Saat ini, jagad maya tengah dihebohkan dengan adanya berbagai postingan video pengibaran bendera Jolly Roger (One Piece) di berbagai tempat. Hal ini begitu menarik perhatian tidak hanya dikarenakan popularitas simbol tersebut, melainkan juga pengibarannya yang dilakukan menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia.
Bendera (Jolly Roger) merupakan identitas yang khas dari para bajak laut dalam serial anime One Piece dengan lambang tengkorak dan tulang bersilang. Salah satu Jolly Roger yang paling terkenal dan tengah menjadi perbincangan adalah milik kru Bajak Laut Topi Jerami (Straw Hat Pirates). Fenomena ini kemudian ramai direspons dan dimaknai secara beragam oleh publik di media sosial. Namun, keadaan ini malah mengingatkan penulis pada kejadian yang juga pernah terjadi di masa lampau, tepatnya pada masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia
Meskipun tidak dapat disamakan, namun pada saat itu publik juga tengah menyoroti kemunculan pengibaran bendera Bintang Kejora dalam suasana ketegangan politik yang tengah terjadi di berbagai daerah. Hanya saja dengan santai Gus Dur kemudian berujar bahwa pengibaran bendera lain diperbolehkan asal tidak lebih tinggi dari pengibaran bendera merah putih sebagai lambang negara. Berbagai kalangan kemudian menganggap argumentasi Gus Dur sebagai sebuah narasi yang sangat mengedepankan pendekatan humanis kultural, sehingga menjadikan fenomena tersebut tidak berlarut, bahkan dianggap mampu meminimalisir potensi konflik ke depan.
Menurut penulis, argumentasi Gus Dur sejatinya membuktikan kenegarawanan beliau dalam menyikapi keadaan di tengah masyarakat. Hal ini juga ternyata sejalan dengan Undang‑Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 yang mengatur tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Pada pasal Pasal 17 UU 24/2009, dan Pasal 21 UU 24/2009 yang telah menegaskan hal yang serupa dengan apa yang disampaikan oleh Gus Dur, terkait pengibaran bendera lain yang tidak boleh lebih tinggi dari bendera Indonesia.
Fenomena pengibaran bendera itu pun kini muncul kembali, namun bukan lagi bendera gerakan separatis kedaerahan, melainkan bendera Bajak Laut Topi Jerami (Straw Hat Pirates) yang paling populer dalam film anime One Piece. Salah satu anime Jepang karya Eiichiro Oda yang diproduksi oleh Toei Animation dan perdana tayang pada tahun 1999 sebagai serial anime. Anime ini juga begitu populer mengisi layar televisi di Indonesia sampai tahun 2004 di RCTI, dan kemudian berpindah penayangan di Global TV sampai tahun 2008. Selanjutnya tidak lagi disiarkan dengan berbagai alasan seperti hak siar yang mahal, bermuatan kekerasan, dan lain sebagainya.
Tidak hanya serial anime, One Piece juga dihadirkan bagi penikmatnya dalam bentuk beberapa film serta live action yang diproduksi oleh Netflix, Tomorrow Studios, dan Shueisha. Saat ini film anime tersebut telah mencapai episode ke 1.138 dengan menayangkan kisah perjalanan Bajak Laut Topi Jerami di pulau Egghead. Sedangkan pada manga atau komiknya, cerita perjalanan kru topi Jerami ini sudah sampai pada Arc Elbaf (pulau raksasa).
Fenomena pengibaran bendera Jolly Roger milik Bajak Laut Topi Jerami menjelang perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 tidak hanya memperkuat popularitas serial anime tersebut, tetapi juga menarik perhatian serius dari sejumlah pejabat publik, termasuk anggota DPR, MPR, serta berbagai instansi negara. Mereka menyatakan keprihatinan dan kecemasan atas maraknya aksi tersebut. Narasi yang berkembang menyebutkan bahwa pengibaran bendera Jolly Roger kini tengah menghadapi upaya pelarangan secara tegas oleh pihak berwenang.
Respons yang mendadak ini seperti membuat penulis merasakan kemiripan dengan salah satu episode di anime tersebut, di mana respons serupa ditunjukkan oleh kumpulan orang tua (Gorosei) yang merupakan petinggi pada kubu pemerintah. Mereka merasa khawatir akan keberadaan Bajak Laut Topi Jerami dan segala tindak tanduk para krunya. Begitu pula dengan pejabat publik yang barangkali menganggap fenomena ini akan melemahkan nasionalisme terhadap bendera merah putih. Padahal mungkin saja publik memaknainya berbeda, yakni sebagai lelucon, bentuk kecintaan terhadap karakter, hingga simbol kebebasan yang paralel dengan semangat kemerdekaan.
Namun penulis tidak ingin berkutat terlalu lama pada pembelaan dan pencarian kebenaran mana yang paling tepat antara dimensi berpikir pemerintah atau publik. Penulis mencermati untuk pentingnya bagi kita tidak terburu-buru menghakimi kemunculan fenomena ini dalam konteks perdebatan salah dan benar, melainkan mencoba memahami konteks kultural dan emosional di baliknya.
Budaya dalam penyambutan perayaan kemerdekaan Indonesia tidak akan selamanya teraktualisasi dalam wujud yang sama seperti dahulu, melainkan juga mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman. Penulis memaknai fenomena ini sebagai bentuk ekspresi kebebasan berbudaya dari generasi muda yang telah akrab dengan budaya populer global.
Berlandaskan pemikiran Jiwa Zaman (structure of feeling) yang dikemukakan oleh Raymond Williams (1977), aksi pembentangan bendera One Piece dapat “dibaca” sebagai bentuk negosiasi makna kemerdekaan oleh generasi muda. Kemerdekaan tidak lagi dimaknai secara tunggal sebagai serangkaian perlombaan atau upacara formal seperti yang menjadi ciri khas jiwa zaman perayaan kemerdekaan di masa lalu melainkan sebagai ekspresi budaya populer yang mencerminkan identitas, aspirasi, dan kebebasan berekspresi mereka di era kini. Bukan dengan menolak tapi dengan mewarnai ulang simboliknya. Pembentangan tersebut muncul sebagai bentuk budaya emergent yang lahir sebagai respons terhadap dominasi budaya residual (lama) atau dominant (resmi) dalam memaknai kemerdekaan Indonesia.
Ketika generasi muda mengibarkan bendera One Piece menjelang perayaan kemerdekaan, menurut penulis mereka tidak semata-mata sedang “mengganti” nasionalisme, melainkan sedang menampilkan perubahan cara pandang terhadap nasionalisme itu sendiri melalui bentuk baru dari jiwa zaman sebagaimana yang dikemukakan oleh Raymond Williams. Nasionalisme yang tidak lagi formal dan tidak lagi eksklusif. Nasionalisme kemudian seperti direpresentasikan dalam bentuk yang cair, terbuka, dan terhubung dengan narasi global. Mereka tidak lagi memisahkan antara budaya lokal dan global, antara nasional dan pop culture, tapi menyatukannya menjadi identitas hibrida yang tetap peduli pada makna kolektif, namun dengan cara yang lebih personal dan ekspresif.
Hal ini juga barangkali dikarenakan generasi muda tak ubahnya seperti penulis yang menjadikan produksi budaya populer seperti anime, gim, K-pop, film superhero, dan lain sebagainya bukan lagi sekadar hiburan, melainkan bagian dari keseharian, ruang ekspresi, dan sumber makna. Para penggemar, penonton ataupun penikmat anime One Piece pasti menyetujui bahwa anime ini bukan sekadar tontonan, melainkan setiap perjalanan kru topi jerami mengajak penonton memaknai narasi hidup yang mengajarkan nilai-nilai tentang keberanian, kesetiaan, keadilan, kebebasan, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, penulis memandang bahwa terdapat potensi kegagalan dalam membaca arah perubahan kultural, jika fenomena pengibaran bendera Jolly Roger semata-mata dipahami sebagai bentuk perusakan terhadap sakralitas perayaan nasional. Penafsiran sepihak semacam ini cenderung berakar pada kerangka berpikir dualistik yang usang, yang memisahkan secara tegas antara nasionalisme dan anti-nasionalisme, antara rasa hormat dan ketidakhormatan.
Pendekatan tersebut tidak cukup sensitif terhadap dinamika structure of feeling atau jiwa zaman generasi muda hari ini, yang semakin mengekspresikan identitas kebangsaannya melalui simbol-simbol budaya populer. Kegagalan pemaknaan tersebut juga berisiko menutup ruang dialog antar-generasi, serta gagal menangkap bagaimana nasionalisme kini sedang dinegosiasikan ulang menjadi lebih personal, inklusif, dan relevan dengan realitas global. Jiwa zaman bukan tentang penggantian nilai, melainkan tentang pergeseran cara menghayati nilai.
Kita sedang menyaksikan transformasi bentuk nasionalisme, yaitu dari nasionalisme yang formal dan simbolik, menjadi nasionalisme yang afektif, cair, dan berbasis pengalaman bersama. Praktik budaya ini sebagai cermin dari perubahan zaman bukan sebagai tanda kemerosotan, tetapi sebagai bentuk artikulasi ulang identitas bangsa dalam dunia yang terus berubah. Kemerdekaan pada akhirnya telah menjadi ruang untuk mengekspresikan kebebasan terutama pada generasi muda dengan caranya sendiri.









