Dari Paru-Paru Kota ke Ruang Kontemplasi: Menyelami Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau sebagai aspek penting dalam pembangunan perkotaan, tidak hanya sarat fungsi ekologis, tetapi juga sosial, bahkan spiritual. Dalam fungsi ekologisnya, RTH dapat menjadi oase kota, penyaring dan penyedia oksigen, zona penyimpan air hujan, bahkan sebagai penyerap emisi karbon (carbon sink) dan peredam efek urban heat island.

Di samping itu, RTH dalam kota juga berperan dalam membangun interaksi sosial yang akan memunculkan sense of community. Dalam ruang inilah terwujud masyarakat yang kuat, bersinergi, merasa saling terhubung, bertanggung jawab satu sama lain, dan dapat saling mendukung.

Pada sisi anak remaja ruang ini menjadi tempat untuk mengaktualisasikan diri yang dapat menekan angka kenakalan remaja. Bahkan dalam koridor kehidupan berdemokrasi, menghimpun opini, masukan, atau gagasan masyarakat juga akan lebih mudah. Dampak positif dari RTH sebagai open space bisa sangat luas dan panjang.

Saat ini, ruang terbuka menjadi tempat yang identik untuk sekadar bengong melepas penat selepas kerja. Di tengah kehidupan urban yang serba cepat dengan segala hiruk-pikuknya, kita agaknya semakin paham, bahwa kota memiliki denyut alamnya sendiri. Ruang terbuka hijau bukan sekadar paru-paru kota, tetapi juga sebagai ruang kontemplasi.

Ruang Sembuh yang Sering Diabaikan

Dengan melihat rentetan manfaat langsung dan tak langsung dari ruang terbuka, setidaknya membuat kita tersadar bahwa, kebijakan tata kota yang kurang mengapresiasi ruang ini dan memposisikannya sebatas elemen teknis belaka akan menimbulkan dampak yang sangat negatif.

Padahal, keberadaan taman-taman kota atau hutan urban—di samping fungsi ekologis, sosial, dan estetika—justru bisa menyentuh aspek paling dalam dari kehidupan manusia: hubungan spiritual dengan alam.

Umat manusia saat ini sedang mengalami kabut krisis iklim, kita sangat membutuhkan ruang hijau sebagai obat penyembuh, bukan saja untuk krisis iklim, tetapi sebagai sarana untuk memiliki sebuah rasa keterhubungan, sense of connection, sebagai bagian dari komunitas hidup.

Seperti pendapat Aldo Leopold, bahwa orang perlu merasa bahwa mereka adalah bagian dari the broader natural world, dunia alam secara keseluruhan, jika ingin secara efektif mengatasi permasalahan lingkungan.

Menyediakan ruang hijau selain sebagai usaha penyelesaian masalah lingkungan secara teknis, tetapi di sisi lain, juga sebagai sarana kontemplasi bagi orang-orang untuk merasakan kembali sakralitas alam, mengidentifikasi diri sebagai bagian dari komunitas alam dan memiliki kekerabatan dengan alam.

Christian Diehm menuliskan dalam studinya Connection to Nature and The Case for Deep Ecology, pada beberapa studi tentang identitas lingkungan, keterhubungan dengan alam, dan konstruksi lainnya menunjukkan bahwa, orang dengan konsep diri yang lebih inklusif secara ekologis, memiliki kemungkinan lebih besar untuk berpartisipasi dalam perilaku pro-lingkungan.

Sebuah studi terhadap anak-anak di sekolah umum Florida misalnya, mengungkapkan korelasi positif antara pengalaman di luar ruangan dan perasaan anak-anak akan connectedness to nature (keterhubungan dengan alam). Sementara penemuan studi lain terhadap orang dewasa di Brisbane, masih menurut Diehm, bahwa adanya nature relatedness (keterkaitan dengan alam) berkaitan dengan pengalaman alam atau nature experience baik di masa kanak-kanak maupun dewasa.

Sehingga argumentasi mengenai fungsi ruang terbuka hijau sebagai sarana mengembalikan ikatan manusia-alam bukan hanya sekadar intuitif belaka, melainkan substantif, karena banyaknya penelitian di bidang ini dengan kuat menunjukkan demikian.

Apabila saat ini masyarakat urban memandang ruang terbuka sebagai ruang sembuh dari riuh rendahnya kehidupan perkotaan, maka ruang terbuka dapat pula kita gunakan sebagai ruang sembuh bagi perasaan menyimpang dan delusif bahwa kita, manusia, terpisah dari komunitas alam.

Memperkuat Konektivitas

Urbanisasi yang cepat, kehidupan modern nan glamor membuat hidup kita seolah kehilangan akarnya, karena sehari-hari yang kita lihat adalah gedung pencakar langit, mobil mewah, dan tentu saja gawai yang mengungkung kita di dalam ruangan.

Kita dipaksa kehilangan waktu untuk pergi ke ruang terbuka, untuk berkontemplasi, mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kehidupan kosmis. Atau bahkan kita jadi tidak lagi merasa butuh menyediakan ruang terbuka, yang kita butuh adalah mal super besar untuk menyiram nafsu konsumsi kita.

Hilangnya waktu kita atas ruang terbuka hijau dan ketersediaan ruang itu sendiri, menjadikan kita tidak lagi punya rasa kebersamaan, sense of belonging, yang mana efek itu tidak hanya buruk bagi manusia (baca: masyarakat) tetapi juga bagi alam.

Bagaimana kita bisa merasa punya perasaan kepemilikan atau kebanggaan kolektif kalau kita tidak punya ruang yang memadai untuk menciptakan masyarakat yang vibrant. Di mana lagi kita bisa memiliki ruang hidup tanpa sekat kelas yang meningkatkan solidaritas sosial dan menjadi jejaring pengaman sosial?

Bagaimana kita tidak kehilangan sakralitas alam dan merasa tidak punya kekerabatan dengan alam kalau kita tidak pernah menyediakan kehidupan yang berdampingan dengan alam. Di mana lagi tempat yang seharusnya bagi kita bisa merasakan harmoni kehidupan dan alam yang teofani sebagai sebuah penyingkapan Sang Ilahi?

Agaknya ini lah maksud dari Elena Burgos Martinez saat menjadi pembicara dalam BRIN-LDE Academy yang saya ikuti tiga tahun silam sebagai, “the places we make and the places that make us”. Dengan kata lain, lingkungan bukan semata ruang pasif yang kita bentuk, tetapi juga entitas aktif yang membentuk kita kembali.

Ruang terbuka hijau, bahkan hanya dengan merenungkan kalimatnya bisa membuahkan tulisan ini, bagaimana kalau kita semua benar-benar merenungkan keseluruhan ruang hidup kita. Barangkali itu akan menjadi titik awal agar kita bisa membuahkan koneksi baru terhadap alam dan tentunya terhadap lingkungan yang kita bangun.

Mahasiswa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *