Rencana reklamasi pesisir utara Manado yang dikenal dengan nama Boulevard II menuai kecaman keras dari berbagai elemen masyarakat sipil, terutama aktivis lingkungan dan komunitas nelayan. Proyek reklamasi seluas 90 hektar yang dimotori oleh PT Manado Utara Perkasa (MUP) dan dikenal sebagai proyek milik pengusaha Agus Abidin dinilai telah merampas ruang hidup masyarakat pesisir serta mengancam keberlanjutan ekologi laut.
Menurut Reiner Emyot Ointoe, mantan Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Utara periode 1999–2001, proyek ini bukan sekadar pembangunan infrastruktur, tetapi bentuk perampokan ruang ekologis atas nama kebijakan publik.
“Reklamasi ini bukan pembangunan, tapi perampasan ruang hidup. Ada manipulasi kepentingan privat yang dibungkus jargon fasilitas publik,” tegas Reiner melalui tulisannya yang diunggah pada laman Facebook pribadinya, dikutip Ahad (10/8) lalu.
Proyek ini membentang dari Kelurahan Karangria hingga Tumumpa, dan direncanakan akan menciptakan daratan baru di sekitar Jembatan Soekarno. Namun, di balik ambisi tersebut, terdapat persoalan serius: tidak adanya transparansi dokumen Amdal, konflik agraria, dan kerusakan ekosistem pesisir.
“Kita bicara soal keberlanjutan dan keadilan ekologis. Tapi proyek ini sejak awal tidak membuka Amdal ke publik, padahal itu wajib sesuai UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ini sudah pelanggaran terang-terangan,” tambah Reiner.
Agus Abidin, yang dikenal luas sebagai pebisnis properti dengan julukan “Agus Elektrik”, disorot tajam dalam kritik ini. Ia disebut memiliki riwayat konflik lahan dan keterlibatan dalam berbagai sengketa tanah di Minahasa Utara. Bahkan, dalam salah satu kasus, ia pernah dilaporkan ke kejaksaan karena dugaan pemerasan senilai Rp3 miliar.
“Transformasi Agus dari pedagang lampu jadi taipan reklamasi menunjukkan betapa regulasi dan ruang publik bisa dikendalikan oleh kekuatan modal,” ujar Reiner.
Proyek ini juga mendapat lampu hijau dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, khususnya pada periode Gubernur Olly Dondokambey (2019–2024). Namun, dukungan tersebut dinilai mengabaikan prinsip tata ruang yang berkelanjutan dan hak masyarakat nelayan yang terdampak langsung.
Bahkan, Gubernur Yulius Selvanus, penerus Olly, yang menggagas program pertanian terpadu, kini disebut mengalami kesulitan menata ulang RTRW karena disorientasi ekologis akibat reklamasi ini.
Di sisi lain, beberapa regulasi nasional dan daerah yang seharusnya menjadi pengaman ekosistem, justru terabaikan.
Setidaknya terdapat tiga regulasi yang berpotensi dilanggar: Permen KP No. 25/2019 – Mengatur partisipasi publik dan keterbukaan Amdal, Perda Sulut No. 1 Tahun 2017 tentang RZWP3K – Menetapkan zona konservasi pesisir dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup – Mewajibkan kajian dampak lingkungan.
Bahkan, menurut laporan LBH Manado dan WALHI Sulut, reklamasi ini telah menyebabkan hilangnya tambatan perahu nelayan, gangguan akses ke laut, serta memusnahkan tradisi bahari di wilayah Maasing dan Karangria.
Penelitian Mongabay dan Manado State Environmental Thinktank (MSET) turut mengungkap bahwa reklamasi ini mempercepat abrasi, mengganggu migrasi biota laut, dan meningkatkan risiko bencana ekologis.
“Kalau ini terus dilanjutkan, Sulut bukan cuma kehilangan garis pantai, tapi juga kehilangan masa depan ekologis. Kita butuh pembangunan yang adil, bukan yang eksploitatif,” tegas Reiner.
Sebagai bentuk advokasi, Reiner menyarankan agar masyarakat sipil dan komunitas pesisir memulai langkah class action dengan menuntut keterbukaan dokumen Amdal sebagai pintu masuk perlawanan hukum.
“Gerakan class action adalah bentuk koreksi warga terhadap arogansi pembangunan. Jangan sampai publik dibungkam demi keuntungan elite bisnis,” pungkasnya.









