Kini, digitalisasi tak hanya jadi tren, tapi menjelma menjadi fundamental banyak sendi kehidupan. Mulai dari layanan publik sampai kebutuhan sehari-hari.
Di tempat kerja saya saja, cukup banyak inovasi yang getol merambah bentuk digital mulai dari tanda tangan elektronik, aplikasi pembuatan surat, peminjaman alat secara digital hingga layanan kesehatan bagi karyawan yang pendaftarannya serba elektronik.
Selain alasan efisiensi, tumbuh asumsi bahwa digitalisasi berarti sama dengan ramah lingkungan. “Kalau digital, tentu paperless (tanpa kertas), tidak perlu menghambur-hamburkan kertas yang berasal dari pohon,” ujar salah satu kolega saya. Pernyataan ini tak salah, tapi tak sepenuhnya benar pula.
Sering kali kita menganggap, peralihan ke dunia digital membuat jarak terhadap dunia fisik. Seakan material fisik tak tersentuh. Seolah semua semesta digital ialah ruang maya yang berdiri sendiri. Padahal pengalaman berselancar di dunia internet dan digitalisasi disokong oleh keberadaan perangkat fisik.
Perangkat fisik ini mulai dari layar dan CPU komputer, laptop, hingga ponsel pintar dan berbagai perangkat keras lainnya ialah produk dari industri manufaktur. Dengan model ekonomi kapitalistik yang bertopang pada pertumbuhan produksi dan konsumsi, kita dihadapkan pada perangkat-perangkat itu, yang masa pakainya singkat. Itu artinya akan ada selalu ponsel pintar dan laptop baru yang akan terus diproduksi.
Sebagian besar pabrikan manufaktur seperti gawai digital tadi menghabiskan energi yang tak sedikit. Pun sumber energinya sebagian bukan berasal dari energi bersih. Seperti pabrik ponsel pintar di beberapa wilayah, di Batam misalnya, meski merakit ponsel dengan robotik dan tenaga listrik, namun sumber tenaga listrik yang diperoleh masih berasal dari pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil.[1]
Belum lagi bahan mentah (raw material) gawai-gawai tersebut. Mereka membutuhkan batu baterai untuk tetap aktif. Sementara bahan dasar batu baterai ialah mineral bumi seperti lithium, nikel, kobalt yang harus ditambang.[2] Kita tahu proses penambangan itu turut mengorbankan kelestarian alam. Tak jarang konflik lahan pertambangan antara masyarakat adat kerap terjadi. Belum lama ini pula orang-orang meributkan bekas tambang di pulau-pulau gugus Raja Ampat di Papua. Kalau saja tambang tak beroperasi di tempat wisata internasional, saya sangsi perhatian netizen di media sosial mengarah ke sana.
Semua lini produksi gawai digital ini diperkirakan setiap tahun terus bertumbuh. Apalagi industri yang menghasilkan barang seperti ponsel punya konsep bisnis planned obsolescence (keusangan yang direncanakan), bahwa model dibuat tak tahan lama, sebab akan ada model baru yang tersedia. Orang-orang dirangsang terus berbelanja. Dapat dibayangkan betapa banyak sisa perangkat digital yang usang tadi tak terpakai dan menjadi sampah. Material seperti plastik sebagai kerangkanya dan mineral di dalam baterai bukanlah bahan yang gampang didaur ulang.
Masalah pada konsumsi perangkat bukan saja perhatian utama pada dampak lingkungan akibat masifnya digitalisasi. Aktivitas berselancar di dunia maya juga memakan energi yang tak tanggung besarnya. Ketika kita membuka situs AI (Akal Imitasi) dan memerintahkan mesin tersebut untuk menghasilkan jawaban, maka server-nya yang ada di belahan bumi sana akan bekerja.[3] Server di dalam pusat data (data center) itu tak semula jadi adanya. Ia disimpan dalam suhu ruangan yang stabil di antara 18-27 derajat celcius. Karena itu butuh mesin pendingin berdaya listrik besar yang konsumsi listriknya pasti besar pula. Belum lagi diramalkan kebutuhan lahan pusat data untuk penambahan server kian masif seiring dengan kerja-kerja digital yang kian masif pula. Sebagai contoh, Google saja diperkirakan memiliki ribuan hektar lahan untuk pusat datanya yang tersebar di berbagai negara. Pada November 2024 saja, Google telah memperoleh 1.400 hektare lahan di Finlandia.[4]
Kerja-kerja digital yang masif itu juga turut memengaruhi ranah pelayanan publik. Pada beberapa kasus, kepemilikan atas akun email dan gawai menjadi wajib bagi pengguna layanan. Kepemilikan benda dan perangkat digital itu dibebankan secara pribadi kepada masing-masing individu. Tak jarang praktik itu dianggap belum selaras dengan individu di masyarakat yang belum melek aplikasi dan susah mendapatkan akses internet.
Namun demikian, saya ingin menarik pikiran kita atas arah digitalisasi ini, perlukah kita memasifkannya? Apakah transformasi digital sudah berkeadilan dan mampu menyejahterakan hidup seluruh warga? Bagaimana dengan hak sebagian masyarakat yang ingin memilih untuk tidak memasuki ruang digital? Misalnya, masyarakat adat yang hidup di tengah hutan dan merasa berkecukupan atas sumber daya yang disediakan oleh alam. Tidak selamanya gaya hidup mereka harus diubah secara radikal dengan gaya hidup masyarakat urban. Layanan publik mungkin dapat masuk, yang sekiranya pokok dan dibutuhkan, kepada masyarakat tersebut tanpa mengganggu harmoni antara mereka dengan alam.
Saya membayangkan ide seperti ini dapat terus digaungkan. Sebab kita sudah sering melihat transformasi ini, akibat dampak modernisasi, dipaksakan kepada masyarakat adat, tapi tak berimbas kesejahteraan bagi mereka. Malah menimbulkan bencana sosial yang baru. Masyarakatnya dipaksa beradaptasi secepat kilat dalam hitungan bulan atau tahun dalam menyusul laju teknologi, mengadopsi hidup administratif, serta melakoni diri sebagai pekerja yang mencerabut mereka yang hidup ratusan tahun dari menjaga keseimbangan dengan alam. Mengambil secukupnya sembari merawat ibu bumi.
Digitalisasi memang menghasilkan kerja yang efisien. Namun ia bukan panasea bagi seluruh masalah kehidupan. Bentuk-bentuk transformasinya yang radikal dan ekstrem dapat memojokkan manusia kepada budaya konsumtif. Konsumsi berlebihan, bahkan aktivitas di ruang maya sekalipun, akan membuat kita terus-terusan mengeksploitasi sumber daya alam. Tak sedikit juga digitalisasi masif memicu ketimpangan dan ketidakadilan. Kita perlu memikirkan ulang bagaimana mendekatkan layanan publik bagi seluruh warga yang punya keunikan masing-masing, tanpa generalisasi. Sebab setiap dari kita manusia yang dinamis, bukanlah barang stagnan semata.
[1] Salah satu industri rakit ponsel pintar di Batam mampu memproduksi 3 juta unit setiap bulannya. Industri tersebut mendapatkan suplai energi listrik dari PLN Batam. Di mana perusahaan listrik negara itu mayoritas masih menggunakan energi fosil, cek di: https://www.plnbatam.com/generation-and-transmission-businese/. Sebagai gambaran, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) pada tahun 2024, 85% (85,79 GW) pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan bakar fosil, sumber: https://data.goodstats.id/statistic/85-listrik-indonesia-berasal-dari-energi-fosil-g1Bb8#:~:text=Sayangnya%20pada%20tahun%202024%2C%20menurut,atau%20sebesar%2053%2C81%20GW.
[2] Tak hanya itu, mineral seperti rare earth juga krusial bagi teknologi digital. Sementara praktik penambangannya terbilang kotor, simak liputan CBS berikut: https://www.youtube.com/watch?v=g9B7iwGfU64. Cina diketahui mendominasi pengolahan mineral ini di tingkat dunia sebesar 90%, lihat: https://www.precedenceresearch.com/rare-earth-metals-market
[3] Ambil contoh ketika mengunggah foto di Facebook saja, ada kemungkinan data itu tersimpan dalam server di Oregon, Kanada, baca lebih lanjut: https://www.nature.com/articles/d41586-018-06610-y
[4] Lahan itu dikabarkan bekas kawasan industri perhutanan, baca: https://datacentremagazine.com/articles/google-expands-data-centre-footprint-with-finnish-land-deal. Belum lama ini pula, Mei 2025, Google membeli 389 acres atau setara 157 hektare lahan di Malaysia, sumber: https://datacentremagazine.com/articles/google-expands-data-centre-footprint-with-finnish-land-deal.









