Sebagai akademisi UGM, Sri Wiyanti Eddyono, sehari-harinya membersamai kelas mahasiswa. Bisa satu hingga tiga kelas dalam sehari. Saat mengajar ia mengalami kegelisahan. Galau. Sebab apa yang diajarkannya tentang konsepsi hukum sangat berbeda dengan realitas. Bahwa hukum semestinya menjamin keadilan dan untuk melindungi yang lemah, justru berbalik 180 derajat. Hukum itu menjadi alat untuk kepentingan penguasa. Menindak yang berseberangan dengan penguasa. Sedangkan dalam perumusan produk hukumnya, masyarakat tidak benar-benar dilibatkan.
“Pertama, bahwa produk-produk hukum (yang dirumuskan) itu rentan sekali dengan berbagai kepentingan penguasa. Saya kira kita sudah mengalami proses perdebatan yang panjang dan bahkan sampai aksi ketika pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan Revisi UU (RUU) KPK. Ada kecenderungan prosesnya sangat tergesa-gesa, jauh dari diskusi yang bernas dengan publik,” ungkapnya.
Bukti terbaru perihal carut marut hukum di Indonesia dapat dilihat dalam proses revisi dan pengesahan UU TNI. Kemudian revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tanpa alasan yang jelas harus direvisi dan dengan target waktu hanya satu tahun. Malah produk hukum yang dibutuhkan untuk melindungi kelompok rentan seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), sejak tahun 2006 sampai 2025 itu belum disahkan.
“Kedua adalah penegakan hukum itu sendiri. Ada hukum yang sudah kita perjuangkan dan sudah disahkan. Seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Malah penegakannya menjadi sangat problematik. Terjadi pilah-pilih penangananya. Slogan hukum itu tumpul ke atas dan tajam ke bawah itu masih sangat terasa,” imbuhnya.
Alumnus Monash University itu menceritakan kisah pilu yang dialami mahasiswinya saat menggunakan hak asasinya, saat mengikuti aksi dan menjadi relawan Aksi Mei di Jakarta. Ketika dia sedang melindungi teman sesama relawan yang dipukuli oleh polisi, dia ikut dipukuli dan bahkan ditarik hingga mau ditelanjangi pada saat itu.
“Nah itu sudah menunjukkan bahwa dalam penegakan hukum ini sudah buta. Sudah tidak melihat lagi siapa-siapa saja yang dianggap bertentangan (dengan penguasa). Kemudian di Kasus Tom Lembong kita melihat bahwa sebelumnya hukum itu (hanya) menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan orang miskin. Sekarang untuk orang yang sebelumnya berkuasa, orang yang sebelumnya punya uang, orang yang kaya pun, menjadi kena kalau dia bertentangan dengan sistem atau pemerintahan yang berlaku,” katanya.

Perempuan yang memiliki kepakaran di bidang Human Rights Law, Criminal Law and Procedure, hingga Gender Specific Studies itu, mengingatkan kembali pesan Gus Dur. Bahwa prosedur dan substansi demokrasi di Indonesia itu harus diperjuangkan, dipertahankan dan dijaga. Karena hal itu menjadi pilar dari hukum yang berkeadilan. Bila tidak dijaga, hukum yang tidak bisa terlepas dari dinamika politik itu hanya akan digunakan untuk kepentingan para penguasa.
“Kalau demokrasinya rentan (hanya prosedural), maka hukum pun akan terpengaruh. Sehingga kekuatan hukum hanya menjadi alat penguasa. (Produk) Hukum dibentuk oleh mekanisme demokratis tapi substansinya tidak mendukung demokratisasi. Saya pikir kita dalam keadaan genting. Kita tidak bisa diam-diam saja atas proses pembentukan hukum dan penegakan hukum saat ini. Bahasa saya sudah saatnya kita jihad untuk penegakan hukum yang lebih adil,” tutup penulis artikel “Political Islam in transition of democracy; a new challenge for women’s movements in Indonesia” tersebut.
Untuk diketahui, pernyataan Sri Wiyanti Eddyono di atas disampaikan saat menjadi narasumber di Forum Demokrasi GUSDURian (Fordem) dengan topik demokrasi, kedaulatan hukum, dan supremasi sipil secara daring pada Jumat (25/07/2025). Fordem kali ini menghadirkan Siti Kholisoh dari Wahid Foundation sebagai moderator dan akademisi Universitas Airlangga (UNAIR) Airlangga Pribadi Kusman sebagai narasumber.









