Kitalah “Liyan” Itu: Menyaksikan Beragam Upaya Negara Melanggengkan Semangat Penjajahan

Barangkali kita familiar dengan perasaan terasingkan di lingkungan terdekat seperti lingkungan keluarga, pertemanan atau lingkungan pekerjaan. Dengan berbagai alasan dan latar belakang di baliknya, perasaan terasingkan tersebut dapat muncul dan jika berlanjut, di kemudian hari mungkin membawa pertanyaan lanjutan kepada diri kita sendiri seperti: “Apakah aku memang tidak layak berada di sini, atau justru memang diasingkan?” Tapi bagaimana jika kondisi tersebut tidak hanya terjadi dalam lingkungan kecil kita, tapi dalam ruang bernegara?

Rasanya bukan hal baru bagi kita melihat proyek undang-undang yang dikebut dalam semalam, bahkan sebelum sempat didengar nama resmi drafnya oleh masyarakat. Lalu ketika masyarakat menunjukkan tanda kemarahan barulah draft undang-undang tersebut muncul secara ajaib, yang ternyata berisikan ancaman keamanan ekonomi maupun ruang kebebasan bagi masyarakat. Di saat seperti ini, biasanya alibi yang akan dilontarkan oleh pejabat publik adalah bahwa suara masyarakat sudah didengar melalui DPR, sehingga tidak perlu lagi ada transparansi kepada publik secara luas. Tiba-tiba kita dipaksa menerima bahwa para dewan tersebut adalah representasi dari tiap-tiap kita.

Padahal biasanya jika kita butuh kehadiran mereka untuk benar-benar mewakilkan suara dan kebutuhan warga biasa seperti kebutuhan terhadap harga pangan stabil, lapangan pekerjaan, dan lain-lain, kita hanya akan diberi jawaban untuk mengikuti sistem dan prosedur entah yang mana. Karena pada kenyataannya mereka sebenarnya adalah representasi dari tiap-tiap partai beserta kepentingan di dalamnya.

Di saat yang lain, ketika kita mengeluhkan sulitnya mendapatkan penghidupan yang layak di negara yang katanya “tanah surga” ini, kita mungkin akan berhadapan kepada pilihan sulit. Pertama dipaksa untuk mencari solusi secara mandiri, seolah-olah kesialan yang menimpa kita datang dari ruang hampa, bukan struktur yang nirfungsi. Ketika misalnya kita benar-benar beruntung untuk bisa bertahan semampunya dengan segenap daya, kita juga harus bersiap untuk membayar rentetan pajak yang tiada habisnya, yang bahkan kita tidak tahu ke mana muaranya. Atau kedua, jika kita memilih mencari penghidupan yang lebih baik di tempat lain, maka kita harus bersiap untuk menyandang cap “tak nasionalis” apa pun itu artinya. 

Kondisi-kondisi seperti di atas masih bisa menjadi lebih buruk jika kita adalah penduduk di sebuah lokasi strategis untuk pengerukan tambang, atau pembangunan resort, atapun proyek lain yang berpotensi mendatangkan lebih banyak uang dibanding jika sekadar kita tinggali. Dalam kondisi tersebut, maka untuk sekadar tinggal dan menjalani kehidupan yang layak saja akan sulit untuk kita. Maka di tengah segala keruwetan tersebut, tidak aneh jika kemudian kita mempertanyakan posisi kita di hadapan negara, lalu merasa asing di atas tanah tempat kita bertumbuh. Sayangnya, satu hal yang jarang kita pahami dari situasi kompleks ini adalah bahwa cara-cara yang demikian ini, disengaja ataupun tidak, telah menghidup-hidupi nilai-nilai kolonialisme.

Kalau dalam banyak kesempatan kita kerap berbangga berteriak merdeka, barangkali karena yang kita bayangkan sebagai penjajah adalah kawanan bangsa kulit putih yang menagih upeti dari setiap hasil panen. Maka karena tidak lagi melihat sosok mereka saat ini, lalu kita merasa memang sudah tidak dijajah lagi. Padahal, semangat penjajahan dan nilai-nilai kolonial itu nyatanya masih kita warisi dalam berbagai rupa saat ini, yang bermuara persis sama seperti penjajahan fisik di masa sebelumnya, ketidaksetaraan. Mengerikannya kali ini oleh bangsa kita sendiri, oleh sekawanan manusia yang mencitra diri paling nasionalis dan paling tahu caranya mencintai negaranya. 

Selain kondisi-kondisi mengenaskan yang sudah saya sebutkan di atas, tiga hal berikut barangkali bisa memberikan kita gambaran lebih konkret tentang bagaimana kita menghidup-hidupi nilai kolonial itu hari ini.

Pertama, eksploitasi sumber daya alam. Jika penjajah dulu mengangkut hasil bumi kita dengan kapal ke Eropa, hari ini skema ekstraksi itu dilakukan oleh dan untuk oligarki. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Indonesia kini berada di bawah “rezim ekstraksi” yang didominasi oleh segelintir politikus yang juga merupakan penguasa bisnis tambang atau perkebunan. Melalui praktik ekonomi ekstraktif, kekayaan alam, mulai dari mineral, batu bara, hingga minyak sawit dieksploitasi tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan dan ruang hidup masyarakat. Kondisi ini diperparah oleh sistem “ijon politik” atau pembayaran politik di muka, di mana para penguasa membiayai kampanye politik dengan imbalan izin konsesi tambang atau lahan.

Hal ini kemudian menciptakan lingkaran setan: kekuasaan politik digunakan untuk mengakumulasi kekayaan, lalu kekayaan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan politik. Dalam lingkaran ini, lagi-lagi rakyat yang dijadikan korbannya. Rakyat yang seharusnya berdaulat penuh atas sumber daya alam, bergeser menjadi sekadar alat memperkaya penguasa, atau kadang jika rakyat menolak kooperatif dalam lingkaran setan itu, kita lalu dianggap sebagai pengganggu kepentingan elite yang harus disingkirkan. 

Kedua, semangat mengontrol masyarakat sipil. Penjajah tidak hanya datang untuk menguasai tanah, tetapi juga untuk menguasai pikiran dan sistem. Setelah kemerdekaan, banyak dari sistem tersebut tidak dirombak total. Pun ketika berusaha diubah seperti RKUHP kita saat ini, bukan untuk kepentingan perlindungan terhadap kebebasan sipil, namun justru sebaliknya. Warisan norma kolonial ini terus menerus digunakan untuk menekan kritik. Suara-suara yang menentang kebijakan ekstraksi atau menuntut hak-hak sipil sering kali dibungkam dengan pasal-pasal karet yang tujuannya adalah untuk “menertibkan”. Diksi yang unik nan tak tahu diri, seolah prosedur produksi hukumnya sudah “tertib” dan sebagai pihak-pihak di luar lingkaran kekuasaan, kitalah yang harus ditertibkan.

Ketiga, menegasikan keberadaan kita. Pemikir dekolonial Nelson Maldonado Torres memperkenalkan konsep being zone dan non-being zone. Dalam konteks kolonialisme, penjajah memposisikan diri mereka di zona keberadaan sebagai manusia yang utuh, beradab, dan berhak menentukan segalanya. Sementara itu, pribumi ditempatkan di zona non-being, di mana mereka dianggap tidak layak, tidak berakal, dan keberadaannya dapat ditiadakan. Maldonado-Torres menyebut ini sebagai “perang tanpa akhir terhadap tubuh tertentu”.

Meskipun penjajah fisik sudah pergi, semangat ini masih hidup. Wujudnya terlihat ketika negara mengabaikan hak-hak rakyat kecil, menggusur paksa, atau bahkan meneror mereka yang bersuara kritis. Mereka menempatkan rakyat “liyan” ini dalam zona non-being, alias kita dianggap tidak ada, sehingga keluhan dan aspirasi kita pun juga dianggap tidak ada.

Maldonado-Torres juga menjelaskan bahwa “pengetahuan kolonial selalu dibangun di atas ketiadaan ‘liyan’ (absence of the other)”. Ini berarti narasi resmi tentang pembangunan, kemajuan, dan nasionalisme selalu dibuat dari perspektif elite, yang mengabaikan atau menghilangkan pengalaman, penderitaan, dan pengetahuan dari masyarakat yang terpinggirkan. Persis seperti apa yang kita alami saat tiba-tiba undang-undang dikebut saat kita semua tidur, narasi sejarah diganti untuk membersihkan lumuran darah di tangan penguasa dan cara-cara culas lainnya yang menegaskan bahwa kita dianggap tak pernah ada, atau jikapun ada, bukanlah manusia yang harus didengar keperluannya.

Jadi, kapan-kapan kita upacara memperingati HUT RI dan upacara bendera rutin lainnya, saat baca pembukaan UUD “Dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan” semoga pandangan kita tidak lagi kabur membayangkan seperti apa sih konsep penjajahan nun jauh di sana. Tapi kita bisa lihat dan resapi bahwa pajak 250% itu penjajahan, gaji tenaga pendidik yang tidak manusiawi itu penjajahan, diteror saat menyuarakan ketidaksetujuan itu adalah bentuk-bentuk penjajahan.

Jika dalam skema penjajahan fisik, kita di-“liyan”-kan karena mengganggu kepentingan mereka, hari-hari ini saya menyetujui artikel Anggit Rizkianto (Mungkin Pihak Asing itu Kita) bahwa kita juga masih diteriaki asing dan dianggap liyan karena mengganggu kepentingan penguasa.

Selamat Ulang Tahun Indonesia, semoga akan ada hari-hari yang akan datang di mana Engkau benar-benar bebas dari penjajahan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jakarta. Saat ini sedang menempuh studi master Human Rights, Gender and Conflict Studies: Social Justice Perspectives (SJP) di ISS Erasmus University Rotterdam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *