang pemuliaan kepada Tuhan adalah dengan memuliakan manusia ciptaan-Nya.
“Nah, bisa kita tafsirkan, maka memuliakan alam dan seluruh makhluk ciptaan-Nya berarti memuliakan penciptanya, dan sebaliknya merusak dan menistakan alam dan seluruh makhluk ciptaan-Nya berarti juga merusak dan menistakan penciptanya,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia juga menjabarkan sembilan nilai utama Gus Dur yang menyoroti isu ekologis secara tidak langsung. Misalnya nilai keadilan, kemanusian, dan pembebasan. “Manusia itu bagian integral dari alam semesta, sehingga tidak mungkin menghormati kemanusiaan manusia dengan menghilangkan sumber kehidupan yang manusia gantungkan. Kalau manusia itu namanya nelayan, ya kehidupannya laut,” tambahnya.
Eko tidak ketinggalan menyoroti kebijakan dan gerakan Gus Dur selama menjabat menjadi presiden. Menurutnya, Gus Dur telah banyak mendukung keadilan sosial-ekologis baik secara nasional maupun internasional. Eko membandingkan egosentrisme yang berpusat pada manusia dan antroposentrisme sebagai gambar kesetaraan, di mana manusia adalah bagian dari ekosistem.
Sejalan dengan Eko, Nissa Wargadipura bercerita mengenai keterlibatannya mengawal kebijakan-kebijakan pro-lingkungan yang diambil Gus Dur semasa kepemimpinannya. Menurutnya, TAP MPR nomor 9 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang disahkan pada masa Gus Dur membawa angin segar bagi para petani.
“Satu statement Gus Dur yang kemudian menjadikan petani-petani di wilayah Kabupaten Garut, Kabupaten Tasik, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Bandung, hingga Subang. Pada waktu itu saya adalah salah satu organizer petani-petani di wilayah Kabupaten Garut, Kabupaten Tasik, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Bandung, hingga Subang, yang kemudian mendirikan Petani Pasundan,” kenangnya.
Ia bercerita proses pendirian Pesantren At-Thaariq yang fokus terhadap pertanian berkelanjutan yang menggambarkan betapa dekatnya nilai religius dan ekologis. Nisa juga menyebutkan dampak positif agroteknologi benih lokal jika dibandingkan dengan revolusi hijau yang terkesan eksklusif dan gampang dimonopoli.
“Gerakan benih lokal ini yang sebenarnya berawal dari keadilan ekologis yang adaptif dan ekonomis. Dia efektif, mudah, dan sangat produktif. Dan tidak membutuhkan pupuk-pupuk input dari eksternal,” ungkapnya.
Ia menuturkan pengadaan pendidikan holistis santri yang memenuhi dan menjawab persoalan dunia termasuk neo-modernitas dan keberlanjutan ekologis. Santri At-Thaariq diajari merawat bumi sekaligus mengembangkan dan meningkatkan ketahanan pangan.
“Bahwa tantangan zaman itu sekarang adalah disrupsi, kemudian emosi, dan yang terakhir itu akhirnya pada kefatalan terhadap kehancuran ekologi. Kami menyusun target kurikulum, jadi ada integralisasi epistemologi pesantren ekologi,” pungkasnya.
Selepas pemaparan materi, Inayah Wahid membuka ruang diskusi dengan peserta yang bertanya secara aktif. Kemudian forum ditutup dengan pesan agar tidak lupa menghadiri Temu Nasional (TUNAS) yang sebentar lagi akan digelar pada tanggal 29-31 Agustus 2025.